Riwayat Singkat Pergulatan Dominasi Mazhab dalam Sosiologi Amerika Serikat dan Refleksi bagi Pembangunan Sosiologi Islam

Shuffah Institute
41 min readApr 9, 2023

--

Oleh: M. Miftahul Firdaus

Pendahuluan

Dalam pelaksanaan agenda Islamisasi sains, kita meyakini bahwa sains dan pengetahuan secara umum tidak netral, tapi memuat pengaruh dari suatu sistem metafisik, pandangan alam, paradigma, dan nilai-nilai tertentu dari peradaban yang mengembangkannya. Selain itu, sains dapat dianggap sebagai gugusan dari program-program riset yang dapat saling bersaing untuk menjadi program riset yang dominan, paradigma dominan, atau sains normal. Setiap program riset itu berisi kumpulan hukum, teori, dan hipotesis bantu yang dilandasi oleh unsur-unsur yang bersifat ‘doktriner’, entah itu disebut sebagai Hard Core dalam model Imre Lakatos, ataupun paradigma dalam model Thomas Kuhn. Salah satu bukti dari keyakinan itu dapat dilihat dalam sejarah sosiologi, khususnya di Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan gejala persaingan dominasi antar-mazhab teoretis.

Seiring terjadinya kompetisi antar-Mazhab itu, teori yang dominan dalam sosiologi AS juga berubah-ubah dalam kurun waktu tertentu. Setelah beberapa lama, mazhab teori dominan akan menghadapi menguatnya penantang tertentu. Jika teori yang dominan itu tidak dapat mempertahankan faktor-faktor dominasinya, ia akan mengalami pelemahan. Saat suatu teori dominan melemah dan teori penantangnya menguat, akan ada fase antara (interregnum). Dalam fase antara itu, jika teori penantang utama tersebut berhasil merebut semua faktor dominasi, ia akan menjadi teori dominan berikutnya. Namun, jika teori penantang utama kurang kuat menguasai faktor-faktor dominasi yang dibutuhkan, akan terjadi semacam kekosongan dominasi (vakum). Meski terjadi kekosongan, teori yang paling banyak dianut saat itu tetap dapat menjadi penarik gerbong dalam masyarakat ilmiah sosiologi, hanya tidak dikatakan memiliki dominasi penuh. Demi penyederhanaan, dominasi tak penuh di fase antara itu tetap akan dianggap sebagai suatu dominasi.

Rangkuman Periodisasi

Berdasarkan tinjauan sejarah secara sekilas, dapat dikatakan bahwa sosiologi modern di AS secara formal bermula pada 1890-an. Di era awal ini, terjadi proses definisi disiplin keilmuan yang panjang, pemisahan dan pemandirian dari ilmu-ilmu sosial lainnya, dan pengakuan bertahap sebagai mata kuliah dam departemen / jurusan di universitas. Mazhab Chicago merupakan aliran pemikiran yang pertama kali menjadi dominan, sejak sekitar Perang Dunia I hingga awal 1930-an. Selanjutnya, Mazhab Columbia yang positivistik muncul sebagai penantang terkuat dan melucuti dominasi Mazhab Chicago. Namun, sebagian pihak menganggap bahwa kelompok Columbia tidak dapat mencapai dominasi penuh. Terjadilah suatu fase antara yang kemudian diikuti dengan dominasi kaum fungsionalis di era 1940 dan 1950-an. Dominasi aliran fungsionalisme melemah pada akhir 1960-an, diikuti dengan suatu fase antara yang menunjukkan menguatnya kaum kiri di AS. Penguatan kelompok kiri ini, dibarengi dengan meluasnya pemikiran Postmodernisme serta Teori Kritis (Critical Theory) Mazhab Frankfurt dalam studi sosial pasca 1960 dan 1970-an, menghadirkan dominasi pemikiran Marxisme yang telah diadaptasi (sosialisme-demokrat) dalam sosiologi dan studi sosial-humaniora secara umum di AS relatif hingga saat ini. Dewasa ini, dengan munculnya reaksi dari para intelektual konservatif terhadap pemikiran kiri, dapat diduga bahwa sosiologi AS sedang memasuki suatu fase antara yang baru. (Wiley, 1979: 47)

Mazhab dalam Sosiologi

Istilah mazhab dalam sosiologi dapat digunakan untuk merujuk pada pengelompokan akademisi dan peneliti yang menganut suatu paradigma, metodologi, atau kompleks teori tertentu, baik itu tergabung dalam satu unit administratif yang definitif maupun tidak, baik mereka tergabung dalam suatu lembaga, maupun lintas lembaga. Dengan demikian, istilah ini dapat merujuk pada suatu bentuk pengelompokan akademisi dari berbagai institusi yang sepaham dalam suatu gugusan tema, baik yang terfokus secara institusional maupun tidak. Pengelompokan tersebut terdiri dari jenis utama. Jenis pertama adalah jaringan intelektual yang ada secara bersamaan yang saling berkolaborasi, berinteraksi, berkomunikasi, dan/atau memiliki gagasan serupa (dalam hal asumsi dasar, teori inti, disiplin ilmu, atau kombinasi dari semuanya); atau pun jaringan yang “lebih lemah”, yang biasanya hanya terhubung berdasarkan koneksi tentatif seperti kebangsaan, pilihan metodologi, atau arah teoretis. Jenis mazhab kedua merupakan kelompok aliran ide yang kongruen, yaitu kelompok longgar yang tidak mesti terikat dalam ruang dan waktu yang sama, dan lebih dikelompokkan berdasarkan konvergensi ide; biasanya dicirikan oleh kepatuhan pada pengembangan posisi teoretis tertentu, berbagi falsafah utama yang sama, atau berbagi sudut pandang teoritis atau filosofis yang selaras, yang kaitannya dapat diidentifikasi sebagai dengan kesamaan tokoh historis panutan, arah teoretis, tradisi, paradigma, cara kerja, metodologi, dan/atau konten teoretis tertentu. (Harvey, 1987 245–247)

Mazhab, Paradigma Sains, dan Program Riset

Dengan pengertian yang menekankan pada kesamaan atau keselarasan pada aspek-aspek tersebut, suatu mazhab sosiologi — juga dalam bidang-bidang keilmuan lain — dapat dianggap sebagai suatu unit metasaintifik. Landasan metasaintifik itu dapat dimaknai sebagai suatu paradigma dalam model filsafat sains Thomas Kuhn, maupun Hard Core dalam model program riset Imre Lakatos (Harvey, 1987: 247). Sebagai unit metasaintifik, suatu mazhab juga dapat dilihat sebagai suatu komunitas ilmiah yang mengembangkan suatu gugusan gagasan tertentu (Tiryakian, 1979a; Harvey, 1987: 249–250). Komunitas ilmiah yang menyusun suatu mazhab berpusat pada seorang figur sentral yang biasanya karismatik secara intelektual dan sekelompok kecil inti pengembang gagasan yang membantunya, baik itu sebagai rekan yang setara bagi figur sentral, maupun muridnya.

Figur sentral dan lingkaran inti itu kemudian merumuskan presuposisi, paradigma dan Hard Core dari program riset mazhab tersebut. Elemen-elemen dasar filsafat sains ini oleh sebagian kalangan dianggap bersifat metasaintifik, dalam artian bahwa kelompok ilmiah ini berusaha mati-matian mempertahankan elemen dasar itu dari perubahan, sehingga inti sentral mazhab ini dapat dianggap juga — dalam pengertian yang positif — sebagai suatu “cloister of dogmatism”. Dogmatisme di sini dianggap positif karena antar mazhab yang berbeda akan muncul persaingan untuk menjawab berbagai permasalahan teoretis dalam suatu disiplin ilmu, berikut anomali-anomali yang tidak dapat dijawab oleh lawan-lawannya. (Harvey, 1987: 249–250 & 252)

Seiring suatu mazhab semakin mampu menjelaskan berbagai aspek realitas yang menjadi objek disiplin ilmu tersebut, mereka akan menarik lebih banyak peminat dari kalangan akademisi, peneliti, atau lulusan sarjana baru untuk bergabung. Mazhab yang sukses akhirnya kehilangan natur eksklusifnya karena semakin banyak praktisi yang mengambil elemen dari ide-ide mereka. Ide-ide intinya disebarluaskan dengan cara yang lebih formal (melalui jurnal mapan dan konferensi, alih-alih lewat interaksi tatap muka) dan dipopulerkan. Karisma mazhab itu pun dilembagakan secara formal dan ide-idenya menjadi bagian dari konsep standar disiplin ilmu tersebut. Paradigmanya menjadi tidak lagi dipersonalisasi dan konsepsinya pun digunakan oleh generasi baru sosiolog yang bahkan mungkin tidak menyadari asal-usul sosio-intelektual spesifik mereka. (Harvey, 1987: 249–250)

Faktor-faktor Dominasi Mazhab Teoretis

Apa yang menyebabkan suatu mazhab teori sosiologi dapat menjadi dominan dalam suatu era? Tidak mudah untuk mendapatkan jawaban yang menyeluruh dan singkat atas pertanyaan tersebut. Dugaan yang diajukan dalam risalah singkat ini adalah bahwa arus sejarah sosiologis memiliki setidaknya tiga determinan utama: gugusan gagasan, kelompok perumus dan pengembang teori, dan kendali atas sumber daya. Apabila suatu kelompok memiliki tiga komponen penentu itu, kelompok itu memiliki potensi untuk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap arus sejarah sosiologis. Kombinasi yang apik, harmonis, dan sistematis dari ketiganya diperlukan oleh suatu gerakan untuk menjadi dominan. (Wiley, 1979: 48)

Gugusan Gagasan Intelektual

Gagasan menjadi ruh dari suatu gerakan, terutama suatu kelompok penganut suatu aliran teori dalam suatu disiplin keilmuan. Secara umum, suatu gagasan dapat bersifat teoretis, metodologis, substantif, atau gabungan di antaranya. Pada prinsipnya, setiap gerakan ilmiah akan memiliki tiga bagian gagasan: gagasan sentral yang tidak boleh berubah, ide periferal yang bersifat fleksibel dan dapat menerima pengaruh luar, dan gagasan perantara yang berada di antara keduanya. Bagian dari ide yang “doktriner” itulah yang menjadi ciri karakteristik atau identitas dari suatu kelompok yang tidak dapat ditawar, sehingga ia tidak dapat dinilai dari aspek instrumental-praktis-pragmatis belaka. Implikasi, eksklusi, asosiasi, dan nuansa emosional dari suatu ide sentral memiliki daya dorong yang mampu menggerakkan suatu kelompok, sehingga kekuatan gugusan gagasan tidak boleh disepelekan dengan melarutkannya hanya ke dalam politik kelompok kepentingan atau struktur organisasi sosial. (Wiley, 1979: 48)

Kelompok Perumus dan Pengembang Teori serta Gagasan

Memiliki gagasan dasar semata tidak cukup bagi suatu gerakan untuk mempengaruhi sejarah secara signifikan. Gugusan ide mesti dikembangkan dan dielaborasikan untuk dapat menghasilkan solusi bagi permasalahan yang dialami oleh banyak orang, sehingga gagasan kelompok itu diterima oleh orang banyak. Selain itu, dalam suatu gerakan yang bersifat ilmiah, gagasan-gagasan pokok yang menjadi landasan gerakan itu mesti dirumuskan ke dalam teori-teori yang validitasnya dapat dibuktikan. Selain itu, kekuatan penjelasan ide itu terhadap realitas juga perlu ditingkatkan agar diterima sebagai kebenaran oleh orang banyak. (Wiley, 1979: 48)

Karena itu, suatu kelompok ilmiah yang bertugas untuk memikirkan, menjelaskan, mengembangkan, dan memperbaiki gugusan gagasan itu, terutama menjadi teori-teori ilmiah, harus dibentuk. Individu-individu yang dianggap memiliki kemampuan yang mumpuni diperlukan untuk membuat kelompok pengembang ide yang kuat. Selain itu, strategi yang rapi dan sistematis juga dibutuhkan. Itu pun belum tentu menjamin keberhasilan kelompok tersebut, masih banyak kriteria lain yang penting yang mesti dimiliki inti intelektual ilmiah dari organisasi seperti ini. (Wiley, 1979: 48)

Penguasaan Sumber Daya

Selain gugusan ide dan kelompok intelektual pengembang ide serta teori, dalam ranah sosial dan mungkin juga material dari kehidupan intelektual, faktor determinan lain yang penting bagi kesuksesan suatu kelompok ilmiah adalah akses mereka terhadap alat, sarana-prasarana, dan sumber daya produksi intelektual. Alat, sarana, dan sumber daya produksi intelektual dapat diartikan sebagai segala hal yang dapat berguna atau produktif dalam membuat suatu kelompok intelektual mendapatkan pengaruh ilmiah, baik di tengah kaum akademisi maupun kalangan awam. (Wiley, 1979: 48)

Dengan kata lain, hal itu berarti segala sesuatu yang mampu menunjang diterimanya otoritas dari suatu aliran pemikiran secara luas. Hal itu termasuk posisi akademik profesional, akses ke publikasi jurnal, gelar doktoral, akses ke penerbit akademik dan komersial, dan pendanaan penelitian. Selain itu, dalam kondisi di mana program pemerintah dan lobi akademisi sangat mempengaruhi jalannya riset, sumber daya itu juga mencakup kontrol atas organisasi struktural, lembaga administratif, dan badan profesional milik Pemerintah yang terkait dengan bidang akademik. (Wiley, 1979: 48)

Kombinasi Tiga Faktor Dominasi Teoretis

Agar suatu aliran pemikiran atau mazhab teoretis dapat mencapai dominasi, ia harus cukup kuat dalam ketiga hal tersebut. Kelompok itu harus memiliki gugusan gagasan dengan nilai intelektual yang matang; gagasan dasar tersebut harus dikembangkan menjadi teori-teori oleh kelompok intelektual yang terorganisir dengan baik; dan kelompok tersebut harus memperoleh kendali yang cukup signifikan dan berimbang atas sumber daya intelektual yang ada dalam suatu masyarakat ilmiah atau negara / kawasan. Kelompok yang memiliki ketiga faktor itu dapat dikatakan sebagai aliran pemikiran yang dominan, sementara fase peralihan / antara (interregnum) dapat dikatakan sebagai periode di mana tidak ada kelompok intelektual, aliran pemikiran, atau mazhab teoretis yang menguasai ketiganya secara harmonis dan berimbang.

Masa Formalisasi Awal

Secara formal, sosiologi Amerika Serikat (AS) bermula pada tahun 1892, ketika Albion Small mendirikan departemen sosiologi pertama di Universitas Chicago (Wiley, 1979: 50). Sebelum pendirian departemen itu, dapat dikatakan tidak ada profesi dan jenjang karier sosiolog secara profesional dan formal di AS. Meskipun kajian manusia dan masyarakat dengan pendekatan yang dapat dianggap sebagai sosiologis telah ada di AS sebelumnya, semua itu masih dibawahi oleh departemen atau disiplin ilmu yang lain, seperti filsafat sosial dan ekonomi. Barulah setelah departemen sosiologi formal pertama kali didirikan di Chicago, sosiologi mulai menjalani proses emansipasi untuk keluar dari cakupan disiplin ilmu sosial yang lain dan membentuk disiplin tersendiri di universitas-universitas di AS. Selanjutnya, barulah sekitar Perang Dunia I, mazhab teoretis yang dominan mulai terbentuk. Selama dua puluh tahunan sebelumnya, para praktisi sosiologi masih sibuk mencoba memberikan klarifikasi internal dalam bidang studi yang baru di AS itu dan mendefinisikan bidang tersebut untuk membebaskannya dari cakupan bidang lainnya. (Wiley, 1979: 51)

Asal-usul intelektual utama sosiologi AS adalah sosiologi Eropa — terutama sosiologi Prancis ala Tarde dan Durkheim; sosiologi idealisme Jerman ala Weber, Tonnies, dan lain-lain; serta materialisme, metode survei sosial Inggris, dan tradisi kesejahteraan sosial ala Britania — yang dipadukan dengan pragmatisme ala Amerika. Pemikir Eropa dengan pengaruh paling penting dalam pembentukannya adalah Durkheim, Pareto, Simmel, dan Weber. Para sosiolog AS membutuhkan waktu sekitar tiga puluh tahun untuk mencerna pemikiran Eropa dan mengintegrasikannya dengan pemikiran khas Amerika, sebelum dapat memunculkan produk teoritis mereka sendiri — khususnya fungsionalisme struktural. (Mullins, 45) Hubungan guru-murid, pengaruh, dan kolega antara pemikir Eropa dengan para tokoh penting dalam sosiologi AS dapat dirangkum dalam bagan berikut.

Gambar 1: Hubungan guru, murid & kolega antara pemikir Eropa dan sosiolog AS. (Mullins, 42)

Di sisi kiri bagan tersebut, yang berpusat di sekitar Park, adalah para tokoh mazhab Chicago, sebagaimana akan dijelaskan di bagian berikutnya. Selain itu, terlihat pula dalam bagan itu Giddings, tokoh pionir dari klub Columbia yang beraliran positivisme dengan penekanan pada statistik tanpa memiliki suatu narasi teoretis atau skema besar pra observasi sosial yang tertentu. Sementara itu, di sisi kanan, berpusat di Parsons, terdapat para tokoh mazhab fungsionalisme struktural. Pengelompokan mazhab teoretis para sosiolog itu antara tahun 1930-an sampai 1950-an dapat dirangkum dalam diagram lingkaran berikut. Diagram itu memperlihatkan irisan antara mazhab Chicago dengan interaksionisme simbolis, sebab Blumer memang dibesarkan dalam tradisi Chicago; juga bahwa Parsons dan para pengikutnya dalam mazhab fungsionalisme struktural menjadi pembentuk sosiologi standar AS; dan adanya kelompok-kelompok kecil lainnya yang tidak akan diulas pada artikel singkat ini. Peta itu akan berubah dengan menguatnya kaum kiri di dunia akademik AS pasca 1960/1970-an.

Gambar 2: Kerangka mazhab / kelompok teoritis dalam sosiologi AS 1930–1950-an. (Mullins, 44)

Dalam artikel singkat ini, setidaknya ada empat kelompok yang diulas, sesuai pernyataan awal mengenai periodisasi jatuh-bangun dominasi sebelumnya: mazhab Chicago (yang dengan demikian berarti juga mencakup interaksionisme simbolis), klub Columbia (positivisme berbasis statistik), fungsionalisme Talcott Parsons, dan kelompok kiri (didominasi oleh pandangan mazhab Frankfurt). Perlu disadari bahwa artikel ini tidak bertujuan untuk mengulas gelombang sejarah dominasi mazhab teoritis dalam sosiologi AS secara lengkap. Alih-alih, persaingan dominasi mazhab itu semata digunakan untuk menunjukkan bahwa sosiologi sebagai sains tidaklah netral, tetapi dilandasi oleh worldview dan paradigma yang terlibat dalam kontestasi menjadi sains normal atau eksemplar. Selain itu, dan terutama sekali dari ulasan atas Parsons, akan diusulkan suatu tema besar dalam sosiologi yang saat ini masih diperdebatkan yang potensial untuk dijawab menggunakan konsepsi Islam, yaitu permasalahan landasan tatanan sosial (the problem of social order). Ulasan ini tentu masih jauh dari kelengkapan yang diperlukan, mengingat terbatasnya waktu pengerjaan, tapi ini merupakan suatu bekal yang bagus dalam upaya pembangunan sosiologi profetik, sosiologi Islam.

Mazhab Chicago

Mazhab Sosiologi Chicago (The Chicago School of Sociology, dikenal juga sebagai mazhab ekologis) merupakan aliran pemikiran dalam sosiologi yang bermula di Universitas Chicago seiring pendirian departemen sosiologi di sana. Sebenarnya, istilah Mazhab Chicago tidak hanya berlaku untuk sosiologi, tapi mengacu pada suatu pengelompokan berdasarkan tendensi teoretis dan gaya penelitian tertentu dalam berbagai bidang sains sosial, termasuk ekonomi, politik, filsafat, hukum, dan psikologi. Perspektif teoretis dan gaya penelitian tersebut secara retrospektif dikembangkan oleh kalangan akademisi dan praktisi yang belajar dari, bekerja di, atau berasosiasi dengan Universitas Chicago.

Terdapat sejumlah konstruksi berbeda dari Mazhab Chicago dalam rentang waktu yang luas dan dengan berbagai fokus yang berbeda. Secara terbatas, era orisinal dari mazhab ini membentang dari 1892 (pendirian Departemen Sosiologi di Universitas Chicago) hingga 1945. Ia mengalami era kejayaan dari sejak Perang Dunia I atau 1915 hingga pendirian jurnal rivalnya, American Sociological Review, pada 1936, dengan puncak kejayaannya berada di era 1920-an. Di kemudian hari, terdapat upaya untuk mengangkat kembali mazhab ini pada 1950-an — dan berpuncak pada 60-an dan 70-an — yang disebut sebagai ‘The New Chicago School’, tapi tulisan ini hanya mengulas era orisinalnya. (Wiley, 1979: 54)

Tokoh-tokoh Mazhab Chicago termasuk Albion Woodbury Small (1854–1926), Charles Richmond Henderson (1848–1915), William Isaac Thomas (1863–1947), George Edgar Vincent (1864–1941), Robert Ezra Park (1864–1944), Ernest Watson Burgess (1886–1966), Ellsworth Faris (1874–1953), Nels Anderson (1889–1986), Ruth Shonle Cavan (1896–1993), Edward Franklin Frazier (1894–1962), Everett Hughes (1897–1983), Roderick Duncan McKenzie (1885–1940), George Herbert Mead (1863–1931), Walter Cade Reckless (1899–1988), Edwin Sutherland (1883–1950), Frederic Thrasher (1892–1962), Louis Wirth (1897–1952), Florian Znaniecki (1882–1958), Samuel Andrew Stouffer (1900–1960), dan Herbert George Blumer (1900–1987). Tokoh-tokoh ‘The New Chicago School’ di antaranta adalah Anselm Strauss (1916–1996), Morris Janowitz (1919–1988), Otis Dudley Duncan (1921–2004), Erving Goffman (1922–1982), Howard Saul Becker (1928-?), dan Blanche Potter Geer (1920–1993). (Wiley, 1979: 54)

Kelompok Intelektual

Dasar pengelompokan teoretis mazhab ini jelas terlihat dari keterkaitan mereka dengan kota dan Universitas Chicago, tempat kebanyakan mereka meraih gelar doktoral, mengajar, dan melakukan penelitian. Selain itu, mereka juga mengadakan konvensi tahunan Society for Social Research setiap musim panas setelah 1920 dan kerap berkumpul serta sarapan bersama dalam pertemuan tahunan American Sociological Society. Lingkungan urban Chicago menjadi pusat kajian ilmiah mereka, di mana mereka mencari bukti apakah urbanisasi dan peningkatan mobilitas sosial telah menyebabkan permasalahan sosial kontemporer. Riset mereka banyak berkutat pada studi kasus yang terjadi di kota itu, yang pada 1910 berpenduduk lebih dari dua juta, di mana banyak di antaranya merupakan imigran yang relatif baru pindah ke AS. (Wiley, 1979: 54)

Penguasaan Sumber Daya

Dari sisi sumber daya dan alat produksi intelektual, mereka memegang kendali yang besar di era kejayaannya. Jurnal utama masyarakat sosiologi AS saat itu adalah milik mereka; mereka leluasa merekrut mahasiswa pascasarjana yang luar biasa dari seantero AS dan bahkan internasional; lulusan doktoral mereka mengetuai departemen dan mengontrol pekerjaan di banyak kampus; mereka mengendalikan American Sociological Society dengan secara permanen menduduki jabatan sekretaris-bendahara, dan biasanya juga jabatan-jabatan penting lainnya; dan pada tahun 1923, Yayasan Laura Spelman Rockefeller mulai menyumbangkan dana yang besar untuk penelitian sosial di Chicago. (Wiley, 1979: 54)

Gagasan Intelektual

Riset mazhab Chicago dapat dibagi antara karya-karya utama (yang ditulis oleh para perumus teori utamanya) dan karya-karya sampingan (yang ditulis oleh para mahasiswa). Riset sampingannya sebenarnya cenderung empiris dengan metodologi studi kasus, tanpa memiliki skema atau kerangka teori besar. Namun, riset-riset utamanya memiliki skema atau kerangka teori besar. Perkembangan teorinya bertumpu pada interpretasi atas Simmel, analisis interaksi sosial, ekologisme, dan teori tentang pertumbuhan dan perkembangan komunitas yang berbasis kepada proses. (Mullins, 1973: 45) Setelah era Blumer, mereka banyak beririsan bahkan disamakan dengan interaksionisme simbolis.

Interaksionisme Simbolis

Sementara itu, dari segi gagasan intelektual, mereka dapat dikatakan sebagai penganut interaksionisme simbolis yang generik dengan pengertian pra-Blumerian, khususnya dalam kajian sosiologi urban. Mereka memandang simbol dan kepribadian muncul dari interaksi, sehingga kajian mereka berfokus pada perilaku manusia yang dibentuk oleh struktur sosial dan faktor lingkungan fisik, daripada karakteristik genetik dan pribadi. Selain itu, mereka meyakini bahwa lingkungan alam, yang didiami oleh suatu masyarakat, merupakan faktor utama dalam membentuk perilaku manusia, dan bahwa kota berkedudukan sebagai mikrokosmos. Dengan begitu, masyarakat dan interaksi yang ada di dalamnya sebagian besar mereka anggap sebagai makna dan sistem makna yang merupakan kebenaran yang dapat dikonfirmasi sendiri. Karena itu, mereka secara luas juga berorientasi pada kajian bahasa, yang merupakan suatu sistem simbol yang dapat mewakili makna yang ada pada suatu sistem sosial yang bernama masyarakat beserta interaksi di dalamnya. (Wiley, 1979: 55)

Epistemologi: Kompromi Idealisme dengan Pragmatisme

Secara epistemologis, Mazhab Chicago berupaya mempertemukan idealisme historis Jerman (German idealism), yang di AS bergeser menuju materialisme kapitalistik, dengan pragmatisme filosofis, yang bergeser menjauh dari materialisme, terutama dalam karya-karya William James. Idealisme historis Jerman dikuatkan, sementara pragmatisme filosofis dan materialisme dilembutkan. Pragmatisme, yang dipelopori oleh Charles Saunders Peirce pada akhir tahun 1870-an, merupakan suatu cabang dari empirisme Britania (British empiricism), sehingga posisi epistemologis Mazhab Chicago dapat dikatakan sebagai berada di antara idealisme Jerman dan empirisme Inggris. Dengan demikian, sifat empiris kelompok ini cenderung lunak, sementara orientasi terhadap ide rasional dan kajian kebudayaan lebih kuat. (Wiley, 1979: 55)

Pencarian titik temu itu dilakukan untuk menjembatani ketidakcocokan antara idealisme Jerman dengan masyarakat AS. Metode analisis utama para sosiolog AS yang dididik dalam tradisi idealisme Jerman terkait dengan konsep verstehen yang, dengan penekanan pada pemahaman atas nilai dan makna serta kesimpulan yang cenderung ideografis kultural, tidak sesuai dengan materialisme AS yang lebih pragmatis. Selain itu, tidak jarang para sosiolog didikan Jerman itu mengadopsi cita-cita sosialis yang “lunak”, yang lebih bersifat Bismarckian daripada Marxian, yang juga asing bagi kalangan elite sosial-politik dan pebisnis AS pra-1960/70-an. Ditambah lagi, sosiologi AS awalnya juga dipengaruhi oleh ide-ide evolusi sosial yang telah diadaptasi secara selektif dari para pemikir yang dapat digolongkan sebagai bagian dari empirisme Britania, seperti Herbert Spencer dan Charles Darwin, sehingga menambah rumit perbedaannya dengan sosiologi idealis Jerman. (Wiley, 1979: 55)

Dengan latar belakang seperti itu, sintesis antara idealisme Jerman dengan pragmatisme-materialisme AS itu menjadi pelik, sehingga terdapat variasi di antara anggota aliran ini. Ikatan kesamaan epistemologi, filsafat sains, metode, dan teori substantif dalam Mazhab Chicago pun lebih longgar, mesti tetap bersatu sebagai aliran pemikiran. Small mengalami kesulitan untuk bergeser dari idealisme menuju reformasi atas Darwinisme dan pragmatisme. Sementara itu, Park lebih mudah untuk beralih dari historisisme Windelband ke eklektisisme yang mencakup pragmatisme. James Dewey dan Mead mengambil pragmatisme keras setengah jalan menuju idealisme, bertemu Park, Small dan penganut idealisme Jerman lainnya yang datang dari arah berlawanan. William James dianggap sebagai salah satu yang paling berhasil melakukan sintesis. James bekerja dengan kedua rupa pragmatisme: versi keras yang materialistis dan versi lunaknya yang lebih terbuka secara religius, sehingga ia dapat beranjak dengan lebih mudah dari empirisme keras ke interaksionisme simbolik. (Wiley, 1979: 55)

Konvergensi epistemologis ini menghasilkan sistesis yang dualis di antara idealisme historis dengan pragmatisme materialis, yang kemudian bertumpu pada pemaknaan dan pendefinisian simbolis atas realitas sosial. Mereka turut mengkritik ekonomi klasik dan cara pandang hidup yang terlalu rasional-objektif. Mazhab Chicago memasuki usia dua puluhan dengan orientasi ke arah sintesis sosiologi dalam suatu bentuk kemiripan yang longgar tapi kuat. Mereka tidak memiliki filosofi sains yang sama dalam segala hal, tetapi mereka memiliki kesamaan karakter yang cukup untuk memberi mereka rasa solidaritas intelektual, baik dalam hal filsafat sains, epistemologi, metode, maupun teori substantif mereka. (Wiley, 1979: 56)

Studi Kasus Sebagai Metodologi

Metodologi Mazhab Chicago didominasi oleh studi tentang kasus tunggal, baik individu maupun kelompok, dengan perhatian khusus pada kebudayaan simbolik dan definisi subjektif dari kasus tersebut. Daripada mencari hukum-hukum sosial, mereka lebih mencari pola, tipe ideal dan gestalt. Wawasan yang diperoleh mereka dari analisis kasus tersebut terutama digunakan untuk memperluas kasusnya dan mencari pola yang lebih besar, bukan untuk mendefinisikan variabel dan mengejar analisis statistik lanjutan. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan sulitnya memindahkan penelitian mereka ke luar kota Chicago. (Wiley, 1979: 56)

Perangkat Teori Proses dan Peta Sosial Chicago

Selain epistemologi dan metodologi, Mazhab Chicago juga berbagi gagasan teoretis yang luas, terutama karena gagasan ini diringkas dalam pengertian “proses”. Berbeda dengan pengertian struktur dan ketetapan, proses menunjukkan pergerakan, perubahan, dan aliran konstan. Berbeda dengan teleologi dan penyebab akhir, proses menunjukkan keterbukaan dalam arah dan ketidakpastian dalam hasil. Gagasan tentang proses membawa Mazhab Chicago kepada gagasan-gagasan lain yang cocok untuk mendukung studi mereka atas kelompok-kelompok etnis Chicago, seperti konsep tentang minat, keinginan, sikap, nilai, dan definisi situasi, semuanya dipahami sebagai proses yang terbuka. Untuk mengkaji masalah di antara kelompok-kelompok ini, mereka menggunakan konsep konflik, kompetisi, akomodasi, dan asimilasi yang lebih makroskopis. Berbagai permasalahan intra dan antara kelompok-kelompok etnis di Chicago dan seluruh perangkat teoretis untuk mengkaji mereka lalu dirumuskan oleh mazhab ini ke dalam suatu peta yang menunjukkan pola hubungan spasial dan proses. (Wiley, 1979: 57)

Menurunnya Mazhab Chicago dan Naiknya Klub Columbia

Dengan adanya gugusan gagasan intelektual seperti itu, yang dikembangkan oleh kelompok intelektual yang solid terikat dengan Kota dan Universitas Chicago, dan dukungan sumber daya intelektual (mereka menguasai American Journal of Sociology) serta finansial (dari Laura Spelman RockefellerFund) yang kuat, Mazhab Chicago menjadi dominan dalam sosiologi AS. Namun, sebagaimana teori siklus dan gelombang sejarah, kejayaan suatu kelompok tidak akan berlangsung selamanya, dan pasti juga akan datang fase penurunan.

Dapat dikatakan bahwa sejak 1920-an, berbagai kelompok yang tidak sepakat dengan pandangan intelektual Mazhab Chicago — terutama yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di luar Chicaho — semakin banyak dan relatif mulai bersatu untuk menghadapi apa yang mereka anggap sebagai musuh bersama ini. Di antara oposisi teoretis itu, salah satu yang paling menonjol adalah kelompok studi Franklin Henry Giddings (1855–1931) yang berbasis di Universitas Columbia dan lebih menekankan pendekatan statistik daripada studi kasus. Pionir kelompok ini, selain Giddings, termasuk William Fielding Ogburn (1886–1959), Howard Thomas Odum (1924–2002), Francis Stuart Chapin (1888–1974), James Pendleton Lichtenberger (1870–1953), John Lewis Gillin (1871–1958), Frank Hamilton Hankins (1877–1970), Alvan Alonzo Tenney (1876–1936), dan Charles Elmer Gehlke (1884–1968). (Wiley, 1979: 57)

Pengepungan tampaknya menjadi cara kelompok Columbia melucuti dominasi Mazhab Chicago. Sejak awal masa oposisinya, mereka mencetak doktor-doktor yang dikirim keluar ke berbagai institusi dan menjadi figur penting di sana. Tercatat ada enam pionir klub itu yang pernah menjadi presiden American Sociological Society (ASS): Lichtenberger pada 1922, Gillin 1926, Ogburn 1929, Odum 1930, Chapin 1935, dan Hankins 1938. Para lulusan Ph.D klub Giddings juga menyebar ke berbagai universitas dan menduduki posisi-posisi kunci di sana: Lichtenberger di Pennsylvania, Chapin di Minnesota, Odum di North Carolina, dan Gillin di Wisconsin. Ogburn bahkan berhasil “menyusup” ke Chicago pada 1927, meskipun sering kali tidak jelas di mana dia berpihak. Dengan demikian, kelompok Columbia membentuk jaringan yang terdesentralisasi, menguasai kebanyakan kampus di wilayah Timur AS dan bahkan menerobos pula wilayah Barat-tengah, sementara pusatnya sendiri tetap meluluskan para doktor dengan standar dan afiliasi teoretis tertentu. (Midwest). (Wiley, 1979: 57)

Berkebalikan dengan desentralisasi klub Columbia, Mazhab Chicago lebih cenderung merekrut peneliti dari luar ke dalam. Meski tentunya Universitas Chicago tetap mengirim alumni doktoral sosiologinya ke berbagai institusi luar, tapi mereka tidak dikirim ke departemen-departemen penghasil doktor yang kuat, seperti jaringan Columbia. Dapat dikatakan bahwa Mazhab Chicago sangat kuat di pusat, tapi cenderung lemah di luar; sementara Mazhab Positivistik Columbia tampak biasa saja di sentral — selain Giddings yang menjadi jenderalnya, tapi membentuk jaringan perimeter yang kuat. (Wiley, 1979: 57)

Selain itu, karakteristik teoretis Mazhab Chicago yang mengandalkan studi kasus, yang terutama berlandaskan idealisme naturalistik Park, juga membuatnya lebih sulit untuk dikembangkan di luar Kota Chicago, di kota-kota wilayah Midwest yang memiliki karakteristik sosial yang berbeda. Di sisi lain, pendekatan statistik kelompok Columbia yang lebih empiris / positivistik lebih luwes untuk ditransfer secara konkret ke berbagai wilayah studi yang berbeda. Hal ini turut menjadi faktor keuntungan utama bagi klub Columbia dalam menyalip populasi akademisi yang berafiliasi dengan Mazhab Chicago. (Wiley, 1979: 58)

Di samping jumlah intelektual yang berafiliasi dengan Mazhab Chicago dilampaui oleh populasi pendukung Giddings dan faksi anti-Chicago yang lain, Great Depression menerpa AS dan memutus dana bantuan dari Laura Spelman Rockefeller, semakin melemahkan dominasi Mazhab Chicago. Datangnya masa krisis juga menggeser fokus studi dari bagaimana agar para imigran dengan berbagai latar etnis dan kultural dapat mengadopsi ide-ide Amerika dan memosisikan diri dalam masyarakatnya, ke arah bagaimana mengatasi pengangguran masal. Orientasi studi Mazhab Chicago yang fokus ke arah etnis-kultural menjadi kurang relevan dibandingkan dengan studi kelas, yang berkarakteristik ekonomis dan lebih sesuai dengan pendekatan kuantitatif seperti statistik, seperti yang diusung oleh klub Columbia. (Wiley, 1979: 60)

Mazhab Chicago sempat mencoba beradaptasi dengan merekrut para peneliti yang lebih positivistik. William Ogburn masuk pada 1927 dan mengembangkan lini riset statistik di sana, tapi dia tidak menghormati pendekatan studi kasus, sehingga menghasilkan perpecahan dalam tradisi Chicago. Perpecahan itu tampak pada disertasi Samuel Stouffer pada 1930 yang menyatakan bahwa studi statistik lebih superior dibandingkan studi kasus. Semua studi kasus dipandangnya hanya sebagai heuristis pra-sains daripada pengetahuan yang valid. Ogburn dan Stouffer mengindikasikan bahwa capaian Mazhab Chicago era Park dan Burgess tidak memuaskan dan bahwa para pengikut Mazhab Chicago yang lain tidak mampu untuk merekonstruksi dan mengembangkan epistemologi mereka. (Wiley, 1979: 60)

Pada 1930-an, Mazhab Chicago semakin kehilangan cengkeraman akademiknya, sementara berbagai faksi oposisinya — yang sebenarnya memiliki orientasi teoretis yang beragam — bersatu dan menjadi semakin kuat. Para faksi oposisi itu menerbitkan berbagai tulisan dan mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas dominasi Mazhah Chicago. Mereka pun menerbitkan surat petisi bertanggal 5 Mei 1931 di American Journal of Sociology yang isinya menuntut agar diadakan peninjauan ulang atas kontrol terhadap jurnal tersebut yang terlalu erat dipegang oleh Mazhab Chicago, padahal aspirasi mereka dianggap semakin berkurang. Petisi itu ditandatangani oleh Maurice Parmalee (Columbia), Alvan Tenney (Columbia), Theodore Abel (Columbia), Frank Hankins (Columbia), Henry Fairchild (Yale), Maurice Davie (Yale), Thomas N. Carver (ekonom, Harvard), Pitirim Sorokin (Harvard), dan C. G. Dittmer (New York University). (Wiley, 1979: 61–62)

Pada Desember 1931, L. L. Bernard, lulusan doktoral Chicago yang tidak lagi berpihak ke Mazhab Chicago, terpilih sebagai presiden ASS. Dalam konvensi ASS kemudian dibentuklah komite untuk meninjau rencana kendali atas jurnal dan publikasi resmi ASS. Selama ini, American Journal of Sociology praktis dikendalikan oleh Mazhab Chicago. Komite itu lalu melaporkan sejumlah opsi yang dapat ditempuh pada pertemuan tahun 1933, di antaranya mengadopsi Social Forces atau Sociology and Social Research sebagai jurnal resmi ASS, membolehkan anggota untuk memilih antara Social Forces, Sociology and Social Research, atau American Journal of Sociology, atau membuat jurnal baru. Setelah pembahasan yang cukup panjang, akhirnya komite itu mengusulkan agar dibentuk jurnal baru, American Sociological Review, sebagai jurnal resmi ASS. Jurnal itu nantinya menjadi rival bagi American Journal of Sociology yang dipegang oleh Mazhab Chicago, sehingga mempercepat kejatuhan dominasi mazhab itu. (Wiley, 1979: 62)

Meluasnya pengaruh faksi oposisi intelektualnya di berbagai universitas dan ASS — terutama kelompok Columbia, dibentuknya jurnal resmi ASS baru yang menjadi pesaing jurnal yang dikontrolnya, perpecahan internal, sulitnya mengembangkan pendekatan studi kasus yang idealis di luar lingkup Kota Chicago, krisis akibat Great Depression yang melunturkan wibawa pendekatan studi kultural etik dan menyuburkan studi statistik, dan diputusnya bantuan dana dari yayasan Laura Spelman Rockefeller menjadi faktor-faktor utama yang melemahkan dominasi Mazhab Chicago.

Puncak Kejayaan Kelomopok Columbia dan Masa Antara

Fase berikutnya adalah suatu jeda yang penuh ketidakjelasan antara pertengahan 1930-an hingga akhir 40-an. Mazhab Chicago memang melemah dan mazhab positivisme kelompok Columbia memang menguat, tapi disebut-sebut gagal mencapai status dominasi karena karakteristik intelektual internalnya. (Wiley, 63) Kaum positivis memang memiliki metodologi yang kuat, berupa statistik, tapi mereka tidak dapat diharapkan untuk dapat melakukan kerja-kerja teoretis yang banyak melibatkan spekulasi di luar data empiris, yang dipandang tidak ada artinya oleh positivisme. Metodologi kaum positivis ini memang dirancang agar dapat memaksimalkan akurasi deskriptif dan analisis kuantitatif sampai ke tingkat yang paling halus, tapi bukan alat yang tepat untuk kerja-kerja teoretis. Akumulasi temuan survei dan analisis kuantitatif tidak pernah dapat ditumpuk cukup tinggi untuk membangun sebuah teori. (Wiley, 1979: 76)

Selain itu, di dalam Universitas Columbia sendiri, sempat muncul ketidaksenangan dari departemen-departemen lain terhadap departemen sosiologi. Setelah pensiunnya Giddings pada 1928, Presiden Universitas, Nicholas Murray Butler, mengadakan rapat antar ketua departemen dan profesor senior untuk membahas pembubaran jurusan sosiologi. Departemen sejarah terutama kencang mendorong pembubaran departemen sosiologi, tapi ketua departemen sosiologi ketika itu, John Dewey, berhasil meyakinkan rapat bahwa pendekatan sosiologi itu berbeda dari pendekatan historis, ekonomis, atau politis dan sama pentingnya dengan mereka. Departemen sosiologi Columbia pun berhasil selamat dan sempat menguat untuk beberapa saat. (Wiley, 1979: 59)

Penguatan kelompok Columbia ini sempat diikuti dengan upaya untuk merekrut ahli teori untuk mengatasi kekurangan internalnya dalam perumusan teori. MacIver, yang cenderung kepada pemikiran teoretis klasik, diangkat menjadi ketua departemen pada 1929, sehingga memulai perubahan dalam karakteristik klub Columbia yang awalnya sangat berat bertumpu pada statistik. Theodore Abel, seorang ahli teori lainnya, direkrut pada 1929. Robert Lynd yang meraih profesor penuh pada 1931 menambah amunisi empirisis di sentral klub Columbia. Kombinasi itu diharapkan dapat mengharmonikan pendekatan empiris-statistik dengan teoretis klasik. Namun, yang terjadi tidak sesuai harapan: MacIver dan Lynd bertikai. Berikutnya, di awal 1940-an, Merton dan Lazarsfeld bergabung ke departemen itu. Kombinasi pendekatan Merton-Lazarsfeld dengan model statistik yang telah ada berhasil mengantarkan departemen sosiologi Columbia ke puncak kejayaannya pada 1950-an. (Wiley, 1979: 59) Namun, karena kelemahan mendasar mereka dalam pembangunan teori, mereka tidak benar-benar dapat mencapai dominasi penuh dalam sosiologi AS. Di sinilah muncul kelompok ketiga yang akan meraih dominasi berikutnya, fungsionalisme Talcott Parsons.

Talcott Parsons dan Mazhab Fungsionalisme

Sewaktu American Sociological Review dibentuk pada Desember 1935, Parsons masih tiga puluh tiga tahun dan bekerja di Harvard di bawah pimpinan Pitirim Sorokin. Departemen sosiologi Harvard memiliki kecenderungan anti-Chicago yang kuat, sebagaimana terlihat saat Sorokin dan Caver ikut menandatangani petisi Parmalee pada 1931 yang telah dijelaskan di atas. Namun, Parsons juga tidak sepenuhnya dapat digolongkan dalam kelompok positivis Giddings. Setidaknya, dia menyusun berbagai karyanya dalam gabungan perspektif antara utilitarianisme ekonomi klasik dan operasionalisme statistik. Harvard sebagai institusi begitu besar dan kuat, sehingga memungkinkan Parsons berdiri sendiri, menghindari rivalitas panjang Chicago-Columbia. (Wiley, 1979: 63–64)

Kelompok Pengembang Gagasan

Tidak seperti permulaan Mazhab Chicago, pembentukan awal fungsionalisme adalah panggung Parsons seorang diri. Dia hampir sepenuhnya one man show membangun mazhabnya sendiri. Kemudian, seperti tata surya, murid-muridnya mengorbit mengelilinginya, menempatkan dirinya seperti matahari dalam posisi sentral, seorang guru yang besar. Parsons sempat bekerja sama secara setara dengan Robert Merton, di mana Merton mengurus aspek analisis fungsional, tapi sejak 1940-an, figur Parsons semakin dominan. Tidak seperti kelompok pembentuk Mazhab Chicago yang relatif setara, Parsons seperti raksasa intelektual di tengah kelompok pembentuk fungsionalisme, yang mayoritas merupakan muridnya, seperti Robert Bierstedt, Davis, Devereux, McKain, Hartshorne, Merton, Hopkins, Smullyan, Wilson, DeNood, dan Knox. Mereka sering berkumpul, makan malam bersama, dan mengadakan diskusi ilmiah. Seiring gugusan teorinya terbentuk dan menguat, kelompok itu pun menguat dan meluas. (Wiley, 1979: 64)

Overview

Parsons sering dianggap sebagai salah satu pionir dalam upaya untuk menggeser teori sosial ke tingkatan perumusan teori general dan formal yang lebih analitis (Scott, 2007:187). Teori sosial Parsons dikenal sebagai Teori Tindakan (action theory) dan menjadi fokus minat dari banyak peneliti di AS dan Eropa hingga saat ini. Ambisi teori itu adalah menyatukan, secara konseptual, semua sains behavioral teoritis, yaitu psikologi, sosiologi, dan antropologi kultural. Dewasa ini, aspek organisme behavioral dari latar belakang uraian biologis juga dicoba untuk dimasukkan dalam kesatuan itu. Selain itu, Parsons juga mencoba mengadaptasikan teori umum tindakan sosial itu ke dalam bagian-bagian teoritis dari ekonomi. Parsons menegaskan bahwa teori tindakan dapat dijadikan sebagai landasan bersama dari pembangunan tiga teori: teori sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian. (Timasheff, 1962: 236–237)

Perspektif lain yang dapat diambil terkait teori itu, dengan demikian, adalah bahwa Teori Tindakan bukanlah semata-mata teori sosiologi, melainkan teori dalam pemikiran atau filsafat yang mencakup beberapa aspek tentang kemanusiaan dan kemasyarakatan, termasuk disiplin sosiologi. Ia merupakan kerangka yang lebih luas dalam kajian behavioral di mana nilai-nilai dapat dianalisis pada tingkat kebudayaan dan motivasi dapat ditelaah pada tingkat psikologis, sehingga berkonsentrasi pada penjelasan bagaimana nilai-nilai, moralitas, dan norma-norma yang semula berada di tataran psikologis-individual dapat disosialisasikan dan dilembagakan pada tingkat sistem sosial. Namun, harus diingat bahwa ketiga level tersebut hanyalah abstraksi analitik dari proses interaksi yang sama, yang semuanya bermuara pada tindakan individu dalam kerangka sosial. Hal ini pada gilirannya membuat analisis perubahan sosial menjadi permasalahan yang membutuhkan pendekatan lintas-bidang. (Potvin, 1962: 240)

Latar Belakang Intelektual Parsons

Untuk dapat memahami mengapa Parsons berorientasi pada penyatuan ketiga sistem itu pada suatu landasan umum yang sama, perlu diulas sekilas latar belakang intelektualnya. Talcott Parsons lahir di Colorado pada tahun 1902. Ia awalnya bermaksud untuk belajar biologi atau kedokteran di Amherst College, Massachusetts. Namun di sana, minatnya bergeser ke ekonomi dan sosiologi. Parsons mengkaji Sumner, Cooley, Durkheim, dan Veblen, Parsons tertarik dengan persoalan tentang hubungan antara ekonomi dan sosiologi dan tentang pelembagaan hubungan ekonomi dalam konteks sosial yang lebih luas. Setelah lulus dari Amherst, dia mengambil belajar di Eropa dan menghabiskan tahun 1924–1925 di London School of Economics, belajar dengan Leonard Hobhouse dan antropolog Bronislaw Malinowski. Dia lalu pindah ke Heidelberg, di mana pengaruh Max Weber masih kuat, dan sosiologi-ekonomi versi Weber menjadi pengaruh utama pada pemikiran Parsons. Sebagaimana para pionir sosiologi AS (lihat diagram-diagram sebelumnya), pemikiran dan teori sosial Eropa — terutama dari Weber dan Durkheim — menjadi perhatian utamanya. Pada 1927, ia memperoleh pekerjaan di Universitas Harvard di Departemen yang dipimpin oleh Pitirim Sorokin, dan mulai menulis karya utamanya The Structure of Social Action, yang terbit sepuluh tahun kemudian. (Scott, 2007:187)

Problem Landasan Tatanan Sosial

Argumen utama dalam buku itu adalah bahwa karya-karya para sosiolog formatif telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu tonggak baru dalam teori sosial. Lewat analisisnya, Parsons berargumen bahwa Durkheim dan Weber, bersama dengan Vilfredo Pareto dan ekonom Alfred Marshall, yang dipandang sebagai perwakilan terkemuka dari tradisi formatif dalam sosiologi, memiliki konvergensi gagasan, meski berangkat dari titik awal yang berbeda, pada garis-garis besar pendekatan terhadap teori sosial untuk menghadirkan solusi bagi tema yang dianggap sebagai persoalan paling mendasar dalam sosiologi: ‘Hobbesian problem of order’ atau permasalahan landasan / asas tatanan sosial. (Scott, 2007:188) Apa yang melandasi tatanan sosial? Bagaimana dan mengapa masyarakat atau tatanan sosial dapat terbentuk? Bagaimana individu-individu yang memiliki keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat atau tatanan sosial dapat menghindari konflik? Jawaban dari para sosiolog formatif itu coba dikonvergensikan oleh Parsons ke dalam teori tindakannya sebagai suatu solusi normatif, yaitu bahwa nilai, moral, dan norma dianggapnya sebagai landasan fundamental dalam tatanan sosial.

Parsons tampak berupaya untuk menunjukkan keselarasan penting antara teori Durkheim dan Weber, lalu mengintegrasikannya dalam kerangka teoretisnya sendiri. Dia mencoba menjelaskan masalah keteraturan dan tatanan tersebut — yaitu bagaimana manusia, yang tidak memiliki naluri kelompok seperti semut atau lebah, dapat menghindari perang semua melawan semua — dan dia menjelaskan hal ini dengan menunjukkan bagaimana perspektif Durkheim, Weber, dan lainnya dapat dipertemukan pada interpretasi moral normatif fundamental masyarakat. Kita juga dapat mengikuti beberapa kritik Parsons dan mengatakan bahwa dia mencoba menemukan pembenaran baru atas kapitalisme, sesuai dengan pergeseran sejarah dari pasar ke oligopoli — dalam istilahnya, dari utilitarianisme ke kesukarelaan — tepat ketika terjadinya depresi global dan peningkatan kerawanan perang membuat orang semakin gamang terhadap sistem ekonomi ini. (Wiley, 1979: 65)

Intinya, Parsons mencoba mencari tahu landasan dari tatanan sosial: yaitu bagaimana jutaan manusia yang mementingkan diri sendiri dan kompetitif ini, sebagaimana digambarkan oleh para ekonom dan pemikir sosial utama abad kesembilan belas, menghindari saling menghancurkan dan berhasil mempertahankan masyarakat manusia yang kooperatif. Mereka bukan semut atau tawon yang memiliki mekanisme kerja sama bawaan genetik. Sebaliknya, mereka hampir sepenuhnya plastis dan bebas insting, kecuali dorongan untuk memenuhi kebutuhan fundamental tertentu. Untuk menjawab pertanyaan itu, para ekonom tersebut telah menempatkan ide “tangan tak terlihat” atau pasar sebagai landasan dari tatanan, keteraturan, kerja sama, dan harmoni sosial. Namun, ini adalah jawaban tautologis, bukan empiris. Selain itu, jawaban ini menjadi tidak masuk akal di saat terjadi Depresi Besar tahun 1930-an, di mana terjadi pelemahan pasar besar-besaran dan kebangkitan oligopoli, tetapi secara bersamaan, tatanan sosial tetap bertahan. (Wiley, 1979: 65)

Parsons menemukan solusinya dengan menyatukan teks-teks Durkheim tertentu, yang menantang para ekonom klasik, dan Weber, yang menghadapi kaum Marxis kontemporer. Keduanya memperdebatkan matriks moral untuk kehidupan ekonomi. Dengan demikian perang “semua melawan semua” dihindari dengan proses sosialisasi moral, di mana impuls anti-sosial masyarakat dihambat, memungkinkan perilaku harmonis dalam masyarakat; dan memungkinkan kapitalisme menghindari konflik internal dengan melandaskan diri dalam konteks normatif yang mencegah konflik dan kontradiksi. (Wiley, 1979: 65) Individu disosialisasikan ke dalam sistem nilai budaya dan membangun ekspektasi normatif yang dibentuk ke dalam institusi sosial yang dengannya tindakan individu itu diatur, sehingga membentuk suatu tatanan dan menghindari konflik. (Scott, 2007:188) Dengan begitu, pilihan subyektif yang dibuat oleh individu aktor sosial didasarkan pada nilai-nilai yang ia dapatkan selama proses sosialisasi. Tindakan sukarela dalam Teori Tindakan itu lalu melibatkan pemilihan di antara alternatif tujuan-tujuan dan sarana-sarana yang ada untuk dikaji kesesuaiannya dengan nilai, moral, dan normal yang menjadi komitmennya.

Empat Solusi Klasik

Namun, Parsons tampak terlalu menonjolkan komponen moral dalam dua ahli teori klasik ini, khususnya Weber. Parsons juga meremehkan aspek keyakinan dan kognisi bersama yang mereka anggap penting untuk menyatukan masyarakat. Solusi klasik untuk masalah tatanan sosial adalah: (1) teori kontrak dan pertukaran (transaksi) sosial utilitarian, (2) teori pemaksaan (koersi) dan manipulasi budaya kaum Marxis dan elitis Italia, dan (3) teori internalisasi moral dan pengekangan normatif Freudian-Parsonian. (Wiley, 1979: 65) Selain itu, ada solusi keempat, yang tersebar dalam tulisan Simmel dan Mead serta Durkheim dan Weber, yang menekankan konsensus kognitif dan makna bersama sebagai landasan tatanan sosial. Konsensus ini tidak hanya mencakup kebenaran sains fisik, tetapi juga seluruh kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari kebenaran yang trivial dan rutin, hingga kebenaran yang fundamental, final, dan menentukan arah kehidupan. (Wiley, 1979: 66)

Keempat solusi klasik untuk permasalahan landasan tatanan sosial tersebut tampaknya masing-masing benar dan perlu disusun ke dalam suatu sistem teori yang integral. Dalam berbagai masyarakat, kita mendapati bahwa tatanan sosial dapat dibentuk oleh gabungan dari aspek-aspek tersebut. Dalam masyarakat, terdapat otoritas yang berwenang memaksa orang untuk mematuhi suatu hukum atau tatanan, juga kontrak atau transaksi sosial yang mengikat komponen-komponen masyarakat, juga kewajiban yang tumbuh dari nilai dan moralitas tertentu, dan tindakan-tindakan sosial yang didorong oleh suatu kesadaran kognitif bersama atas suatu sistem realitas atau makna. Keempat elemen asas itu dapat berpadu dalam pembentukan berbagai instrumen dan institusi yang nantinya menyusun bangunan suatu tatanan sosial. Perpaduan asas itu dapat terjadi dalam harmoni yang seimbang atau tidak seimbang, di mana salah satu asas lebih dominan dari yang lain. Dengan begitu, landasan yang dominan dalam tatanan sosial suatu masyarakat, kebudayaan, dan peradaban dapat bergantian sesuai kebutuhan keadaan. (Wiley, 1979: 66)

Kritik-kritik Atas Parsons

Akhirnya, ketidakmampuan Parsons untuk mengenali pentingnya asas kesadaran kognitif dalam kehidupan dan sistem kebenaran, dan bagaimana kognisi ini mengikat masyarakat serta melandasi tatanan sosial, menjadi titik lemah yang besar dan membuatnya rentan terhadap kritik dari semua kelompok teori pesaingnya. Selain meremehkan asas kesadaran kognitif sebagai landasan tatanan sosial, dia juga terlalu menonjolkan asas nilai dan moral. Para sosiolog kiri mengkritik Parsons karena postulatnya tentang moralitas dan nilai bersama yang tidak realistis menurut perspektif teori konflik. Mazhab Chicago (interaksionisme simbolis) dan para fenomenolog mengkritiknya karena tidak menghargai asas kognisi dan konstruksi realitas. Selain itu, kalangan positivis mengkritik bahwa Parsons kesulitan memperluas dan membuktikan teorinya tentang pengetahuan melewati positivisme. (Wiley, 1979: 67) Namun, kritik dan serangan yang serius terhadapnya baru terjadi belakangan, menjelang akhir supremasi fungsionalisme. Pada periode awalnya, teori tindakan itu meraih keberhasilan yang mengesankan. Dengan ide-ide dan komitmen teoretis ini, Parsons membentuk kelompok pengembang gugusan teori dan memperluas pengaruhnya di Harvard, masyarakat sosiologi AS, bahkan secara global.

Terobosan datang pada tahun 1941, ketika Robert Merton mendapatkan posisi di Columbia. Merton dalam banyak hal adalah pengkritik Parsons dan termasuk di antara mereka yang menolak konsensus nilai & moralitas normatif, tetapi dia juga murid Parsons dan pengguna metode fungsional secara luas. Pengangkatan Merton diikuti, di tahun berikutnya, oleh pengunduran diri Sorokin dari jabatan ketua departemen sosiologi di Harvard dan oleh diangkatnya Parsons ke posisi itu pada tahun 1944. Para fungsionalis sekarang memiliki posisi yang kuat di dua departemen itu, terutama setelah Kingsley Davis bergabung dengan Merton di Columbia pada tahun 1948, memberi mereka akses ke sejumlah besar mahasiswa pascasarjana elite. (Wiley, 1979: 67)

Pada tahun empat puluhan, menjadi terang bahwa salah satu kelemahan fungsionalisme adalah ketidakmampuannya untuk menghasilkan hipotesis yang jelas, menemukan metode yang bisa diterapkan, dan memberikan arahan pada penelitian empiris. Meskipun Parsons adalah ahli teori sosiologi Amerika yang paling produktif yang pernah ada, tapi karya penelitian empirisnya terbilang minim. Dengan dibentuknya Teori Tindakan secara berangsur-angsur menjadi teori struktur sosial, ia meminjam gagasan dari para antropolog bahwa kebutuhan fungsional masyarakat menyebabkan struktur-struktur sosial tertentu, seperti keluarga atau negara, untuk muncul dan tetap bertahan. Ini hanyalah perluasan dari gagasan sebelumnya bahwa tindakan ekonomi dikendalikan oleh matriks moral normatif, karena moralitas itu sendiri dijelaskan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat. (Wiley, 1979: 67)

Apa pun kecukupan empiris dari perluasan teori ini, metode naturalnya adalah pencarian secara intuitif kesesuaian positif atau afinitas elektif antara struktur dan fungsi. Banyak murid awal Parsons mampu menggunakan metode ini untuk analisis institusi dan struktur tertentu, seperti kekerabatan, keluarga, ilmu pengetahuan, universitas, stratifikasi sosial, dan birokrasi, tetapi tidak semua orang mampu melakukannya. Merton di Columbia merasakan ketidakcukupan metodologi ini. Pada tahun 1949, Merton menerbitkan Social Theory and Social Structure, yang menekankan tingkat abstraksi yang lebih konkret, dekat dengan data empiris, terbuka secara teoritis untuk elemen-elemen non-fungsional, dan mengembangkan ide serbaguna tentang fungsi-fungsi laten. Fungsionalisme Merton juga tampak lebih terbuka bagi politik kiri daripada Parsons. Fleksibilitas ideologis ini mungkin memberi daya tarik pada tulisan-tulisan Merton yang tidak dimiliki oleh karya-karya Parsons. Meski begitu, ketika kelompok kiri dan anti-perang menyeruak pada tahun 1960-an, fungsionalisme Merton tetap saja tidak dapat menahan sentimen yang sangat kritis dari banyak sosiolog muda yang kekiri-kirian. Sebagai panduan penelitian, metode Merton cukup berhasil, meskipun tetap intuitif, bertumpu pada anggapan isomorfisme antara struktur dengan kebutuhan atau fungsi. Kurangnya klarifikasi logis ini berarti bahwa ia tetap berada pada tingkat heuristis. (Wiley, 1979: 68)

Kerja Sama Fungsionalisme dan Positivisme

Sepanjang masa peralihan akhir 1930-an dan 40-an, kaum positivis (klub Columbia) telah berhasil meraih sumber daya intelektual yang baik, menikmati akses yang mudah ke jurnal American Sociological Review yang relatif baru, dan mendapatkan peluang penelitian dengan pemerintahan Roosevelt. Mazhab mereka dibangun di atas meningkatnya kepentingan statistik dalam pendidikan pascasarjana, tetapi tidak pernah bisa menghasilkan peneliti jenius yang mampu membangun teori yang komprehensif dari angka-angka statistik itu. Secara khusus, upaya George Lundberg untuk memformalkan sosiologi positivistik di bawah teori operasionalisme tidak berhasil. Selama masa peralihan sosiologis pasca-Mazhab Chicago yang panjang, kaum positivis memiliki metode tetapi tidak memiliki teori, sementara kaum fungsionalis yang sedang naik daun memiliki teori tetapi tidak memiliki metode (empiris). Pada prinsipnya masing-masing pihak saling bertentangan, tetapi karena didorong oleh kebutuhan praktis, keduanya bekerja sama selama tahun 1940-an, di mana mazhab fungsionalisme menjadi perumus teori utama dan kaum positivis menjadi mitra junior yang menyokong perumusan teori mereka dengan data statistik. (Wiley, 1979: 68)

Ketika Merton dipekerjakan di Columbia, Paul Lazarsfeld, penganut positivisme statistik yang menonjol, dipekerjakan bersamanya. Seperti disebutkan sebelumnya, Columbia saat itu sedang mengalami polarisasi tajam antara faksi teoretis, yang dipimpin oleh MacIver, dan faksi empiris, yang dipimpin oleh Robert Lynd. Perekrutan Merton dan Lazarsfeld secara bersamaan dimaksudkan sebagai kompromi dan gencatan senjata sementara antara kedua kelompok itu. (Wiley, 1979: 68) Ternyata, Merton dan Lazarsfeld entah bagaimana dapat menjadi teman pribadi, yang berujung pada kolaborasi erat antara fungsionalisme dan positivisme. Di Harvard, Parsons juga membutuhkan seorang spesialis riset empiris, sehingga Samuel Stouffer, seorang mahasiswa Ogburn, dipekerjakan di sana. Kaum empiris ini — Stouffer dan Lazarsfeld — menerjemahkan bahasa struktur dan fungsi ke dalam bahasa sebab dan akibat. Meskipun persimpangan dan irisan logis antara dua medan linguistik itu tidak pernah terlalu jelas, kemitraan positivisme dan fungsionalisme berjalan dengan baik. (Wiley, 1979: 69)

Kemitraan mereka kontras dengan ketegangan antara pengusung positivisme dengan tradisi studi kasus dari Mazhab Chicago sebelumnya. Mungkin setelah kegagalan operasionalisme Lundberg, kaum positivis tahu bahwa mereka tidak dapat merumuskan teori sendiri, sehingga memerlukan kerja sama dengan kaum fungsionalis. Selain itu, gagasan “fungsi” mungkin sedikit lebih disiplin secara empiris dan kausalistik serta lebih mudah diterjemahkan ke dalam bahasa variabel daripada ide “proses” Mazhab Chicago. Namun demikian, mungkin faktor pribadi lebih dominan, di mana Merton-Lazarsfeld dapat akur, sementara dan Park-Ogburn tidak. Masih ada pertanyaan teoretis yang belum terjawab tentang mengapa tantangan intelektual yang hampir identik dalam dua kasus itu menyebabkan kemitraan antara Columbia-fungsionalisme dan permusuhan antara Columbia-Chicago. (Wiley, 1979: 69)

Meski terjalin kemitraan, tetap ada permasalahan antara positivisme dan fungsionalisme. Pada 1950-an, kaum positivisme mencoba mendorong dielaborasikannya penjelasan tentang hubungan antara analisis fungsional dengan analisis sebab-akibat. Hasil upaya itu adalah, dalam beberapa hal, penguatan fungsionalisme. Tradisi itu pun menjadi dapat diterjemahkan ke dalam tradisi logis lainnya. Satu-satunya tugas yang tersisa bagi kaum fungsionalis adalah mengusulkan ide-ide untuk diuji oleh kaum positivis, dan mungkin kaum positivis dapat menemukan cara untuk menemukan ide-ide ini sendiri. Merton menerima pembagian kerja antara kedua mazhab ini karena dia selalu menganggap analisis fungsional sebagai metode dan bukan teori, tetapi Parsons menganggap fungsi dan struktur sebagai hal yang nyata. Meski begitu, tetap saja bagi keduanya, bahwa tantangan pihak empiris terhadap kaum fungsionalis untuk dapat membuktikan keberadaan hubungan fungsional dalam struktur sosial dalam istilah-istilah positivisme harus dijawab. (Wiley, 1979: 69)

Kritik terhadap fungsionalisme, terutama versi Parsonian, yang lebih kentara justru datang dari penganut teori konflik (kelompok kiri), yang mengalami peningkatan popularitas pada 1960-an dan akhirnya merusak legitimasi moral fungsionalisme. Argumen makro mereka yang paling utama adalah bahwa konflik merupakan dasar bagi tatanan sosial secara keseluruhan, sebagaimana dibuktikan oleh terjadinya perubahan sosial berskala besar, pemaksaan (koersi) dan represi yang rutin digunakan oleh otoritas dalam pengaturan masyarakat, dan fakta munculnya kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial yang saling bertentangan atau berkonflik dalam masyarakat. Ketika 60-an berlalu dan konflik dalam masyarakat AS semakin menyeruak ke permukaan, argumen makro pengusung teori konflik pun semakin populer, bahkan turut diusung oleh mazhab-mazhab yang lain. Argumen makro lainnya datang dari pengikut Weber di sekitar Reinhard Bendix di Berkeley, yang beberapa di antaranya adalah kelompok politik konservatif, tetapi tetap menafsirkan Weber dalam kerangka teori konflik. (Wiley, 1979: 70)

Pada tataran interaksi-mikro, fungsionalisme juga menuai kritik yang bermuara pada ide proses, perubahan, dan konflik. Kaum interaksionis simbolik, yang berkembang lagi di Chicago di akhir tahun 40-an dan 50-an lewat kepeloporan Blumer dan Hughes, mengkritik Parsons karena menggambarkan interaksi biasa dengan gaya yang terlalu kaku dan terlalu determinis ditentukan oleh peran. Drama kehidupan, menurut pengamatan mereka, tidak dibaca dari sebuah naskah, tetapi bersifat spontan. Mereka menunjuk pada negosiasi dan semacam konstruksi realitas kognitif, di mana konflik dan kemunculan jamak didapati. Para ahli fenomenologi, terutama kelompok Garfinkel dan Cicourel di Pantai Barat AS, mengkritik ambiguitas dan ketidakteraturan yang melekat pada pengalaman biasa ini, serta keterbukaannya terhadap definisi yang saling bertentangan, sehingga mereka menganggap fungsionalisme salah arah. Bahkan ahli teori kontrak dan pertukaran sosial di Harvard, George Homans, menantang dalil konsensus moral dengan memasukkannya dalam motif kepentingan pribadi yang tersembunyi. (Wiley, 1979: 70) Pada akhir tahun 1960-an, jelas bahwa fungsionalisme sudah tidak lagi dominan.

Sosiologi AS Pasca 60/70-an: Menguatnya Komputasi dan Popularitas Paham Kiri

Diskusi sosiologis yang intens sebelum ini terutama berkisar tentang teori, ideologi, nilai-nilai, dan politik AS, dan sedikit sekali mengenai penyelesaian metodologis dari masalah tersebut. Pemisahan diri para pengusung positivisme dari koalisi Parsons-Merton-Lazarsfeld selalu dimungkinkan, dan ada perkembangan dalam kelompok positivisme yang secara bertahap memperkuat posisi mereka, terutama dalam kaitannya dengan penguasaan sumber daya. Sejak 1960-an dan 1970-an, kapasitas dan aksesibilitas komputasi meningkat pesat. Komputasi berkecepatan tinggi memungkinkan perbaikan pengolahan statistik dari berbagai masalah kuantitatif dan pengembangan prosedur statistik baru yang baru. Hal ini meningkatkan pentingnya analisis data kuantitatif dalam berbagai disiplin, termasuk sosiologi. (Wiley, 1979: 71)

Menguatnya pengusung positivisme itu mendorong munculnya pengusung teori kausal yang baru, dengan tokoh utama seperti Hubert M. Blalock, Jr. dan Otis Dudley Duncan. Karya-karya mereka menunjukkan penggunaan analisis regresi dalam pengolahan kumpulan data demografis, penggalian korelasi dalam suatu jalur keterkaitan kausal. Bagian dari gaya ekspansif dari kaum kausal baru ini adalah penggunaan statistik interval yang setara pada data ordinal, mengabaikan norma logis yang berlaku pada analis tabular gaya Lazarsfeld yang lebih berhati-hati. Kecenderungan lain dari ekspansi intelektual positivisme ini adalah pengkajian kembali masalah validitas data yang pelik, yang selama ini menjadi masalah yang abu-abu dalam pendekatan penelitian sosial kuantitatif, karena tidak dapat dibuktikan bahwa tes dan skala benar-benar mengukur variabel abstrak atau properti yang ingin mereka ukur. Penguatan kembali kaum empiris ini juga disebut sebagai munculnya neo-operasionalisme. (Wiley, 1979: 73)

Selain penguatan komputasi yang mendorong penguatan kelompok positivis, masa ini juga ditandai dengan penguatan kelompok kiri (pengusung Marxisme). Perkembangan politik ketika itu membuat jangkauan program-program sosial federal diperluas, sehingga berbagai studi sosial yang mengikutinya pun banyak berfokus ke kalangan minoritas, miskin, atau kelompok sosial apa pun yang dikategorikan dalam paradigma konflik sebagai “yang tertindas” (the oppressed). Seiring dengan itu, teori konflik yang utamanya diusung oleh kaum kiri mengalami peningkatan popularitas. Menguatnya politik kiri di AS juga menjadi pendorong perluasan program-program sosial untuk “kaum marginal” itu, juga maraknya protes-protes publik. Intelektual moderat dan konservatif pun bereaksi terhadap kelompok kiri itu — yang mereka anggap bertanggung jawab terhadap munculnya teori-teori sosiologis yang terlalu kritis terhadap masyarakat Amerika, meningkatnya kriminalitas, dan mulai maraknya kekacauan sosial — tapi dengan mulai derasnya arus postmodernisme, momentum penguatan kelompok kiri lebih kencang. (Wiley, 1979: 72)

Meluasnya pengaruh kelompok kiri itu didorong oleh berbagai permasalahan keadilan sosial di AS dan upaya akademis untuk memasukkan prinsip-prinsip Marxisme ke dalam kerangka masyarakat demokrasi liberal. Upaya itu menghasilkan suatu adaptasi dan perluasan penerapan teori-teori Marx, yang sebelumnya hanya diterapkan di ranah kelas ekonomi, ke dalam aspek-aspek sosial-kultural, menjadi cultural-Marxism. Secara intelektual, upaya seperti itu awalnya lebih dulu terjadi di Eropa, di antaranya seperti yang dilakukan oleh Eduard Bernstein, Fabian Society, dan Antonio Gramsci. Marxisme kultural itu kemudian diperluas oleh karya-karya lembaga pemikiran Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), yang sebagian di antara anggotanya kemudian pindah atau berkunjung dan mengajar di Amerika Serikat. Hal ini memerlukan ruang pembahasan tersendiri.

Singkatnya, paham kiri ini lalu menghasilkan perangkat teori yang dinamakan Teori Kritis (Critical Theory) yang memperluas adaptasi Marxisme itu, selain di ranah kelas, juga ke pembahasan ras (Critical Race Theory), gender (Critical Gender Theory dan Queer Theory), dan lain-lain, yang lalu diadaptasi ke dalam gerakan politik identitas kiri (Leftist Identity Politics). Ide-ide semua jenis Teori Kritis itu berkutat pada konsep opresi sistemis (systemic oppression) yang menunjukkan pandangan dualis atas masyarakat sebagai yang permanen / niscaya tertindas dan penindas yang permanen / niscaya, sehingga bersesuaian dengan Teori Konflik. Adaptasi itu akan tampak jika kita membandingkan pernyataan kunci dalam Marxisme dengan Teori Kritis. Dalam teori kelas Marx, the power dynamics in liberal-capitalist society necessarily means that the bourgeois are the oppressor and the proletariat are the oppressed. Sementara itu dalam Teori Ras Kritis diyakini bahwa the power dynamics in white-western society necessarily means that white people are the oppressor and non-white people are the oppressed. Selanjutnya, dalam Teori Gender Kritis (feminisme) diyakini bahwa the power dynamics in patriarchal society necessarily means that men are the oppressor and women are the oppressed. Lalu, dalam Queer Theory, diyakini bahwa the power dynamics in heteronormative society necessarily means that straight people are the oppressor and non-straight people are the oppressed. Tidak hanya dalam ranah akademis, teori-teori kritis ini juga disalurkan dalam bentuk politik massa (organisasi feminis, Black Lives Matter, Black Power, dll.) yang juga disebut sebagai — woke movement dan social justice warrior — dan politik praktis (utamanya Partai Demokrat AS / Democrat).

Selain ekspansi positivisme dan meningkatnya popularitas pemikiran kiri, secara umum terjadi pluralisme teoritis yang kacau pasca jatuhnya dominasi fungsionalisme itu. Pertentangan penganut teori konflik dengan fungsionalisme masih berlanjut. Berbagai aliran lain pun berjalan sendiri-sendiri: ada fenomenologi yang dianut di kawasan Pantai Barat (West Coast) dan Pantai Timur (East Coast) dengan tokoh seperti Alfred Schutz dan Peter Berger, etno-metodologi yang dianut kelompok Harold Garfinkel, sosiologi kognitif yang berkembang di sekitar Aaron Cicourel, dan analisis konversasi dari Harvey Sacks. Selain persaingan, saling mempengaruhi antar mazhab dan kelompok teori juga terjadi. Secara umum, di era 70-an, para ahli teori masih menjalankan fungsinya dalam tinjauan intelektual, penentuan arah besar penelitian, dan interpretasi data, tetapi mereka tidak melakukannya dengan satu suara atau kosa-kata bahasa yang sama. Tidak ada terminologi umum yang menghubungkan berbagai kelompok teori itu dalam masa kekosongan dominasi ini, menunjukkan kebingungan linguistik dari masa peralihan. (Wiley, 1979: 74–75)

Refleksi Bagi Pembangunan Sosiologi Islam

Mungkin berbagai mazhab dan kelompok teori sosiologi yang saling bersaing ini dapat menemukan titik temu yang sama dengan meninjau ulang secara mendalam dan berkelanjutan masalah klasik tatanan sosial dan masing-masing penekanan solusi yang mereka tawarkan. Kelompok yang berbeda memberikan penekanan pada aspek yang berbeda. Aspek utilitarian dikembangkan oleh para pengusung teori kontrak dan transaksi sosial, sosiologi behavioristik, dan teori kausalitas baru, yang sampel acaknya memiliki struktur logis yang sama dengan struktur pasar. Aspek paksaan (koersi) dalam tatanan sosial ditekankan oleh pengikut Weber, Marx, dan sosiolog historis yang lebih eklektik. Aspek nilai dan moralitas menjadi fokus dari pengikut Durkheim, Parsons, dan sebagian penafsir Mead. Asas kognitif tatanan sosial ditekankan oleh pengusung interaksionisme simbolik, berbagai mazhab fenomenologi, dan interpretasi Weber serta Durkheim yang lebih baru. Pengikut Merton dapat memiliki beberapa penekanan sekaligus, sementara karya-karya Merton sendiri lebih memiliki nuansa fenomenologi yang kuat. Rincian pola dan proses ini tentu tidak benar-benar jelas, tetapi dari gambaran yang lebih luas, yang menganggap bahwa beragam mazhab dan kelompok teori sebenarnya menyasar masalah dasar yang sama hanya dari sudut yang berbeda-beda, integrasi keempat solusi sosiologi klasik atas masalah tatanan sosial itu (Hobbesian problem of order) potensial untuk diupayakan oleh para sosiolog ke depan, khususnya dalam wacana pengembangan sosiologi Islam yang, sebagaimana sifat Din Islam itu sendiri, bersifat integral.

Masalah tatanan sosial — yaitu apakah yang menjadi landasan dari tatanan sosial, mengapa tatanan sosial dapat diwujudkan, bagaimana tatanan sosial dapat diwujudkan, bagaimana bisa individu-individu manusia yang masing-masing memiliki keinginan dan kepentingannya sendiri-sendiri dapat saling bekerja sama atau menghindari konflik dan membentuk tatanan sosial — sebenarnya timbul di Barat karena kurang komprehensifnya agama Kristen sebagai sistem kehidupan dan munculnya sekularisme di Era Pencerahan dan Renaisans Eropa. Thomas Hobbes yang hidup di masa di mana perang sipil dan kekacauan melanda Britania, memandang bahwa sektarianisme dalam agama Kristen menghasilkan perang yang berkepanjangan, demikian pula ketika orang Eropa itu mulai melakukan sekularisasi, perang dan konflik lalu muncul antara penguasa monarki dengan rakyat yang merasa dizalimi oleh otoritas pemerintahan lama yang feodalistis. (Parsons, 1949: 89–102)

Ketika pemerintahan lama ditumbangkan dan agama sudah ditinggalkan, tidak ada lagi panduan hidup yang tetap bagi orang Barat sekuler itu, sehingga tiap-tiap individu mesti memenuhi kepentingannya sendiri. Ketika terdapat pertentangan kepentingan antar individu dan terjadi kelangkaan sumber daya pemenuhan kepentingan itu, maka saling sikut akan terjadi. Individu-individu akan saling bertarung, menghasilkan perang “semua melawan semua”. Dari sanalah, Hobbes berpikir, bahwa meskipun manusia memiliki akal, akal itu tidak berdaya karena ia hanyalah pelayan dari passion, yang dimaknainya sebagai suatu fakultas yang mendorong pemenuhan desire. Dari sanalah Hobbes memandang, bahwa keadaan natural manusia, di mana semua tatanan sosial — termasuk yang berasal dari agama dan monarki — itu belum ada atau telah hilang, manusia adalah individu-individu yang saling bergelut, sehingga keadaan naturalnya adalah chaos yang buruk dan pesimistis (Parsons, 1949: 89–102). Dari sana, Hobbes merumuskan bahwa otoritas dengan kekuasaan tanpa batas harus diwujudkan untuk membawa ketertiban atau tatanan dalam kehidupan sosial. Dari situ, terjadilah kontrak antara individu-individu untuk melepas sebagian kebebasannya agar dilindungi oleh otoritas.

Selanjutnya, berbagai varian yang muncul dari landasan tatanan itu hanya soal porsi dan proporsi. Apakah kontrak yang dominan ataukah koersi otoritas yang dominan. Parsons menelaahnya dan merumuskan solusi berupa nilai, moralitas, dan norma; yaitu bahwa otoritas yang absolut sebenarnya tidak dibutuhkan untuk mewujudkan tatanan sosial, tapi bahwa nilai, moralitas, dan norma yang dianut bersama oleh kumpulan individu dalam masyarakat itulah yang membuat mereka mampu berorganisasi secara tertib. Setelah itu, muncul pula pandangan bahwa kesadaran kognitiflah yang mendorong orang untuk tertib. Persoalannya, solusi apa yang dapat mencakup semuanya? Itulah sederhananya persoalan integrasi dalam ‘Hobbesian problem of order’ atau masalah landasan tatanan sosial. Soal itu sebagaimana kita lihat sejatinya timbul dari jiwa zaman masyarakat Barat yang telah mengalami sekularisasi itu, sehingga tidak memiliki panduan hidup yang utuh-seluruh.

Di sinilah Islam sebenarnya dapat masuk dan mengobati penyakit kekosongan itu, sebab Islam, berbeda dengan Kristen yang parsial dan sekularisme yang kosong, merupakan suatu sistem yang integral. Islam merupakan emulasi dari tatanan kosmos yang dimanifestasikan dalam ranah individual, ekonomi, sosial, politik, dan seluruh aspek dari peradaban. Islam mengharmonikan antara yang individual dan yang sosial, dua aspek yang dipertentangkan dalam filsafat sosial-politik Barat antara penganut worldview egalitarianisme dan individualisme. Dalam diri individu itu sendiri, Islam berpandangan integral dalam konsepsinya tentang jiwa dan tubuh fisik. Islam mencakup yang material dan yang spiritual. Jiwa manusia dalam konsepsi Islam itu pun mencakup jiwa intelektual (rasional) dan jiwa hewani. Islam merupakan suatu sistem peradaban yang lengkap, dari aspek metafisika, kosmologi, psikologi, muamalah ekonomis, muamalah sosial, hingga pemikiran politik. Demikian pula dalam filsafat sains Islam, terdapat konsistensi terhadap pandangan integral, yang mencerminkan tauhid sebagai pokok ajaran Islam itu, yaitu bahwa Islam tidak mempertentangkan antara pendekatan rasional, empiris, wahyu, induksi, dan deduksi. Manusia dalam Islam dipandang sebagai representasi mikrokosmis dari makrokosmos, sehingga bangunan sistemnya menempatkan individu dan masyarakat secara berkeadilan. Adil dalam Islam tidak berarti sama rata sama rasa atau kesetaraan, tetapi menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat. Islam adalah Din dan juga Tamadun, yang mana secara medan semantik makna berkaitan dengan akar kata yang sama dal-alif-nun (دان). (al-Attas, 1993; al-Attas, 1995; Izetbegovic, 1993)

Dikarenakan sifat integral dari Islam itulah, ia mampu menghadirkan solusi bagi integrasi atas jawaban-jawaban sosiologi klasik atas problem landasan tatanan sosial (Hobbesian Problem of Order), yang selama ini dipandang secara parsial itu, terutama bila kita menelaah dan mengembangkan konsep Din dan Tamadun. Solusi-solusi sosiologi klasik atas masalah tatanan sosial itu mencakup solusi koersif, normatif, kontrak & pertukaran utilitarian, dan solusi (kesadaran) kognitif. Konsep Din dan Tamadun mampu mencakup, memperbaiki, mengintegrasikan, dan bahkan mengembangkan keempat aspek solusi klasik itu. Hal itu karena konsep Din itu mencakup aspek keberhutangan (indebtedness), yang terkait dengan aspek kontrak dan pertukaran utilitarian; aspek otoritas (judicious power) dan ketundukan (submissiveness), yang terkait dengan aspek koersi; aspek kesadaran akan tatanan kosmos, tatanan natural, tatanan sosial, tatanan individual, dan kedudukan yang adil bagi setiap realitas wujud (fitrah), yang terkait dengan aspek kesadaran kognitif; dan aspek adab dan akhlak, yang terkait dengan aspek normatif dari solusi sosiologi klasik atas masalah landasan tatanan sosial. (al-Attas, 1993; al-Attas, 1995) Selain itu, jika kita meninjau konsepsi sosiologi integral lainnya yang ada di luar mazhab-mazhab yang dibahas di atas, misalnya konsep realitas final dan altruisme sebagai solusi kemanusiaan yang ditawarkan oleh Pitirim Sorokin; maka Islam juga memiliki konsep yang lebih baik dan lengkap, yang inheren di dalam metafisika dan kosmologinya, juga konsepsinya mengenai īthār, imsak, zuhud, saum, dan hal-hal lain yang terkait.

Namun, semua itu masih berada dalam bentuk yang belum disusun dalam pengertian teori yang sistematis, sebab masih tersebar dalam ayat-ayat Quran, riwayat-riwayat hadis, ataupun sebagian sudah ditulis sebagai buku oleh para ulama, ilmuwan, dan cendekiawan Muslim (misalnya buku al-Farabi atau al-Mawardi tentang negara ideal). Adalah tugas kita, pengusung Islamisasi sains dan integrasi ilmu pengetahuan — dari kelompok mana pun, pengikut al-Attas, Nasr, al-Faruqi, Sardar, hingga Kuntowijoyo sekalipun, untuk meneliti sumber-sumber internal Islam, menggali konsep-konsep seminal yang terkait dengan sosiologi khususnya tentang problem of order itu, mengevaluasi dan mengkritisi teori dan konsep sosiologi kontemporer, dan menyusun bangunan teoritis dan disiplin ilmu tersendiri, yaitu sosiologi profetik, sosiologi Islam. Dan karena masalah landasan tatanan sosial itu merupakan masalah yang paling mendasar dalam sosiologi, refleksi ini mengusulkan hal ini dijadikan sebagai tema global dan fundamental dalam kajian sosiologi Islam: “Konsep Din dan Tamadun sebagai Solusi atas Hobbesian Problem of Order (Masalah Landasan Tatanan Sosial)”.

Rujukan

al-Attas, S. M. Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC

al-Attas, S. M. Naquib. 1995. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC

Hamilton, Richard F. 2003. “American Sociology Rewrites Its History”. Sociological Theory, Vol. 21, №3 (Sep., 2003), pp. 281–297

Harvey, Lee. 1987. “The nature of ‘schools’ in the sociology of knowledge: the case of the Chicago School”. Sociological Review, 35(2), pp. 245–78.

Izetbegovic, Alija. 1993. Islam: Between East and West. Oak Brook, Illinois: American Trust Publications.

Mullins, Nicholas C. 1973. Theories and Theory Groups in Contemporary American Sociology. New York: Harper & Row.

Parsons, Talcott. 1949. The Structure of Social Action. Clencoe, Illonis: The Free Press.

Scott, John. 2007. “Talcott Parsons”. Fifty Key Sociologists: The Contemporary Theoriests. New York: Routledge

Selznick, Philip. 1961. “The Social Theories of Talcott Parsons”. American Sociological Review, Vol. 26, №6 (Dec., 1961), pp. 932–935

Timasheff, N. S.; Neal, Marie Augusta; Potvin, Raymond H. & Reiss, Paul J. “Critical Analyses of the Social Theories of Talcott Parsons: A Book Review”. The American Catholic Sociological Review, Vol. 23, №3 (Autumn, 1962), pp. 236–254

Tiryakian, E. A., 1979, “The Significance of Schools in the Development of Sociology”, Contemporary Issues in Theory and Research: A Metasociological Perspective, pp. 211–234

Wallace, Robert W. 1991. “The struggle of a department: Columbia sociology in the 1920s”. Journal of The History of The Behavioral Sciences, Volume27, Issue4, October 1991, Pages 323–340

Wiley, Norbert. 1979. “The Rise and Fall of Dominating Theories in American Sociology”. Contemporary Issues in Theory and Research. 47–91

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet