Shuffah Manifesto
Bahwa segala bentuk pembangunan peradaban adalah mustahil tanpa pembangunan diri, menjadikan diri merupakan esensi dari setiap transformasi. Segala bentuk perubahan dengan demikian harus disandarkan pada pembentukan setiap kedirian. Dalam hal itu, pendidikan dalam bentuk apapun secara luhur haruslah bertujuan mentransformasi setiap diri manusia, membuatnya memahami tujuan hidupnya, mengeluarkan setiap potensinya, menjadikannya makhluk paripurna, dan mengembalikannya pada fitrah seharusnya, berlandaskan pondasi agama.
Sayang, pendidikan kerap berpaling dari yang murni, terbawa dorongan hasrat materi, membuat manusia bentukannya turut tercerabut dari esensi, hingga balik mencemari, aliran nadi peradaban. Tak heran, abad 21 adalah abad penuh enigma, dimana banyak fenomena, bak simalakama, jika bukan dilema, dari kemajuan akal manusia. Wajar, jika ternyata kita sadari, bahwa sains dan teknologi, tak lain brekembang justru berbasis materi, ataupun ego tersembunyi.
Ini adalah era deklinasi, dimana setiap moral berbasis hasrat hewani, kebebasan menjadi prinsip inti, yang semua dasarnya kembali, pada masalah setiap diri, yang gagal memahami, bahkan sekadar untuk apa ia mati. Menghadapi hal ini, Islam seidealnya adalah tawaran banyak solusi, petunjuk untuk setiap kebingungan hati, vaksin untuk virus demoralisasi, obat untuk kemajuan yang anomali. Akan tetapi, ia kerap dipelajari menyesuaikan kebutuhan, atau sebagai rutinitas berdasarkan kesempatan. Kajian melimpah, namun terpisah-pisah. Sedang ilmu sendiri memiliki keutuhan, yang perlu mendapat pemahaman, secara terstruktur dengan keruntutan. Hal yang demikian sayangnya hanya hadir pada pendidikan, yang jelas tengah terpojokkan, oleh industri dan perekonomian. Kalaupun ada yang alternatif, masih langka dalam arus utama, atau berjauhan dari keseharian.
Ditambah lagi dari itu, Islam adalah bahan baku, dasar dan mengakar, yang tetap perlu dielaborasi, diurai dan didekripsi, untuk bisa menjadi beragam solusi. Bahwa penelitian berbasis keislaman sangat diperlukan, menjadi apa yang turut terasingkan, dengan pragmatisme zaman. Sedang setiap diri, yang pada dasarnya punya potensi, akhirnya mengembangkan ilmu tanpa dihadiri, oleh prinsip agama kokoh di hati. Wajar jika ilmu terdikotomi, antara agama dengan yang duniawi, jauh dari integrasi, sehingga akhirnya peradaban ini, berdiri tanpa pijakan kaki, tercerabut dari yang inti, nilai-nilai Allah yang hakiki.
Oleh karena itu, sebuah ikhtiar perlu diinisiasi, sebuah ikhtiar untuk membangun setiap diri, yang hakikatnya butuh ilmu secara rapih, yang dipelajari dengan pelan tapi pasti, terlepas dari apa yang dimiliki, untuk kelak aktif berpartisipasi, mengepak sayap potensi, membangun agama dan peradaban di seluruh penjuru bumi. Ya, selayaknya mereka yang berdiam diri, di serambi masjid nabi, pelan mempelajari, hingga kelak memberi arti, pada lingkungan yang mereka singgahi. Itulah ashabul shuffah, penghuni shuffah, tempat mereka yang berhasrat belajar bersinggah, meski iman baru berkualitas hijrah. Shuffah juga rumah segala diskusi, tempat berpikir mencari solusi, tempat masalah umat terselesaikan, sebagaimana masjid adalah pusat peradaban.
Maka dari itu, kami yang bertanda tangan di bawah ini, menjadikan Shuffah nama ikhtiar ini, ikhtiar untuk membangun umat, mulai dari diri. Sehingga, pada hari ini, tanggal 1 Muharram 1442 H, dengan nama Allah SWT, kami membentuk sebuah lembaga, dengan nama Institut Shuffah, yang bertujuan untuk (1) memberikan pendidikan alternatif untuk pemuda muslim agar lebih memahami diri dan kehidupan, potensi dan peradaban, dengan pembelajaran islam yang utuh dan; (2) menyalurkan potensi keilmuan pemuda-pemuda muslim melalui penelitian-penelitian, agar islam turut teroptimalkan, sebagai solusi untuk peradaban, dengan integrasi beragam pengetahuan.
Sebagaimana identitas adalah apa yang masyarakat lihat dari kami, sebuah logo kami bangun dengan berdasar pada mimpi besar untuk membangkitkan kembali peradaban Islam, dimana kami menggunakan basis warna merah dan hitam sebagai dua basis perjuangan, yakni darah dan tinta. Istana Alhambra, saksi bisu pengaruh islam di ujung benua, dengan disiplin keilmuan yang diakui dunia, kami jadikan kerangka utama, dengan bentuk siluet gerbangnya, serta ornamen yang menghiasi dindingnya. Kata Shuffah kami torehkan dengan aksara Kufi Murabba’, dengan ciri khas bentuk kubusnya, simbol bentuk Ka’bah yang mulia, sebagai pertanda bahwa kami hanyalah hamba, dari Yang Maha Kuasa, Allah Ta’ala.
Demikian pernyataan luhur dan ikhlas dari kami. Hal-hal rinci terkait hal ini akan diatur sedemikian rupa melalui dokumen-dokumen pelengkap lainnya. Semoga Allah SWT senantiasa menyertai setiap langkah-langkah tulus ini.
Bandung, 20 Agustus 2020