Teori Aksi al-Kindi dan al-Ghazali: Eksplorasi Dini Menuju Setitik Perspektif Metafisik atas Teori Aksi, Etika Aksi, dan Definisi Sosiologi (Bagian 1)

Shuffah Institute
10 min readAug 6, 2023

--

Oleh: M. Miftahul Firdaus

PENDAHULUAN

Aksi (fiʿil, action, tindakan) merupakan tema yang penting untuk dikaji dalam agenda Islamisasi sains, karena ia berkaitan dengan berbagai cabang filsafat — yaitu Teori Aksi filosofis yang membahas tentang proses-proses aksi seseorang yang berasal dari kehendak, yang dengan begitu berkaitan dengan bahasan metafisika, epistemologi, etika, yurisprudensi, hingga psikologi — dan ilmu sosial-humaniora, yaitu Teori Aksi dalam pengertian sosiologis. Meskipun selama ini kedua jenis Teori Aksi itu dibedakan secara tajam, saya mengambil dugaan awal bahwa keduanya tidak dapat sepenuhnya dipisahkan, mengingat sama-sama membahas tentang unit-unit dari sistem aksi (Action System), yang mencakup pembahasan mengenai aksi itu sendiri, agen atau individu pelaku aksi, situasi atau kondisi aksi, orientasi normatif dari aksi, aspek tujuan keadaan akhir (ends aspects / expected future state of affairs), dan aspek nilai (value) serta subjektif dari suatu aksi; di mana sebagian dari aspek-aspek itu berkaitan dengan pembahasan tentang metafisika, etika, epistemologi, psikologi, intensi, kehendak, free will, predestinasi, pengetahuan, status agensi dari pelaku aksi, dan sebagainya (Funke, 2017: 99–11).

Konsep aksi bahkan juga terkait dengan beberapa cabang keilmuan Islam, seperti fikih dan usul fikih (yang akan ditampilkan sebagai suatu ilmu tentang etika aksi yang normatif / berlandaskan posisi legal), akhlak dan tasawuf (yang akan diperlihatkan sebagai ilmu tentang aspek esoteris daripada aksi), dan bahkan kalam (yaitu cabangnya yang membahas tentang Aksi Ilahi / Perbuatan Tuhan dan hubungannya dengan aksi manusia). Konsep aksi juga terkait dengan sisi intrinsik dan ekstrinsik dari manusia; yaitu proses-proses psikologis-intelektual yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam suatu aksi pada satu sisi, dan hubungan antar-diri atau hubungan kemasyarakatan di sisi yang lain. Dengan natur yang multidisiplin seperti itu, jika kita berhasil melakukan dewesternisasi dan Islamisasi terhadap konsep aksi, kita akan memiliki bekal yang baik dalam agenda dewesternisasi dan Islamisasi berbagai cabang ilmu yang terkait dengannya. Selain itu, beberapa intelektual Muslim masa lalu, seperti al-Kindi dan al-Ghazali, juga mewariskan beberapa tulisan tentang aksi; sementara al-Quran dan Hadis juga tidak sedikit membahas tentang aksi, sehingga penggalian konsep aksi dalam berbagai sumber ilmu internal peradaban Islam menjadi potensial untuk dilakukan. Artikel sederhana ini dimaksudkan sebagai suatu upaya eksplorasi dini terhadap konsep-konsep aksi dari al-Kindi dan al-Ghazali untuk mengawali agenda panjang menuju dirumuskannya setitik perspektif metafisik atas teori aksi, etika aksi, dan definisi sosiologi madani.

Hubungan Konsep Aksi dengan Ilmu, Din, dan Adab

Sifat multidisipliner dari tema konsep dan teori aksi tersebut akan tampak bila kita mengkaji hubungannya dengan pelbagai konsep yang menjadi pokok bahasan dalam berbagai cabang keilmuan. Jika pengetahuan (knowledge) itu didefinisikan sebagai tibanya jiwa kepada makna (the arrival of the soul at meaning) atau sampainya makna kepada jiwa (the arrival of meaning in the soul); sedangkan makna (meaning, maʿnā) itu dimaknai sebagai pengakuan (acknowledgement), pengenalan (recognition), konfirmasi (confirmation), dan afirmasi (affirmation) terhadap kedudukan atau tempat yang tepat bagi segala sesuatu dalam suatu sistem (proper place of anything in a system) — yaitu sistem konseptual Qurani (Quranic conceptual system) yang dirumuskan ke dalam suatu pandangan alam (worldview) oleh tradisi dan diartikulasikan oleh agama (Din), yang terjadi ketika hubungan antara suatu hal dengan hal-hal lainnya dalam sistem tersebut telah menjadi jelas dan dipahami — di mana “segala sesuatu” itu merujuk kepada Totalitas Wujud atau Realitas Total saat kita mengacu kepada keseluruhan eksistensi; yang berimplikasi pada pengenalan dan pengakuan atas tempat yang tepat bagi segala sesuatu dalam suatu tatanan penciptaan (the order of creation), yang berikutnya meniscayakan pengakuan, pengenalan, konfirmasi, dan afirmasi terhadap Kedudukan Tuhan (the proper place of God) dalam keseluruhan tatanan wujud dan eksistensi (the order of being and existence); maka pengetahuan itu meniscayakan (necessitates) aksi yang benar (proper action, right action) berdasarkan pengenalan dan pengakuan tersebut terhadap Keseluruhan Tatanan Wujud. Aksi yang tepat berdasarkan pengenalan, pengakuan, konfirmasi, dan afirmasi terhadap Realitas Total itulah yang lalu disebut sebagai adab, yang berkaitan erat dengan konsep Din (pengertian agama menurut perspektif Islam) dan Tamadun (peradaban). Aktualisasi dari adab itu pada diri-diri individual, yang kemudian secara kolektif membentuk masyarakat, mencerminkan keadaan yang adil (justice), di mana keadilan itu mencerminkan sifat hikmah (wisdom) — suatu cahaya pemahaman yang memungkinkan penerimanya menyibak kebenaran dan kedudukan yang tepat dari segala sesuatu, sehingga adab itu dapat juga dimaknai sebagai suatu aksi kognitif (cognitive action) yang melaluinya kita mengaktualisasikan keadaan keadilan bagi segala keberadaan dalam tempat masing-masingnya yang tepat. (al-Attas, 1995: 15–17) Dengan demikian, konsep aksi itu amat bertalian dengan konsep adab, peradaban, din, dan tamadun, atau dengan kata lain, berhubungan dekat dengan ajaran Islam itu sendiri. Bahkan, konsep aksi itu berkaitan akrab dengan pengertian dari pengetahuan dan makna itu sendiri, sebab — seperti yang dikatakan oleh al-Kindi — tujuan dari seorang filsuf dan saintis (yaitu pencari kebenaran) itu dalam ranah pengetahuan teoritisnya (fī ʿilmih) adalah untuk mencapai kebenaran (iṣābah al-ḥaqq) dan dalam ranah aksi praktisnya (fī ʿamali) adalah untuk hidup dengan penuh kebenaran (al-ʿamal bil-ḥaqq). Pernyataan al-Kindi berikut ini menegaskan hubungan erat antara konsep pengetahuan dengan konsep aksi.

لأن غرض الفيلسوف في علمه إصابة الحق وفي عمله العمل بالحق

Sesungguhnya tujuan dari seorang filsuf [yang di masa lalu juga mencakup saintis] secara keilmuan-teoritis adalah untuk mencapai kebenaran, dan secara aksi-praktis adalah untuk bertindak dengan penuh kebenaran.” (al-Kindi & Abū Rīdah, 1950: 97)

Relevansi Konsep Aksi dengan Ilmu Kalam, Fikih, dan Akhlak

Konsep aksi menjadi penting untuk dibahas juga disebabkan oleh relevansinya dengan beberapa cabang penting keilmuan Islam, yaitu kalam (ʿilm al-kalām), fikih (ʿilm al-fiqh), dan akhlak (ʿilm akhlāk). Kalam didefinisikan sebagai studi atau ilmu tentang Tuhan, yang memiliki empat topik utama: eksistensi dan natur fundamental Tuhan, Sifat-sifat Tuhan (God’s Attributes), Tindakan / Perbuatan Tuhan (God’s Actions), Wahyu Tuhan, dan Para Utusan Tuhan (Nabi dan Rasul). Terkait dengan teori aksi, topik yang menjadi fokus adalah soal Aksi / Tindakan Tuhan dan hubungannya dengan aksi makhluk, khususnya aksi manusia. Sementara itu, fikih membahas tentang nilai legal-normatif dari perbuatan / aksi manusia, di mana ia didefinisikan sebagai ilmu tentang peraturan-peraturan wahyu yang ditetapkan terhadap aksi / tindakan manusia yang telah dikenai tanggung jawab / beban kewajiban (al-mukallafīn). Aturan (ḥukm, jamak: aḥkām) dinyatakan atau tersirat dalam sumber-sumber wahyu untuk setiap jenis aksi / tindakan, yang menentukan apakah aksi / tindakan tersebut diwajibkan, disunahkan, dibolehkan (mubah), dimakruhkan, atau diharamkan oleh Tuhan. Jadi, fikih dalam perinciannya (furūʿ) adalah ilmu agama normatif, yang secara teoritis mampu menemukan penilaian Tuhan atas setiap golongan aksi / perbuatan manusia. Namun, fikih juga memiliki bagian yang lebih mendasar, yaitu ilmu tentang prinsip-prinsip hukum (uṣūl al-fiqh) atau yurisprudensi, yang menyelidiki secara umum bukti-bukti dari aturan-aturan fikih: kondisi-kondisi keabsahan sumber-sumber hukumnya; penafsiran legal-normatif terhadap al-Qur’an, hadis, dan lain-lain (terlihat di sini terdapat irisan dengan kalam); dan metode penafsiran dan perluasan sumber-sumbernya. Dengan kata lain, fikih dan usul fikih merupakan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip penilaian etis normatif atas aksi / tindakan eksternal manusia, yaitu semacam etika aksi (ethics of action). Selain dalam kalam dan fikih, konsep aksi juga relevan dalam ilmu akhlak, yang dapat disebut juga sebagai ilmu tentang etika karakter (ethics of character). Terkadang, ilmu akhlak juga didekati dengan pendekatan yang lebih sufistik, di mana ia dapat didefinisikan sebagai “ilmu tentang keadaan-keadaan kalbu” (ʿilm aḥwāl al-qalb) atau “ilmu tentang perilaku manusia” (ʿilm al-muʿāmalah), yang dipahami sebagai suatu studi tentang disposisi-disposisi yang benar (virtues) yang melandasi aksi-aksi yang telah digariskan oleh Hukum / Syariat. Dengan kata lain, ilmu akhlak dapat dianggap sebagai suatu studi tentang sisi dalam / intrinsik daripada etika aksi, yaitu kultivasi jiwa personal. Ketiga ilmu Islam tersebut terkait dengan bahasan konsep aksi, sehingga konsep aksi memiliki kedudukan yang penting untuk dipelajari dalam Islam. (Hourani, 1976: 69–70)

Sentralitas Konsep Aksi dalam Harmoni Individu dan Masyarakat

Alasan lain konsep aksi ini penting untuk dikaji adalah karena ia secara bersamaan berkaitan dengan aspek intrinsik dan ekstrinsik dari diri manusia. Aspek intrinsik di sini berarti segala macam entitas dan proses yang ada di dalam individu, termasuk jiwa (rūh, soul, spirit), diri (nafs, self), kalbu (qalb, heart), dan akal (ʿaql, intellect, reason, mind). Aspek ekstrinsik di sini meliputi segala macam ekspresi yang ditampakkan oleh diri individu itu lewat perbuatan (aksi itu sendiri) dan komunikasi (communicative aspect of action). Aksi dan komunikasi dari diri individu itu, bila bertemu dengan aksi dan komunikasi dari diri individu yang lain, akan membentuk interaksi yang menjadi salah satu unit dasar dari masyarakat atau komunitas. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa konsep aksi dapat berkedudukan sebagai penghubung antara diri individu dengan masyarakat. Dengan demikian, konsep aksi yang tepat (proper / right / requisite action) atau aksi yang cerdas (cognitive action) berdasarkan pengenalan dan pengakuan atas Totalitas Tatanan Wujud itu dapat menunjukkan bagaimana untuk meletakkan diri dan masyarakat secara adil dan harmonis. Hal ini penting mengingat berbagai cabang pemikiran sosial yang sekuler gagal mengharmoniskan individu dengan masyarakat, atau justru bertendensi untuk mempertentangkan keduanya. Hal itu misalnya terlihat dalam pertentangan antara liberalisme yang bertumpu kepada individualisme dengan sosialisme dan komunisme yang berlandaskan egalitarianisme atau komunalisme. Islam sebagai worldview yang hierarkis (berlandaskan kepada hierarki yang tepat dan berkeadilan) — kita ingat bahwa adab itu mengimplikasikan kepada pengenalan dan pengakuan terhadap hierarki dalam tatanan wujud — tentunya harus berupaya mengharmoniskan diri individu dengan masyarakat lewat konsepsinya tentang adab (proper action based on recognition). Dalam hubungan antara individu dengan masyarakat ini, adab yang pertama adalah terhadap diri sendiri (one’s self); kemudian terhadap keluarga dan para anggotanya, di mana sikap dan perilaku seseorang terhadap orang tua, para sini-sepuh, dan anggota keluarganya yang lain menunjukkan aksi yang tulus (sincere acts) daripada kerendahan hati, cinta dan kasih sayang, rasa hormat, kepedulian, dan kedermawanan, yang menandakan bahwa orang yang menjalankan aksi itu memahami kedudukan yang tepat bagi dirinya dengan kedudukan dari keluarganya. Adab (right action) terhadap sanak-famili ini, ketika diperluas kepada para guru, teman, sahabat, komunitas, pemimpin, dan lain-lain, memanifestasikan pengetahuan, pengenalan, dan pengakuan dirinya terhadap kedudukan yang tepat bagi setiap orang di dalam masyarakat, sehingga berimplikasi pada aktualisasi aksi-aksi yang tepat yang niscaya untuk dilakukan (requisite actions) itu oleh dirinya terhadap masyarakat. (al-Attas, 1995: 17–18) Di sini, kita melihat sentralitas konsep aksi (yang beradab) dalam upaya harmonisasi diri dan masyarakat.

Harmonisasi itu selanjutnya dapat didukung dengan mengaitkan konsep aksi yang beradab itu dengan pandangan dasar bahwa Islam merupakan emulasi / tiruan dari pola atau bentuk yang menurutnya Tuhan mengatur Kerajaan-Nya (termasuk alam semesta fisik ini); sehingga Islam itu adalah tiruan / emulasi dari Tatanan Kosmos yang diwujudkan di sini di dalam kehidupan duniawi ini sebagai tatanan individu, tatanan sosial, tatanan ekonomi, tatanan hukum, dan juga tatanan politik. Tatanan sosial Islam mencakup semua aspek keberadaan fisik dan material dan spiritual manusia dengan cara yang, di sini dan saat ini, berlaku adil bagi individu maupun masyarakat; dan berlaku adil pula kepada individu sebagai makhluk fisik maupun individu sebagai ruh (al-Attas, 1995: 55). Dalam konsepsi yang integral itu, harmoni terjadi karena yang individual dan yang sosial itu dapat berjalan beriringan dan saling mendukung sebagai sama-sama bagian daripada tatanan kosmos yang dikendalikan oleh Tuhan. Dengan adanya tujuan dan panduan yang berkeadilan dari Tuhan, masing-masing dari yang individual dan yang sosial dapat dioptimalkan tanpa harus bertentangan satu sama lainnya, mengingat panduan itu sudah pasti membawa harmoni sebagaimana ia membawa harmoni kepada tatanan kosmos itu sendiri, berdasarkan Hikmah Tuhan (God’s Wisdom). Dengan demikian, harmoni individu dengan masyarakat itu dapat dijamin dalam konsepsi Islam tentang aksi yang beradab terhadap Totalitas Tatanan Wujud itu karena individu dan masyarakat diposisikan sebagai representasi mikrokosmik dari makrokosmos “microcosmic representation of the macro-cosmos” (al-Attas, 1993: 141–143), sehingga aksi yang tepat / yang beradab terhadap masing-masing komponennya berdasarkan rekognisi yang tepat terhadap Tatanan Ilahi dan penciptaan akan membawa harmoni.

Bersambung ke Bagian 2

Rujukan

Adamson, Peter. 2007. Al-Kindi (Great Medieval Thinkers). New York: Oxford University Press

Atesci, Cemre. 2019. Imam Al- Ghazali’s Understanding of Human Ontology and Behavior, Master Thesis. Istanbul: Department of Civilization Studies, Ibn Haldun University.

Atiyeh, George N. 1966. Al-Kindi: Tokoh Filosof Muslim. Terjemahan Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Penerbit Pustaka Masjid Salman.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Druart, Thérèse-Anne. 1993. “Al-Kindi’s Ethics”. The Review of Metaphysics, Vol. 47, №2 (Dec., 1993), pp. 329–357 (29 pages). Published By: Philosophy Education Society Inc.

Funke, Joachim. 2017. “How Much Knowledge Is Necessary for Action?”. dalam Meusburger, P.; Werlen, B.; Suarsana, L. (eds.). Knowledge and Action. Knowledge and Space. Vol. 9. Springer International Publishing. pp. 99–111. doi:10.1007/978–3–319–44588–5_6

al-Ghazali & Bouyges (ed.), Maurice. 1927. Algazel Tahafot al-Falasifat (L’Incoherence des Philosopher), Texte Arabe etabli et accompagne d’un sommaire latin et d’index par Maurice Bouyges. Beirut: Imprimerie Catholique.

Al-Ghazali & Kamali (ed.). 1963. Tahafut al-Falasifah: Incoherence of Philosophers, diterjemahkan oleh Sabih Ahman Kamali, Lahore: Pakistan Philosophical Congress,

al-Ghazali & Yaqub (ed.), Aladdin M. 2013. Al-Ghazali’s Moderation in Belief. Chicago: The University of Chicago Press.

Gyekye, Kwame. 1987. “Al-Ghazali on Action”. La raison et le miracle, (1987):83–91

Hourani, George Fadlo. 1976. “Ghazālī on the Ethics of Action”, Journal of the American Oriental Society, Vol. 96, №1 (Jan.-Mar., 1976), pp. 69–88

Ivry, Alfred L. 1976. “al-Kindī and the Muʿtazila: A Philosophical and Political Reevaluation”. Oriens, Vol. 25/26 (1976), pp. 69–85

Janssens, Jules. 1994. “al-Kindî’s concept of God”. Ultimate reality and meaning ; 1994; Vol. 17; iss. 1; pp. 4–16

al-Kindi & Lehn (ed.). 2002. “On the Means of Dispelling Sorrows,” in “The Epistle of Ya`qub ibn Ishaq al-Kindi on the Device for Dispelling Sorrows.” Translated by Ghada Jayyusi-Lehn. British Journal of Middle Eastern Studies 29 (2002): 121–35.

al-Kindi & Rīdah, Abū (ed.). 1950. Rasāil al-Kindī al-Falsafiyyah. Editor: Muhammad Abdul Hādi Abu Rīdah. Cairo: Dārul Fikri al-ʿArabiy.

Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana

McGinnis, John & Reisman, David C. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis: Hackett Publishing Company, Inc.

Parsons, Talcott. 1949. The Structure of Social Action. Glencoe, Illinois: The Free Press

Walzer, Richard. 1957. “New Studies on Al-Kindī”. Oriens, Vol. 10, №2 (Dec. 31, 1957), pp. 203–232

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2016. “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”. Islamic Science : Paradigma, Fakta dan Agenda. Jakarta: INSISTS

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2018. Kausalitas: Hukum Alam Atau Tuhan, Membaca Pemikiran Religio-Saintifik Al-Ghazali. Ponorogo: Unida Gontor Press

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet