Teori Aksi al-Kindi dan al-Ghazali: Eksplorasi Dini Menuju Setitik Perspektif Metafisik atas Teori Aksi, Etika Aksi, dan Definisi Sosiologi (Bagian 2)

Shuffah Institute
9 min readAug 6, 2023

--

Oleh: M. Miftahul Firdaus

Ke Bagian 1

Tantangan Dewesternisasi dan Islamisasi: Sains Sosial-Humaniora

Urgensi kajian dewesternisasi dan Islamisasi atas konsep aksi itu semakin tampak jika kita meninjau bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh peradaban Islam saat ini adalah tantangan ilmu, dalam pengertian tantangan yang dibawa oleh sains yang dikultivasi dan disebarkan oleh peradaban Barat yang sekuler, dan terlebih khusus lagi, tantangan dari sains sosial-humaniora kontemporer yang sekuler. Saya rasa, tantangan dari sains sosial ini lebih besar dan urgensi untuk dewesternisasi dan Islamisasi sains sosial itu lebih mendesak dibandingkan dengan sains natural karena beberapa sebab. Pertama, objek kajian dari sains natural (alam semesta fisik) lebih bersifat eksak dan objektif daripada objek kajian sains sosial (manusia dan masyarakat) yang sangat subjektif, sehingga pertentangan dan perbedaan antara worldview dan paradigma Barat dengan worldview dan paradigma Islam dalam penafsiran terhadap fenomena sosial akan lebih besar daripada perbedaan dalam penafsiran fenomena natural. Perbedaan keduanya dalam memandang gravitasi, misalnya, terletak pada ranah yang lebih filosofis atau bernuansa kalam, seperti soal hubungan sebab-akibat, peran Tuhan dalam fenomena gravitasi, dan sebagainya, sementara pada aspek matematis, fisis, dan teknisnya, cenderung sepakat. Sementara itu, perbedaan kedua worldview dan paradigma itu dalam penafsiran sains sosial dapat sangat menyeluruh, dari ranah filosofis sampai ke ranah teknis. Dalam kajian gender misalnya, pandangan paradigma feminis-liberal-progresif dengan paradigma Islam soal definisi wanita saja sudah sangat berbeda di level teknis, apalagi di level filosofis. Selaras dengan anggapan ini, Ustaz Akmal Sjafril dalam beberapa kajian menyatakan bahwa “manusia bisa bohong, sedangkan batu tidak bisa bohong”.

Kedua, dengan letak perbedaan yang semacam itu, dampak perbedaan dan pertentangan antara kedua worldview dan paradigma itu dalam sains sosial akan lebih langsung dan luas terasa daripada dampak perbedaan dan pertentangan dalam sains natural. Orang Islam dapat menerima adanya hukum gravitasi, tetapi menafsirkannya secara berbeda dari orang sekuler, yaitu bahwa hukum gravitasi itu sejatinya adalah bagian dari SunnatuLlāh, aturan dan tatanan milik Allah, bukan hukum alam sebagaimana yang dipahami oleh sains Barat. Perbedaannya terletak dalam ranah penafsiran yang filosofis atau kalam yang kurang dipikirkan oleh masyarakat awam sehingga dampaknya lebih subtle, sementara perbedaan dalam sains sosial yang lebih menyeluruh dari ranah filosofis sampai ranah teoritis-praktis, sehingga dampaknya akan lebih langsung. Contohnya adalah kebijakan bolehnya transgender menggunakan toilet perempuan dan berkompetisi dalam bidang olahraga perempuan seperti yang diberlakukan di Barat saat ini, yang berakar pada perbedaan pandangan gender yang menyeluruh dari ranah filosofis hingga teoritis-praktis, sehingga dampak negatifnya sangat direct dirasakan oleh publik, berupa perasaan tidak aman bagi Muslimah dan wanita asli pada umumnya saat menggunakan toilet publik (seperti di sekolah dan kampus) dan kalahnya atlet-atlet wanita tulen dari atlet-atlet wanita jadi-jadian di cabang olahraganya sendiri.

Ketiga, pengaruh worldview (pandangan alam) dan paradigma dalam sains sosial memang lebih besar daripada pengaruhnya dalam sains natural. Hal itu bukan berarti paradigma dan pandangan hidup itu sama sekali tidak berpengaruh dalam sains eksak-natural, tetap ada, hanya pengaruhnya lebih besar dan langsung terasa dalam sains sosial. Ketiga alasan itu tercermin dari pernyataan Kuntowijoyo: “Seorang yang taat beragama dan mempelajari ilmu-ilmu alam (teknik, fisika, farmasi, pertanian, kedokteran) tidak banyak mempunyai persoalan dengan aspek muamalah dari agama, masalahnya hanya orang beriman atau tidak beriman. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan (sosiologi, antropologi, politik, sejarah, filsafat) akan mempunyai persoalan besar. Itu semua karena aspek muamalah dari agama termasuk wilayah-wilayah ilmu kemanusiaan. Orang yang belajar ilmu-ilmu alam akan menerima agama (akidah, ibadah, akhlak, syariat, muamalah) sebagai adanya, sebagaimana mereka menerima hukum-hukum dalam ilmu alam. Tetapi tidak demikian bagi mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan, yang tidak mengenal hukum yang pasti dan berlaku umum.” (Kuntowijoyo, 2007: 38)

Pandangan Kuntowijoyo tentang perbedaan pengaruh worldview dan paradigma dalam sains sosial dan sains natural itu menunjukkan kesesuaian dengan pandangan pengusung Islamisasi sains seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Hamid Fahmy Zarkasyi. Al-Attas menjelaskan bahwa: “These elements and key concepts [of worldview and paradigm] are mainly prevalent in that branch of knowledge pertaining to the human sciences, although it must be noted that even in the natural, physical and applied sciences, particularly where they deal with interpretation of facts and formulation of theories, the same process of isolation of the elements and key concepts should be applied; for the interpretations and formulations indeed belong to the sphere of the human sciences.” (al-Attas, 1993: 162) Sementara itu, Zarkasyi menyatakan: “Implikasi epistemologis dari pandangan alam dan paradigma berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Pandangan alam dan paradigma tampak kurang berpengaruh (tidak untuk mengatakan tidak berpengaruh sama sekali) dalam apa yang disebut sebagai ilmu eksak, teknis, dan formal, tapi lebih banyak berpengaruh pada ilmu humaniora, ilmu sosial, dan seni halus.” (Zarkasyi, 2016: 24) Dari sini, penulis semakin teguh bahwa dewesternisasi dan Islamisasi sains sosial mesti didahulukan, khususnya dalam ranah konsep dan teori aksi; meskipun penulis secara pribadi juga terlibat dalam kajian dewesternisasi dan Islamisasi sains di ranah filsafat sains natural, terutama kritik atas positivisme/empirisme, dan di aspek etika transportasi serta etika rekayasa (engineering ethics).

Mengapa al-Kindi dan al-Ghazali?

Al-Kindi dan al-Ghazali dipilih sebagai sumber dalam penggalian konsep aksi di sini karena pembelaan keduanya terhadap penciptaan, penolakan keduanya terhadap konsep keabadian alam, dan konsepsi keduanya bahwa Tuhan berperan aktif sebagai Pelaku Sejati (al-Fāʿil al-Ḥaqq) dalam setiap aksi (al-fiʿl) yang ada. Selain itu, al-Ghazali dipilih karena pengaruhnya yang luas dalam tradisi keilmuan Islam, terutama di kalangan Ashʿari. Sebenarnya, sebagian peneliti berpendapat bahwa pandangan-pandangan al-Kindi — yang banyak disebarkan oleh para muridnya di wilayah Balkh dan Samarqand, di antaranya yang terkenal adalah Abu Zayd al-Balkhi — juga memiliki pengaruh yang terbatas terhadap al-Maturidi, hanya saja pengaruh itu kemudian terputus karena kalam al-Maturidi berkembang dengan arah yang unik dibandingkan dengan tradisi falsafah al-Kindi (Adamson, 2007: 12–17). Ortodoksi dan tradisionalitas pemikiran al-Ghazali tentu tidak perlu diragukan, mengingat kritiknya terhadap aspek-aspek tertentu dari filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam, yaitu keniscayaan kausalitas atau kausalitas yang niscaya, yang pembahasannya juga terkait erat dengan bahasan konsep aksi, terutama hubungan antara aksi manusia dengan Aksi Tuhan dan perdebatan soal kapasitas agensi dari objek inanimate. Sementara itu, pembelaan al-Kindi atas penciptaan dan penolakannya atas konsep keabadian alam, yang membuatnya lebih unik dan original dibandingkan dengan tradisi peripatetik Baghdad, mungkin belum luas diketahui. Tema-tema terkait hal itu tersebar dalam banyak risalahnya, khususnya Risalah Tentang Filsafat Pertama / TFP (Fī al-Falsafah al-Ūlā).

Risalah itu berfokus pada tema-tema tentang pembuktian kefanaan waktu dan alam semesta; pembuktian Keberadaan dan Keesaan Pencipta; dan pembuktian bahwa hanyalah Sang Pencipta atau Sang Sebab Pertama itu yang Esa secara Hakiki dan Esensi, karena semua yang lain selain Dia (para makhluk ciptaan) hanyalah satu secara metaforis (majasi) atau derivatif, yaitu bahwa tiap diri makhluk itu mengandung kesatuan (waḥdah) sekaligus kebanyakan / keberbilangan / kemajemukan (kathrah, multiplicity). Al-Kindi berargumen bahwa Tuhan menciptakan dan memelihara keberadaan makhluk dengan cara memberi mereka kesatuan dan mempertahankan kesatuan itu ada pada diri mereka. Jika Tuhan hendak meniadakan makhluk itu, Dia akan mencabut kesatuan itu dari diri makhluk itu sehingga bagian diri makhluk itu akan tercerai-berai sehingga makhluk itu tidak lagi menjadi dirinya sendiri, binasa, atau menjadi tiada. Dengan begitu, kesatuan (waḥdah, unity) dalam pandangan al-Kindi adalah basis dari keberadaan; sementara Kesatuan atau Keesaan Hakiki hanya milik Tuhan, sehingga Keberadaan Sejati hanyalah milik Tuhan, sedangkan kesatuan dan keberadaan makhluk adalah metaforis / majasi. Dengan demikian, semua makhluk, termasuk waktu dan alam semesta, mengandung keberbilangan, dan semua yang berbilang adalah fana. Diri manusia dapat dibagi menjadi jiwa dan tubuh, lalu tubuhnya dapat dibagi menjadi anggota-anggota badan. Waktu juga dapat dibagi menjadi waktu masa lalu, sekarang, dan masa depan atau suatu periode yang spesifik. Alam semesta dan semua objek material di dalamnya juga dapat dibagi. Selain pembagian, keberbilangan makhluk itu juga terbukti dari adanya sesuatu yang sejenis dengan makhluk itu yang dapat digolongkan dan dikomposisi dengannya, baik dalam hal genus (jins), spesies (nawʿ), maupun kelas spesifik (faṣl). Semua yang dapat dibagi dan dikomposisi adalah fana. Karena itu, Sang Pencipta yang melakukan Ibdāʿ haruslah berbeda, yaitu Esa secara Hakiki dan Abadi. (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 128–143, 159–162)

Tidak hanya dalam TFP, tema pembuktian kefanaan alam dan keesaan Tuhan itu juga tersebar dalam risalah-risalahnya yang lain. Misalnya, dalam Risalah tentang Keesaan Allah dan Keterbatasan Badan Alam Semesta (Risālah fī Waḥdāniyyah Allāh wa Tanāhī Jirm al-ʿĀlam), al-Kindi juga menuliskan:

فيمتنع أن يكون جرم لم يزل، فالجرم إذا مُحْدَثٌ اضطرارا؛ والمُحْدَثُ مُحْدِثُ المُحْدِثِ، إذ المحدِث و المحدَث من المضاف؛ فالكل مُحْدِثٌ اضطرارا عن ليس. … فإن كان الواحد فهو الفاعل الأول … فإذا ليس كثيرا، بل واحد غير متكثر، سبحانه وتعالى عن صفات الملحدين علوا كبيرا، لا يشبه الخلقة؛ لأن الكثرة فى كل الخلق موجودة، و ليست فيه بتة، ولأنه مبدِع وهم مبدَعون، ولأنه دائم وهم غير دائمين،

“Karena [sebagaimana dibuktikan sebelumnya] bahwa mustahil bagi objek fisik untuk tidak pernah tiada [atau mustahil bagi objek fisik itu untuk ada selama-lamanya], maka objek fisik itu mestilah secara niscaya merupakan sesuatu yang diciptakan secara temporal (muḥdath). Sesuatu yang diciptakan dalam waktu adalah ciptaan dari suatu Pencipta, sebab Pencipta dan ciptaan adalah berkorelasi (al-muḍāf). Maka, totalitas alam semesta fisik (al-kull atau lebih lengkapnya al-jirm al-kull) secara niscaya diciptakan secara temporal dari ketiadaan (lays). … dan jika [Sang Pencipta] itu Esa maka Dia adalah Sang Pelaku / Agen Pertama … [Setelah melalui paragraf pembuktian yang cukup panjang, dibuktikan bahwa] maka tidak ada banyak [agen / pelaku] (fāʿil), tapi [yang ada adalah Agen / Pelaku yang] Esa tidak berbilang (Maha Tinggi dan Maha Besar Dia dari segala sifat yang tidak tepat yang disematkan oleh orang-orang yang tidak beragama kepada-Nya). Dia tidaklah menyerupai ciptaan-Nya tersebut. Hal itu karena terdapat keberbilangan / kemajemukan / kebanyakan (al-kathrah) pada setiap makhluk, sedangkan tidak pernah ada keberbilangan pada-Nya sama sekali, dan karena Dia adalah Pencipta dan mereka adalah yang diciptakan, dan karena Dia Kekal-Abadi dan mereka tidak kekal.” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 207)

SUMBER DAN METODOLOGI

Sumber utama dalam esai ulasan ini adalah beberapa risalah al-Kindi yang tergabung dalam kompilasi berjudul Rasā’il al-Kindī al-Falsafiyyah (RKF), yaitu Risālah al-Kindī fī-l-Fāʿil l-Ḥaqq t-Tām wa-l-Fāʿil n-Nāqis alladhī huwa bil-majāz (Risalah tentang Pelaku / Agen Yang Maha Esa dan Sempurna dan Pelaku / Agen Metaforis yang Tidak Sempurna); Risālah Fil Ibānah ʿan Sujūd al-Jirm al-Aqṣā wa Ṭā’atihi li-Allāh ʿAzza wa Jall (Risalah tentang Penjelasan atas Sujud dan Ketaatan Benda-benda Langit Terluar kepada Allah Yang Mahakuasa dan Maha Tinggi); dan Risalah tentang Cara Mengusir Kesedihan. Sementara itu, untuk ulasan tentang konsep aksi al-Ghazali, sumber primer yang digunakan adalah al-Iqtisād fī al-Iʿtiqād. Selain itu, beberapa sumber sekunder juga digunakan, di antaranya buku Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan, Membaca Pemikiran Religio-Saintifik al-Ghazali (Zarkasyi, 2018) dan beberapa Paper. Metode yang digunakan adalah tinjauan deskriptif sederhana dengan mengambil kutipan-kutipan yang terkait dengan beberapa bahasan dalam teori aksi dari sumber-sumber tersebut. Analisis yang mengaitkan hasil temuan dari tinjauan deskriptif tersebut dengan wacana kontemporer dari konsep aksi akan diberikan di bagian Pembahasan.

Ke Bagian 3

Rujukan

Adamson, Peter. 2007. Al-Kindi (Great Medieval Thinkers). New York: Oxford University Press

Atesci, Cemre. 2019. Imam Al- Ghazali’s Understanding of Human Ontology and Behavior, Master Thesis. Istanbul: Department of Civilization Studies, Ibn Haldun University.

Atiyeh, George N. 1966. Al-Kindi: Tokoh Filosof Muslim. Terjemahan Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Penerbit Pustaka Masjid Salman.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Druart, Thérèse-Anne. 1993. “Al-Kindi’s Ethics”. The Review of Metaphysics, Vol. 47, №2 (Dec., 1993), pp. 329–357 (29 pages). Published By: Philosophy Education Society Inc.

Funke, Joachim. 2017. “How Much Knowledge Is Necessary for Action?”. dalam Meusburger, P.; Werlen, B.; Suarsana, L. (eds.). Knowledge and Action. Knowledge and Space. Vol. 9. Springer International Publishing. pp. 99–111. doi:10.1007/978–3–319–44588–5_6

al-Ghazali & Bouyges (ed.), Maurice. 1927. Algazel Tahafot al-Falasifat (L’Incoherence des Philosopher), Texte Arabe etabli et accompagne d’un sommaire latin et d’index par Maurice Bouyges. Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazali & Kamali (ed.). 1963. Tahafut al-Falasifah: Incoherence of Philosophers, diterjemahkan oleh Sabih Ahman Kamali, Lahore: Pakistan Philosophical Congress,

al-Ghazali & Yaqub (ed.), Aladdin M. 2013. Al-Ghazali’s Moderation in Belief. Chicago: The University of Chicago Press.

Gyekye, Kwame. 1987. “Al-Ghazali on Action”. La raison et le miracle, (1987):83–91

Hourani, George Fadlo. 1976. “Ghazālī on the Ethics of Action”, Journal of the American Oriental Society, Vol. 96, №1 (Jan.-Mar., 1976), pp. 69–88

Ivry, Alfred L. 1976. “al-Kindī and the Muʿtazila: A Philosophical and Political Reevaluation”. Oriens, Vol. 25/26 (1976), pp. 69–85

Janssens, Jules. 1994. “al-Kindî’s concept of God”. Ultimate reality and meaning ; 1994; Vol. 17; iss. 1; pp. 4–16

al-Kindi & Lehn (ed.). 2002. “On the Means of Dispelling Sorrows,” in “The Epistle of Ya`qub ibn Ishaq al-Kindi on the Device for Dispelling Sorrows.” Translated by Ghada Jayyusi-Lehn. British Journal of Middle Eastern Studies 29 (2002): 121–35.

al-Kindi & Rīdah, Abū (ed.). 1950. Rasāil al-Kindī al-Falsafiyyah. Editor: Muhammad Abdul Hādi Abu Rīdah. Cairo: Dārul Fikri al-ʿArabiy.

Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana

McGinnis, John & Reisman, David C. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company, Inc.

Parsons, Talcott. 1949. The Structure of Social Action. Glencoe, Illinois: The Free Press

Walzer, Richard. 1957. “New Studies on Al-Kindī”. Oriens, Vol. 10, №2 (Dec. 31, 1957), pp. 203–232

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2016. “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”. Islamic Science : Paradigma, Fakta dan Agenda. Jakarta: INSISTS

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2018. Kausalitas: Hukum Alam Atau Tuhan, Membaca Pemikiran Religio-Saintifik Al-Ghazali. Ponorogo: Unida Gontor Press

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet