Teori Aksi al-Kindi dan al-Ghazali: Eksplorasi Dini Menuju Setitik Perspektif Metafisik atas Teori Aksi, Etika Aksi, dan Definisi Sosiologi (Bagian 3)

Shuffah Institute
11 min readAug 6, 2023

--

Oleh: M. Miftahul Firdaus

Ke Bagian 2

TEMUAN / HASIL

Ulasan terhadap konsep-konsep al-Kindi dan al-Ghazali yang terkait dengan teori aksi dalam artikel ini berfokus pada beberapa aspek: 1) definisi aksi hakiki dan aksi metaforis, serta kategori pelaku (aktor, agen) sejati dan pelaku metaforis; 2) persamaan dan perbedaan al-Kindi dan al-Ghazali dalam memandang Tuhan, manusia, dan objek inanimate sebagai pelaku / agen; 3) hubungan Aksi Tuhan dengan aksi manusia; dan 4) konsep etika aksi. Hasil temuan ini nantinya akan digunakan untuk merumuskan basis ideal dari aksi, definisi individu, definisi masyarakat, dan definisi sosiologi dari perspektif Islam.

Definisi Aksi dan Pelaku Hakiki

Al-Kindi merumuskan beberapa konsep terkait aksi dalam setidaknya dua risalahnya, Risālah al-Kindī fī-l-Fāʿil al-Ḥaqq at-Tām wa-l-Fāʿil an-Nāqis alladhī huwa bil-majāz (Risalah tentang Aktor/Agen Yang Sejati dan Sempurna dan Aktor/Agen Metaforis yang Tidak Sempurna) dan Risālah Fil Ibānah ʿan Sujūd al-Jirm al-Aqṣā wa Ṭā’atihi li-Allāh ʿAzza wa Jall ( Risalah tentang Penjelasan atas Sujud dan Ketaatan Benda-benda Langit Terluar kepada Allah Yang Mahakuasa dan Maha Tinggi), yang tergabung dalam naskah kompilasi Rasā’il al-Kindī al-Falsafiyyah (RKF) yang di editori oleh (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950). Kita akan melihat bahwa terdapat kesamaan antara al-Kindi dengan al-Ghazali dalam mengaitkan definisi dari Aksi Hakiki / Aksi Sejari dengan suatu definisi yang mirip dengan definisi Penciptaan, hanya saja keduanya menggunakan istilah yang berbeda: al-ibdāʿ sebagai ta’yīs al-aysāt ʿan lays menurut al-Kindi dan ikhrāj shay’ min al-ʿadam ilā-l-wujūd menurut al-Ghazali.

Sementara itu, Al-Ghazali menyatakan suatu Teori Aksi dalam bab III Tahāfut al-Falāsifah yang secara fungsional dan teleologis berhubungan dengan posisinya yang dikembangkan dalam Bab XVII di mana ia mendiskusikan dan menolak ide hubungan kausalitas yang niscaya dari beberapa filsuf. Menurutnya, keyakinan atas hubungan kausalitas niscaya selain tidak cocok dengan ide agen volunter, juga melanggar konsep aksi, yaitu bahwa dalam kerangka teori keniscayaan kausalitas itu, konsep kembar aksi dan agensi, yang secara logis terkait, menjadi kosong dan tak berguna. Hal itu karena, bila hal-hal atau kejadian-kejadian terjadi atau dihasilkan secara niscaya dalam rangkaian kausalitas, tidak akan ada tempat atau peran untuk suatu agen, sehingga tidak akan ada aksi juga.

Aksi Hakiki sebagai Penciptaan Menurut al-Kindi

Dalam Risālah al-Kindī fī-l-Fāʿil al-Ḥaqq at-Tām wa-l-Fāʿil an-Nāqis alladhī huwa bil-majāz, al-Kindi merumuskan dua pengertian Aksi Hakiki:

“Definisi pertama Aksi Sejati adalah menjadikan [membawa / mengadakan, ta’yīs] sesuatu [kepada] keberadaan (aysāt) dari ketiadaan (lays). Aksi ini secara jelas adalah khusus milik Allah, Sang Sebab Ultimate dari semua sebab (al-ʿillah); karena mengadakan sesuatu kepada keberadaan dari ketiadaan bukanlah [aksi] milik selain-Nya. Aksi [seperti] ini secara khusus disebut dengan istilah “penciptaan” (al-Ibdāʿ)”. (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 182–183)

إن الفعلَ الحقِّيَّ الأول تأييسُ الأيْساتِ عن لَيسَ. وهذا الفعل بيِّنٌ أنه خاصة لله تعالى الذى هو غايةُ كل علّة؛ فإن تأييس الأيسات عن ليس، ليس لغيره. وهذا الفعل هو المخصوص باسم الإبداع.

Tampak bahwa dalam membahas Aksi Hakiki, yang secara unik hanya merupakan Aksi Tuhan, terhadap dunia atau makhluk ciptaan, al-Kindi menggunakan istilah-istilah yang merujuk Aksi Tuhan itu sebagai Penciptaan dan memosisikan Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur yang aktif, di antaranya menggunakan istilah al-Mubdīʿ dan al-Muḥdith (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 207) seperti pada kutipan di akhir bagian pendahuluan, al-Bārī (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 231), serta al-Mukawwin dan al-Mudabbir sebagaimana pada kutipan berikut.

إن فى الظاهرات للحواس، أظهر الله لك الخافيات، لأوضح الدلالة على تدبير مدبر أول، أعنى مدبرا لكل مدبر، و فاعلا لكل فاعل، و مكونا لكل مكون، و أولا لكل أول، و علة لكل علة

“Pada yang zahir bagi indra terdapat bukti / penunjuk (dalālah) paling jelas dari adanya tatanan/aturan (tadbīr) dari Sang Pengatur Pertama, yaitu Pengatur dari setiap pengatur, Pelaku (Fāʿil) dari setiap pelaku, Pencipta / Pelaku Takwin (Mukawwin) dari setiap yang melakukan aksi kreatif / takwin metaforis (mukawwin dengan ‘m’ kecil), Sang Awal dari setiap yang awal, dan Sebab dari segala sebab.” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 214)

Walaupun secara umum sama-sama merujuk kepada Pelaku dari Aksi Penciptaan, masing-masing istilah tersebut memiliki penekanan makna spesifiknya tersendiri. Kata al-Mubdīʿ berarti Sang Pencipta atau Pelaku Penciptaan dari Ketiadaan. Kata al-Muḥdith berarti Pelaku Penciptaan dari suatu makhluk yang baru secara temporal. Kata al-Bārī bermakna Pelaku Penciptaan yang tidak mengalami atau mengkhawatirkan dampak balik apa pun dari Aksi-Nya atau status Agensi-Nya. Kata al-Mukawwin merujuk kepada Pelaku Aksi Kreatif (Takwīn), sebagaimana tercermin dalam pernyataan “التكوين فعل المكون و المكون تأثير التكوين, at-Takwīn fiʿl al-Mukawwin, wal-mukawwan ta’thīru at-Takwīn” (Abū Shakūr as-Sālimī dalam at-Tamhīd fī Bayan at-Tawḥīd, 136). Sementara itu, al-Mudabbir dapat dipahami sebagai Sang Pengatur atau Pemberi Aturan bagi jalannya alam semesta. Semua itu sekali lagi merujuk kepada natur Tuhan yang aktif menciptakan dan mengatur, atau dengan kata lain, al-Kindi menganggap Tuhan sebagai Pelaku / Agen yang aktif beraksi dan memiliki kehendak. Dengan demikian, Aksi Tuhan, yang merupakan Aksi Sejati, memiliki definisi yang sejajar dengan makna Aksi Penciptaan dan Pengaturan menurut Kehendak. (Janssen, 1994: 5–6) Al-Kindi menulis:

(( إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون))، أي إنما يريد، فيكون مع إعادته ما أراد، جل ثناؤه وتعالى أسماؤهم عن ظنون الكافرين.

“Sesungguhnya, ketika Dia menghendaki sesuatu, Perintah-Nya (amr) adalah: “Jadilah!”, maka jadilah / maujudlah sesuatu itu. Itu berarti bahwa: Dia hanya perlu berkehendak, dan apa yang Dia kehendaki maujud bersama dengan Kehendak-Nya. Maha Agung dan Maha Tinggi Dia melampaui anggapan dari orang-orang yang tidak beriman.” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 375)

Dalam kutipan tersebut, terlihat bahwa al-Kindi coba mengadopsi salah satu ayat dalam Surah Yasin untuk menghubungkan adanya makhluk ciptaan dengan Perintah (amr) Tuhan yang juga berkaitan dengan istilah Aksi Kreatif (Takwīn), yaitu Kun, dan Kehendak Tuhan. Tampak bahwa al-Kindi seolah menganggap bahwa menciptakan sesuatu cukup dengan berkehendak yang sejajar dengan aksi berbicara (memberikan perintah Kun). Sebagian peneliti menyimpulkan bahwa al-Kindi menganggap bahwa Tuhan menciptakan melalui kehendak dan perkataan (kalām, speech). Namun, saya kira pandangan al-Kindi lebih kompleks dan berlapis-lapis lagi, karena ia juga (dalam Risalah Tentang Filsafat Pertama) menghubungkan penciptaan dengan aksi memberikan kesatuan metaforis kepada makhluk dan menguraikan bahwa basis dari keberadaan itu adalah kesatuan / keesaan. Berbagai varian pendapat al-Kindi ini mesti dipandang sebagai satu sistem yang padu. Selain itu, bagaimana al-Kindi menghubungkan Kuasa dan Intensi (al-maʿānī, intentiones) dengan Aksi Penciptaan tersebut juga tampak dalam pernyataannya yang lain:

ولأن [له] القدرة [على] إخراج المعاني إلى الكون، خلق الكل جواهر

“Karena Tuhan memiliki Kuasa (aI-Qudrah) untuk mengeluarkan / mewujudkan hal-hal yang ada dalam Intensi (al-maʿānī, intentiones) menjadi suatu keberadaan / kejadian (al-kawn), Dia menciptakan totalitas substansi.” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 257)

Di sini tampak bahwa al-Kindi mengakui adanya Kehendak dan Intensi, bahkan juga Daya / Kuasa (qudrah) Tuhan. Ia bahkan juga menggunakan istilah ‘khalaqa’ untuk merujuk kepada Aksi Tuhan. Di sisi lain, al-Kindi juga mengatakan bahwa apa yang dikehendaki oleh Tuhan adalah yang paling sempurna, sehingga tatanan-Nya dan Aksi-Nya adalah tatanan dan aksi paling sempurna. Dengan kehendak dan kuasa yang sempurna itulah Tuhan, sebagai Pelaku Sejati yang melakukan Aksi Hakiki, yaitu aksi dalam makna penciptaan, mengeluarkan sesuatu dari potensialitas kepada aktualitas, asalkan sesuatu itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin menurut ukuran Hikmah-Nya. Frasa “bukan sesuatu yang tidak mungkin” di sini tidak membatasi Kehendak dan Kuasa Tuhan, tapi mengembalikan pengertian dari Aksi Hakiki itu kepada suatu aksi yang mesti dilandasi oleh Hikmah dan Kebenaran (al-Ḥaqq), karena Tuhan sebagai Pelaku Hakiki juga disebut di banyak tempat lain dalam berbagai Risalah al-Kindi — juga dalam al-Qur’an — sebagai al-Ḥaqq dan al-Ḥakīm, yang tentunya memiliki ukuran Hikmah dan Hak milik-Nya sendiri. Tidak mungkin bagi-Nya untuk bertindak tidak sesuai Hikmah dan Hak itu. Hikmah dan Hak Tuhan itu tidak ditentukan oleh manusia, tapi oleh Tuhan sendiri. Tuhan memberitahu manusia sebagian natur daripada Hikmah dan Hak itu dalam wahyu, di mana salah satu hal yang mencerminkan Hikmah dan Hak itu adalah adanya keteraturan dan tatanan yang benar dan adil (tadbīr), baik tercermin dalam isi Quran sebagai ayat yang diwahyukan, maupun dalam isi alam semesta sebagai ayat yang diciptakan. Terkait hal ini, al-Kindi menuliskan:

فهذه هي القدرة أحق الفاعل الحق، إذ هي إخراج كل ما هو بالقوة إلى الفعل الذي ليس بمحال؛ و هذا هو السجود الحق للجواد … وهذه هي السياسة الحق من السائس الحق، هي الفعل الأصلح من كل مفعول.

“Maka, [keteraturan dan aksi alam semesta ini] adalah [cerminan dari] Kuasa / Daya (al-Qudrah) Hakiki dari Sang Pelaku Sejati, karena Kuasa / Daya yang sejati itu adalah mengeluarkan / mengadakan segala sesuatu dari potensialitas ke aktualitas yang tidak mustahil; dan ini adalah sembah-sujud kepada Sang Pemurah … Dan [keteraturan dan aksi dalam tatanan alam] ini merupakan Aturan Sejati dari Sang Pengatur Sejati dan aksi terbaik dari semua aksi yang dilakukan.” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 259)

Walaupun dalam kutipan tersebut al-Kindi tidak secara eksplisit menggunakan kata Hikmah, kita dapat mengetahui bahwa tatanan Tadbir alam semesta yang teratur yang diuraikan olehnya mencerminkan adanya Hikmah itu, sebagaimana ditunjukkan oleh frasa al-fiʿl al-aṣlāḥ (aksi yang paling islah / sempurna / memenuhi Hikmah), dengan Allah sebagai al-Mudabbir (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 214) dan as-Sā’is (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950:259), Sang Pengatur yang menentukan tatanan yang tepat bagi segala sesuatu. Sementara itu, penggunaan kata Hikmah oleh al-Kindi secara lebih eksplisit dan definitif tampak dalam pernyataan berikut.

فإن فى نظم هذا العالم، و ترتيبه، و فعل بعضه في بعض، وانقياد بعضه لبعض، و تسخير بعضه لبعض، و إتقان هيئته على الأمر الأصلح في كون كل كائن، و فساد كل فاسد، و ثبات كل ثابت، و زوال كل زائل، لأعظم دلالة على إتقان تدبير — و مع كل تدبير مدبر — وعلى أحكم حكمة — و مع كل حكمة حكيم — لأن هذه جميعا منوامضاف.

“Sesungguhnya dalam keteraturan (naẓm) dan ketertiban (tartīb) alam ini; dalam aksi, subjugasi, dan subordinasi dari sebagian komponennya terhadap sebagian yang lainnya; dan dalam penyempurnaan disposisi / tendensi rancang-bangunnya (hay’ah), yang mengikuti cara yang terbaik terkait proses-proses generasi dan korupsi dari setiap yang setiap yang mengalami generasi dan korupsi, permanensi dari setiap yang dijaga tetap / permanen [sampai Hari Akhir], dan impermanensi dari setiap yang impermanen, terdapat tanda paling agung dari suatu Tatanan yang Paling Sempurna dan Hikmah yang Paling Bijaksana; dan bersama setiap Tatanan dan Hikmah itu, [juga ada bukti agung tentang adanya] Sang Pengatur dan Sang Hakim, karena semua itu termasuk korelatif (al-muḍāf).” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 215)

Sekali lagi, kutipan tersebut menunjukkan bagaimana al-Kindi berupaya menghubungkan tatanan, keteraturan, dan ketertiban alam semesta ini dengan Hikmah Tuhan, di mana Tuhan menjadi al-Hakim yang menentukan secara tepat dan bijaksana disposisi (tendensi, potensi) dan rancang bangun dari setiap komponen alam semesta. Dengan dilandaskannya Aksi Ilahi itu kepada Hikmah-Nya, maka akan diciptakan oleh-Nya makhluk-makhluk yang bersujud atau takluk kepada tatanan Hikmah yang ditentukan oleh-Nya, sehingga segala sesuatu dalam alam semesta ini diciptakan untuk memenuhi tatanan Tuhan yang Maha Bijaksana itu. Dengan demikian, hal-hal yang tidak sesuai dengan Hikmah Ilahi tersebut, misalnya “batu yang begitu besar yang Tuhan tidak mampu mengangkatnya”, menjadi absurd dan tidak valid. Aksi Ilahi dalam perspektif al-Kindi, dengan begitu, bukanlah aksi yang acak atau random, melainkan aksi yang dilandasi oleh Hikmah Ilahi. Sayangnya, al-Kindi tidak secara ekstensif dan eksplisit membahas tentang Hikmah. Namun, kesan yang mirip tentang sentralitas Hikmah dan hubungannya dengan Tatanan dan Aksi Ilahi itu dengan penjelasan yang lebih ekstensif dan elaboratif dapat dijumpai dalam karya-karya al-Maturidi, yang perlu untuk diangkat dalam agenda riset selanjutnya. Tradisi al-Maturidi dan al-Kindi, sebagai catatan, sama-sama berkembang di wilayah sekitar Balkh dan Samarkand. Meskipun al-Kindi hidup di Baghdad, murid-muridnya menyebar ke arah Timur. (Adamson, 2007: 12–17)

Sekali lagi, pemaknaan al-Kindi tentang Aksi Tuhan sebagai Aksi Hakiki yang sempurna, yang berasal dari Kehendak dan Kuasa yang sempurna, dan berlandaskan pada Hikmah yang sempurna itu bukanlah untuk membatasi kebebasan atau kehendak bebas Tuhan, tetapi untuk membedakan Aksi Tuhan, yaitu Aksi Hakiki, dari aksi makhluk atau aksi metaforis. Aksi Tuhan adalah unik dan asli sebab bermakna penciptaan, sementara aksi makhluk tidak dapat dipahami sebagai penciptaan, hanya perubahan state. Aksi Tuhan juga sesuai dengan Hikmah-Nya, bukan aksi yang acak atau random. Aksi Tuhan adalah sempurna, sehingga makhluk ciptaan (al-mukawwan), yang merupakan hasil dari Aksi Kreatif (at-Takwīn) Tuhan itu, adalah perwujudan atau aktualitas dari kemungkinan tatanan terbaik, di antara beragam potensialitas yang mungkin. Karakteristik-karakteristik Aksi Ilahi yang demikian tidak dapat dianggap sebagai pembatasan atas Kehendak Bebas Tuhan, sebab Tuhan tidak dipaksa atau dipengaruhi oleh agen luar mana pun, karena Dia adalah satu-satunya Pelaku Sejati, dan sebab Aksi Tuhan itu berlandaskan kepada Kehendak, Kuasa (Qudrah), Tatanan (Tadbīr), dan Hikmah Tuhan. Dengan demikian, alam semesta sebagai hasil dari Aksi Kreatif Tuhan itu bukanlah sesuatu yang acak dan tanpa maksud, tapi ditata untuk memenuhi Perintah (amr) Tuhan dan sembah-sujud kepada-Nya, sebagaimana judul salah satu risalah al-Kindi itu.

Selain itu, definisi Aksi Hakiki sebagai Penciptaan itu juga terlihat memiliki kemiripan dengan definisi al-Ghazali, sebagaimana dibahas kemudian. Namun, keduanya memenuhi fungsi yang berbeda, sebab dalam falsafahnya al-Kindi memanfaatkan konsep kausalitas untuk membuktikan Keberadaan dan Keesaan Tuhan sebagai satu-satunya Agen Sejati, sementara di sisi lain, al-Ghazali “menyerang” keniscayaan konsep kausalitas untuk mendukung konsep mukjizat dan menolak status agensi dari objek inanimate. Dalam konstruksi falsafah al-Kindi, sebaliknya, kita dapat mendukung validitas mukjizat dan keaktifan Tuhan dalam mengelola alam semesta tanpa perlu menyerang status agensi metaforis non-voluntaristik dari objek inanimate. Hal ini berangkat dari perbedaan keduanya dalam memandang status agensi / kepelakukan daripada objek inanimate, yang akan dibahas kemudian. Sekarang, kita tinjau terlebih dahulu makna Aksi Hakiki sebagai Penciptaan menurut al-Ghazali.

Ke Bagian 4

Rujukan

Adamson, Peter. 2007. Al-Kindi (Great Medieval Thinkers). New York: Oxford University Press

Atesci, Cemre. 2019. Imam Al- Ghazali’s Understanding of Human Ontology and Behavior, Master Thesis. Istanbul: Department of Civilization Studies, Ibn Haldun University.

Atiyeh, George N. 1966. Al-Kindi: Tokoh Filosof Muslim. Terjemahan Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Penerbit Pustaka Masjid Salman.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Druart, Thérèse-Anne. 1993. “Al-Kindi’s Ethics”. The Review of Metaphysics, Vol. 47, №2 (Dec., 1993), pp. 329–357 (29 pages). Published By: Philosophy Education Society Inc.

Funke, Joachim. 2017. “How Much Knowledge Is Necessary for Action?”. dalam Meusburger, P.; Werlen, B.; Suarsana, L. (eds.). Knowledge and Action. Knowledge and Space. Vol. 9. Springer International Publishing. pp. 99–111. doi:10.1007/978–3–319–44588–5_6

al-Ghazali & Bouyges (ed.), Maurice. 1927. Algazel Tahafot al-Falasifat (L’Incoherence des Philosopher), Texte Arabe etabli et accompagne d’un sommaire latin et d’index par Maurice Bouyges. Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazali & Kamali (ed.). 1963. Tahafut al-Falasifah: Incoherence of Philosophers, diterjemahkan oleh Sabih Ahman Kamali, Lahore: Pakistan Philosophical Congress,

al-Ghazali & Yaqub (ed.), Aladdin M. 2013. Al-Ghazali’s Moderation in Belief. Chicago: The University of Chicago Press.

Gyekye, Kwame. 1987. “Al-Ghazali on Action”. La raison et le miracle, (1987):83–91

Hourani, George Fadlo. 1976. “Ghazālī on the Ethics of Action”, Journal of the American Oriental Society, Vol. 96, №1 (Jan.-Mar., 1976), pp. 69–88

Ivry, Alfred L. 1976. “al-Kindī and the Muʿtazila: A Philosophical and Political Reevaluation”. Oriens, Vol. 25/26 (1976), pp. 69–85

Janssens, Jules. 1994. “al-Kindî’s concept of God”. Ultimate reality and meaning ; 1994; Vol. 17; iss. 1; pp. 4–16

al-Kindi & Lehn (ed.). 2002. “On the Means of Dispelling Sorrows,” in “The Epistle of Ya`qub ibn Ishaq al-Kindi on the Device for Dispelling Sorrows.” Translated by Ghada Jayyusi-Lehn. British Journal of Middle Eastern Studies 29 (2002): 121–35.

al-Kindi & Rīdah, Abū (ed.). 1950. Rasāil al-Kindī al-Falsafiyyah. Editor: Muhammad Abdul Hādi Abu Rīdah. Cairo: Dārul Fikri al-ʿArabiy.

Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana

McGinnis, John & Reisman, David C. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company, Inc.

Parsons, Talcott. 1949. The Structure of Social Action. Glencoe, Illinois: The Free Press

Walzer, Richard. 1957. “New Studies on Al-Kindī”. Oriens, Vol. 10, №2 (Dec. 31, 1957), pp. 203–232

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2016. “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”. Islamic Science : Paradigma, Fakta dan Agenda. Jakarta: INSISTS

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2018. Kausalitas: Hukum Alam Atau Tuhan, Membaca Pemikiran Religio-Saintifik Al-Ghazali. Ponorogo: Unida Gontor Press

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet