Posisi Keilmuan Transportasi dalam Struktur Sains Islam dan Agenda Riset ke Depan: Tinjuan Permulaan
Oleh M Miftahul Firdaus
Pendahuluan
Gagasan Islamisasi Sains — dengan berbagai variannya — meskipun belum diterima oleh semua kalangan, telah memperlihatkan kemajuan, terutama dalam khazanah ekonomi Islam, psikologi Islam, dan arsitektur Islam. Meski begitu, sains Islam yang dikembangkan dalam proyek Islamisasi sains masih didominasi oleh sains dalam cakupan definisi filosofis (kajian tentang filsafat sains Islam) dan historis (kajian tentang sejarah sains dalam peradaban Islam dan hubungannya dengan peradaban lain). Sains Islam dalam pengertian ketiga, yaitu program riset sistemis, belum banyak dikembangkan, termasuk untuk bidang-bidang keilmuan yang terkait dengan transportasi.[1] Untuk merumuskan suatu strategi atau peta jalan penelitian mengenai penerapan konsep Islamisasi sains itu dalam bidang-bidang keilmuan transportasi, terlebih dahulu harus ditinjau bagaimana kedudukan keilmuan transportasi itu dalam struktur sains Islam.
Menurut penulis, pengembangan sains Islam dalam bidang-bidang yang terkait dengan transportasi mesti dilakukan dengan pendekatan filsafat pembangunan sistem (system building philosophy), karena Islamisasi sains dapat dianggap suatu proyek riset pembangunan sistem filsafat dan pemikiran (sistemologi), dan Syed M. Naquib al-Attas sebagai proponen utamanya merupakan seorang great system builder (pembangun utama dari sistem pemikiran sains Islam kontemporer). Hal itu karena penyelidikan ilmiah untuk menghasilkan sains Islam dalam Islamisasi sains itu tidak semata-mata mengikuti proses yang umum dalam sains normal (yaitu sains Barat kontemporer) yang menjadi eksemplar saat ini, tetapi mesti didahului tinjauan yang kritis, komprehensif, dan holistik terhadap keseluruhan tatanan sains Barat modern dan postmodern, dari ranah filosofis, teoritis, hingga ranah praktis.
Dengan demikian, apabila konstruksi penyelidikan Islamisasi sains itu akan diterapkan dalam bidang-bidang sains yang terkait dengan transportasi, prosesnya mesti diawali dari suatu helicopter view atau pandangan terhadap keseluruhan sistem keilmuannya — alih-alih berangkat dari teori-teori atau kesimpulan-kesimpulan yang bersifat partikular, sebagaimana telaah kritis dan menyeluruh yang demikian juga dilakukan oleh al-Attas terhadap filsafat sains Barat. Dengan begitu, langkah Islamisasi sains di bidang transportasi yang mesti ditempuh berawal dari pemetaan kedudukan dari komponen-komponen keilmuan transportasi dalam keseluruhan kerangka bangunan sistemnya, sehingga akan didapatkan suatu gambaran awal mengenai kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains. Selain itu, keilmuan transportasi juga cenderung merupakan suatu kajian lintas disiplin, sehingga dapat dianggap sebagai suatu studi atas sistem kompleks, sehingga studi posisinya dalam struktur falsafah sains secara umum akan bermanfaat untuk memberikan pemahaman yang lebih baik.
Dalam artikel ini, pemetaan sistemologis kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains itu dilakukan dengan pertama mengkaji posisi keilmuan transportasi dalam sains kontemporer, termasuk kedudukan komponen-komponennya, sehingga evaluasi kritis yang holistik terhadap sains transportasi kontemporer dapat dilakukan dan untuk dapat membuktikan bahwa — setidaknya sebagian dari — bidang-bidang keilmuan transportasi itu tidaklah netral, tetapi sarat oleh paradigma dan pandangan alam (worldview) tertentu. Kedua, dilakukan tinjauan hubungan antara sains, paradigma, dan pandangan alam, karena hubungan itu menunjukkan peta atau gambaran dari keseluruhan sistem keilmuan yang mesti atau akan menjadi kerangka atau struktur dari sains Islam tentang transportasi. Ketiga, dilakukan perumusan kedudukan keilmuan transportasi dalam struktur sains Islam, dari ranah paling filosofis ke paling praktis. Keempat, dilakukan pembahasan awal (preliminary) atas komponen-komponen keilmuannya pada tiap tahapan untuk memberikan gambaran langkah-langkah yang mesti dilakukan ke depan.
Posisi Transportasi dalam Sains Kontemporer
Sulit untuk menentukan posisi studi transportasi dalam struktur sains kontemporer, mengingat sifatnya yang interdisipliner dengan komponen, hubungan, dan kompleksitas yang banyak, besar dan beragam. Sains transportasi memiliki irisan dengan studi teknik, perencanaan kota, ekonomi, manajemen, administrasi publik, geografi, dan lain-lain. Selain itu, sains transportasi termasuk disiplin ilmu yang relatif muda, sehingga beraneka rupa masalah baru dapat dengan cepat bermunculan. Dalam perkembangan sejarahnya, sains transportasi umumnya dikristalkan ke dalam studi teknik atau rekayasa transportasi yang menjadi cabang dari teknik sipil.[2]
Peta Kelembagaan Mainstream
Dalam pelembagaannya, studi transportasi dapat berdiri sendiri sebagai suatu cabang sains atau terintegrasi ke dalam cabang-cabang sains lain. Sebagai suatu cabang sains yang berdiri sendiri, studi transportasi dapat dilembagakan ke dalam institut, sekolah, fakultas, atau program studi (prodi) yang khusus, baik dalam jenjang sarjana maupun pascasarjana. Sementara itu, sains transportasi yang menjadi bagian dari cabang keilmuan lain dapat diwujudkan ke dalam suatu mata kuliah, sub bidang studi, sub jurusan, atau kelompok keahlian (spesialisasi) tertentu. Nomenklatur yang digunakan pada keduanya dapat beragam.
Gambar 1. Komponen-komponen Keilmuan Transportasi dalam Sains Kontemporer.
Institusi studi keilmuan transportasi yang berdiri sendiri umumnya berada dalam naungan sekolah atau institut transportasi dan logistik yang mempelajari aspek manajemen sistemis dan / atau teknik sistemis transportasi yang berkaitan dengan alur logistik (supply-chain). Contoh institut semacam itu adalah Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Yayasan Trisakti di Jakarta; Institute of Transport and Logistics Studies di University of Sydney, Australia; serta The Chartered Institute of Logistics and Transport di Northamptonshire, Inggris dan di Ottawa, Ontario, Canada.
Selain itu, juga terdapat institut atau prodi dengan orientasi studi yang lebih spesifik, seperti Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) di Bekasi, Akademi Perkeretaapian Madiun, Prodi Teknik Perkeretaapian Politeknik Negeri Madiun (PNM), Prodi Teknik Perkeretaapian Institut Teknologi Sumatra (Itera), Prodi Manajemen Transportasi Udara di Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan (STTKD) Yogyakarta, Departemen Teknik Transportasi Laut Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan lain-lain.
Sementara itu, sains transportasi yang menjadi bagian cabang ilmu lain dapat memiliki keilmuan induk yang beragam, dari bidang teknik hingga manajemen. Kelompok keahlian Rekayasa Transportasi di Institut Teknologi Bandung (ITB) misalnya, dinaungi oleh Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan.[3] Kelompok keahlian Manajemen dan Rekayasa Transportasi di ITS juga termasuk dalam cakupan Teknik Sipil.[4] Sementara itu, kelompok keahlian Desain, Operasi, dan Perawatan Pesawat Terbang (DOPPT), Prodi Teknik Dirgantara, Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara (FTMD) ITB mencakup topik studi rekayasa dan operasi transportasi udara serta pemodelan dan analisis transportasi udara.[5]
Sementara itu, dalam Lampiran I Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 257/M/KPT/2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi, nomenklatur kelompok keahlian dan program studi terkait transportasi mencakup Teknik atau Rekayasa Transportasi dalam Prodi Teknik atau Rekayasa Sipil, Teknik atau Rekayasa Transportasi Laut dalam Prodi Teknik atau Rekayasa Kelautan, serta Prodi Transportasi dan Manajemen Logistik yang berdiri sendiri.
Peta Pendekatan dan Cakupan Aspek Kajian
Berdasarkan pendekatan dan cakupan aspek kajiannya, umumnya terdapat tiga pendekatan studi sains transportasi, yaitu pendekatan manajemen dan ekonomi-bisnis, pendekatan teknik, dan pendekatan sistem. ITL Trisakti misalnya memiliki Fakultas Manajemen dan Bisnis Transportasi dengan konsentrasi manajemen pada tiga matra (Udara, Darat, dan Laut) serta Manajemen Logistik dan Material; Fakultas Sistem Transportasi dan Logistik yang mencakup Prodi Logistik dan Prodi Transportasi; dan Fakultas Teknik Transportasi dan Logistik yang mencakup Prodi Teknik Dirgantara dengan konsentrasi Kebandarudaraan, Prodi Teknik Kelautan dengan konsentrasi Kepelabuhan, dan Prodi Rekayasa Infrastruktur dengan konsentrasi Perkeretaapian.[6]
Peta Tahapan Kajian
Berdasarkan tahapan kajiannya, topik-topik sains transportasi dapat dibagi dalam kelompok studi perencanaan, perancangan, pengoperasian, pemeliharaan, pemantauan, dan pengendalian transportasi.[7] Kelompok keahlian Rekayasa Transportasi di FTSL ITB misalnya, membagi kegiatan penelitiannya ke dalam empat sub yang meliputi Perencanaan Transportasi yang mencakup Perencanaan dan Kebijakan Transportasi, Pemodelan Transportasi, Ekonomi Transportasi, dan Transportasi Publik; Perancangan Transportasi yang memuat Rekayasa Lalu Lintas, Rekayasa Infrastruktur Transportasi, dan Pemodelan Perkerasan; Pengoperasian dan Pemeliharaan Transportasi yang mencakup Pengelolaan dan Pengoperasian Lalu Lintas, Pengelolaan Transportasi Publik, Keselamatan Lalu Lintas, dan Pengelolaan Infrastruktur Transportasi; hingga Pemantauan dan Penelitian Transportasi yang mewadahi Studi Dampak Transportasi dan Audit Pengelolaan Kualitas Konstruksi Jalan.[8]
Peta Matra Transportasi
Berdasarkan matra operasionalnya, sains transportasi dapat mencakup studi transportasi darat, laut, udara, dan perkeretaapian. Studi transportasi matra darat umumnya dicakup dalam Rekayasa Transportasi yang merupakan cabang dari Teknik Sipil karena berkaitan erat dengan objek keilmuan Teknik Sipil, seperti dirinci di atas. Selain itu, transportasi berbasis jalan dan transportasi berbasis rel (kereta api) dapat dipisahkan, seperti pada STTD yang memiliki jurusan Transportasi Darat, Manajemen Transportasi Jalan, dan Manajemen Transportasi Perkeretaapian.[9] Program studi perkeretaapian juga dapat berdiri sendiri, seperti di Itera[10] atau PNM.[11]
Sementara itu, studi transportasi matra laut dan udara umumnya menjadi cabang keilmuan dari Teknik Kelautan (Transportasi Laut) atau Perkapalan dan Teknik Penerbangan atau Dirgantara. Penekanan studinya dapat dibagi ke dalam orientasi produk serta orientasi fungsi dan permintaan (jasa). Orientasi studi produknya berpusat pada keilmuan teknis tentang kapal, pesawat, pelabuhan, dan bandara. Sementara itu, orientasi fungsinya berpusat pada pendekatan sistemis dari turunan kebutuhan pengguna jasa transportasi masing-masing matra, baik pada level makro maupun mikro.
Dengan begitu, konsep rute (route) dan armada (fleet) pada keduanya setara dengan konsep jalan (road) dan mode (moda) pada matra darat, yaitu memerikan juga cakupan manajemen dan sistemis, walaupun berada dalam lingkup keilmuan yang lebih teknis. Pembagian keahliannya pun menyesuaikan aspek produk dan fungsi itu, seperti Perencanaan dan Manajemen Pelayaran, Perencanaan dan Manajemen Pelabuhan, dan Transportasi Multimoda dan Logistik pada Teknik Transportasi Laut;[12] serta Rekayasa dan Operasi Transportasi Udara, Pemodelan dan Analisis Transportasi udara, Keandalan Maskapai Penerbangan dan Rekayasa Program Perawatan, Analisis Keselamatan Penerbangan, dan Analisis Sistem Bandara pada Teknik Dirgantara.[13]
Selain itu, studi transportasi yang dilakukan lebih dengan pendekatan ekonomi dan manajemen sistemis daripada teknik sistemis, umumnya dimasukkan ke dalam cakupan keilmuan manajemen dan bisnis. ITL Trisakti misalnya, memisahkan antara Fakultas Manajemen dan Bisnis Transportasi, Fakultas Sistem Transportasi dan Logistik, serta Fakultas Teknik Transportasi dan Logistik.[14] Pemisahan kelompok studi Manajemen Transportasi Udara dari Teknik Dirgantara juga dilakukan oleh STTKD Yogyakarta.[15] Institute of Transport and Logistics Studies di University of Sydney juga termasuk dalam kelompok Business School.[16]
Meskipun terdapat spesialisasi semacam itu, Rekayasa atau Teknik Transportasi yang menjadi cabang Teknik Sipil — atau Fakultas Sistem Transportasi seperti di ITL Trisakti — tetaplah dapat dirujuk sebagai representasi umum studi transportasi, karena objek keilmuan utamanya memanglah berkenaan dengan transportasi, bukan turunan yang timbul dari persentuhan teknologi kapal, pesawat, atau kereta api dengan bidang transportasi. Selain itu, bahan ajar pada Teknik Transportasi juga dapat mencakup topik-topik yang terdapat dalam kajian transportasi di Teknik Penerbangan, Teknik Transportasi Laut, dan Teknik Perkeretaapian, walaupun persentasenya mungkin tidak sebanyak topik-topik tentang transportasi berbasis jalan.
Rekayasa atau teknik transportasi umumnya didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip sains dan teknologi dalam perencanaan, desain fungsional, pengoperasian, dan pengelolaan berbagai fasilitas untuk segala bentuk mode transportasi (jalan, rel, air, dan udara) dengan tujuan untuk menjamin pergerakan manusia dan barang yang aman, cepat, nyaman, mudah, ekonomis dan ramah lingkungan.[17] Frasa “segala bentuk mode transportasi” tersebut menunjukkan bahwa cakupan studi transportasi dalam Teknik Sipil memang lebih global. Namun, hal itu tidaklah dimaksudkan untuk mengerdilkan pentingnya studi transportasi dalam cakupan Teknik Dirgantara, Teknik Transportasi Laut, Teknik Perkeretaapian, maupun Manajemen dan Ekonomi Transportasi. Selain itu, paradigma transportasi pada dewasa ini pun semakin sistemis, integral, dan multi-modal.
Cakupan Kurikulum yang Multidisipliner
Terlihat bahwa teknik transportasi merupakan bidang studi yang multidisipliner dan relatif baru yang telah memperoleh landasan teoretis, perangkat metodologis, dan area yang luas dari keterlibatan negara, publik, dan swasta. Konsep-konsepnya diambil dari berbagai bidang, seperti ekonomi, geografi, riset operasi, perencanaan wilayah, sosiologi, psikologi, statistik dan probabilitas, dipadukan dengan perangkat analisis yang umum digunakan dalam bidang teknik. Implementasi keilmuannya melibatkan berbagai aktivitas penting dari para pembuat kebijakan, manajer, administrator, perencana, insinyur, analis, pekerja konstruksi, operator, petugas pemeliharaan, hingga regulator dan badan-badan pengawas.[18]
Kurikulumnya dapat mencakup sistem transportasi perkotaan, statistik transportasi, matematika transportasi, sistem transportasi nasional, teknologi sarana transportasi, sumber daya manusia transportasi, perhitungan biaya dan tarif transportasi, hubungan tata guna lahan dengan transportasi, metode survei dan analisis data transportasi, sistem informasi geografis, lingkungan dan energi transportasi, riset operasi, transportasi penumpang, ekonomi transportasi, manajemen lalu lintas jalan, manajemen operasi transportasi, manajemen rantai pasok, studi kelayakan transportasi, manajemen proyek transportasi, kebijakan transportasi, digitalisasi dan sistem transportasi cerdas, perangkat lunak untuk solusi transportasi, dan transportasi barang.
Dalam pemaknaannya yang lebih luas di matra udara, kurikulum transportasi dapat meliputi sistem bandar udara, regulasi penerbangan, rencana induk bandar udara, leadership airport, mekanika teknik dasar, pengetahuan dasar penerbangan, desain dasar bandara, operasi bandara, fasilitas bandara internasional, pelayanan lalu lintas penerbangan, regulasi bandara, studi kelayakan bandara, manajemen proyek bandara, aksesibilitas bandara, pemeliharaan kelistrikan bandara, penyelamatan bandara dan penanggulangan kebakaran, pemeliharaan alat bantu navigasi udara, keamanan penerbangan, pemeliharaan pavements & unpaved areas, standarisasi dan sertifikasi bandara, perkembangan teknologi bandara, dan teknik perawatan pesawat.
Dalam bidang transportasi laut, kurikulum yang ada umumnya memuat mekanika tanah, mekanika teknik, desain pelabuhan, teknik fondasi, teknik gelombang, sistem operasi terminal umum, dredging & reclamation curah cair, konstruksi pelabuhan, desain breakwater, teknik pantai, peti kemas dan peralatan peti kemas, sistem informasi pelabuhan dermaga, gudang dan lapangan penumpukan, sistem operasi terminal penumpang, rencana induk pelabuhan, studi kelayakan pelabuhan, biaya dan tarif pelabuhan, shipping operation, sistem dan regulasi pelabuhan, dangerous goods, riset operasi, dan sumber daya kelautan.
Sementara itu, kurikulum transportasi perkeretaapian dapat mencakup sejarah perkembangan perkeretaapian, pengetahuan dasar sistem operasi kereta api, sains lingkungan, statika dan mekanika bahan, mekanika tanah, perancangan struktur beton, gambar teknik, pemetaan dan survei, teori rangkaian listrik, teknik dan konstruksi, persinyalan kereta api, teknik fondasi konstruksi jalan rel, hidrologi, konstruksi jembatan kereta api, railway tunnelling, construction railway station yard, teknik dan konstruksi telekomunikasi kereta api, regulasi dan perundang-undangan kereta api, konstruksi bangunan stasiun, teknik perawatan trek, perencanaan infrastruktur ramah lingkungan, perencanaan kereta api, keselamatan transportasi, dan kereta api berkecepatan tinggi (high speed train).
Begitu pula hasil survei yang dilakukan oleh C. Jotin Khisty terhadap para praktisi transportasi di Amerika Serikat pada 1980-an, juga memperlihatkan bentang studi transportasi yang luas dan interdisipliner. Para praktisi tersebut, berdasarkan pengalaman mereka, mengusulkan topik-topik yang mereka anggap sebagai pokok studi dalam rekayasa transportasi, yang meliputi desain geometris jalan raya, karakteristik pengoperasian kendaraan, studi kapasitas jalan raya, desain persimpangan jalan raya, perencanaan transportasi, peralatan kendali lalu-lintas, ekonomi transportasi, interaksi tata guna lahan dengan transportasi, teknik evaluasi, manajemen sistem transportasi, deskripsi sistem transportasi, karakteristik arus lalu-lintas, keamanan lalu-lintas, prosedur-prosedur kontrak, spesifikasi, karakteristik operasional mode transportasi, angkutan massal, perencanaan bandara, transportasi dan pemberdayaan manusia, dan sejarah transportasi.[19]
Keilmuan Transportasi sebagai Perpaduan Sistemis ‘Sains Lunak’ dan ‘Sains Keras’
Dengan demikian, semakin jelas bahwa sebagai cabang ilmu, rekayasa transportasi memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi, psikologi, politik, manajemen, ekonomi, planologi, arsitektur, rekayasa sistem, teknik sipil, matematika dan statistika, teknik dirgantara, teknik perkapalan dan kelautan, teknik perkeretaapian, rekayasa informatika dan elektronika, teknik mesin, dan lain-lain. Kita lihat cakupan interdisipliner teknik transportasi begitu luas, meliputi sisi “keilmuan lunak” yang berkenaan dengan manusia dan kemasyarakatan, dan sisi “keilmuan keras” yang berhubungan dengan teknik dan sains eksak. Sifatnya yang lintas disiplin itu menimbulkan kerumitan tersendiri dalam upaya penguasaan dan Islamisasi atasnya. Namun, di sisi lain, dengan antarmuka bidangnya yang luas itu, upaya Islamisasi sains yang dilakukan terhadap keilmuan transportasi berpeluang mendorong berkembangnya kajian Islamisasi sains secara paralel untuk bidang-bidang yang terkait, seperti sosiologi Islam dan manajemen Islam.
Selain itu, dengan luasnya aspek kajian yang ada di dalamnya, pendekatan studi transportasi sulit untuk berdiri sendiri, meskipun pada praktiknya, terdapat kelompok studi yang mengkhususkan pendekatan manajemen dan bisnis saja — yang dianggap mewakili sisi lunak transportasi — atau pendekatan teknis saja — yang berkenaan dengan sisi keras transportasi. Namun, pada perkembangan studinya, masing-masing pendekatan tersebut mengarah pula kepada pendekatan sistemis. Dengan demikian, pada setiap program studi atau institut yang mengkhususkan diri di bidang manajemen atau teknik transportasi itu, kita akan mendapati topik-topik studi yang digelar dalam kerangka sistem transportasi.
Pendekatan sistem (system approach) adalah suatu cara yang sistemis dan menyeluruh untuk memecahkan masalah yang melibatkan suatu sistem. Sistem adalah suatu perangkat yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, disebut komponen, yang menjalankan sejumlah fungsi dalam rangka mencapai suatu tujuan. Analisis sistem adalah penerapan metode ilmiah guna memecahkan masalah-masalah yang rumit dan interdisipliner di dalamnya. Tujuan (goal) dari sistem yang dianalisis harus dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan operasional yang terukur dan dapat dicapai (disebut objektif). Setiap objektif dari suatu sistem umumnya memiliki ukuran-ukuran efektivitas atau perbandingan keuntungan-ongkosnya sendiri. Suatu tipe kriteria atau persyaratan yang khusus untuk mematok tingkat terendah (atau tertinggi) dari performa sistem yang dapat diterima ditetapkan oleh otoritas / regulator sebagai objektif definitif, yang disebut sebagai standar.[20]
Standar, Regulasi, Kebijakan, dan Otoritas dalam Transportasi
Standar bagi suatu sistem transportasi umumnya ditetapkan dalam regulasi otoritas. Regulasi itu diwujudkan melalui suatu kebijakan (policy) dari pihak yang berkuasa atau berwenang sebagai prinsip pengarah atau langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai objektif sistem. Pelaksanaan standar atau regulasi itu tentu perlu dievaluasi, karena umpan balik dan pengendalian sangat diperlukan agar performa sistem efektif. Tindakan mengevaluasi status aktual dari suatu sistem dan menentukan arah perubahannya disebut sebagai penentuan kebijakan.[21]
Kebijakan terkait sistem itu pada akhirnya akan memberikan dampak terhadap manusia, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya, terutama pengguna langsung dari sistem itu. Hal itu karena terdapat konsep-konsep rumit yang membentuk keinginan dasar dan menggerakkan perilaku manusia sebagai pengguna sistem. Seiring perubahan pada sistem itu, insan yang berhubungan dengannya juga dapat mengalami perubahan nilai. Lebih jauh lagi, setiap kebijakan dalam merumuskan regulasi atau standar itu pasti dipengaruhi oleh nilai-nilai dari pihak yang menentukannya, baik itu nilai sosial, nilai budaya, nilai tamadun, dan lain-lain.[22]
Sisi Subyektif dan Paradigmatis dalam Keilmuan Transportasi
Meskipun studi sains dan teknik kontemporer selalu menekankan objektivitas, setiap keilmuan yang melibatkan manusia, sebagai makhluk yang memiliki sisi pandangan subjektif, tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang melandasi pemikiran manusia itu, termasuk dalam melakukan analisis sistem transportasi. Paradigma yang terbentuk dari nilai-nilai itu akan mempengaruhi cara penentu kebijakan dalam mengidentifikasi masalah-masalah dan nilai-nilai komunitasnya yang terkait dengan sistem itu. Seterusnya, paradigma itu akan memberi warna dalam proses penentuan tujuan, objektif, kriteria, standar, dan regulasi bagi sistem.[23]
Berbagai patokan itu pada gilirannya akan menuntun otoritas dalam merancang, mengkaji, dan memilih alternatif aksi. Pengujian terhadap objektif dan alternatif yang lama serta penentuan atau modifikasi objektif dan alternatif baru hingga keseluruhan perulangan analisis, sampai dihasilkan bentuk sistem yang dinilai paling tepat, juga tidak terlepas dari paradigma, nilai, asumsi, dan berbagai hal subjektif lainnya. Besarnya peran paradigma atau nilai-nilai dalam studi dan implementasi rekayasa transportasi itu akan semakin terlihat jika kita meninjau pergeseran paradigma transportasi dari paradigma lama yang berkutat pada motorisasi mekanis menuju paradigma baru yang berkelanjutan (sustainable transportation paradigm), multi-modal, dan lebih mementingkan manusia, komunitas, dan lingkungan.[24]
Dengan demikian, sistem transportasi dapat dipandang sebagai suatu pengejawantahan dari tatanan nilai suatu kelompok kecil penentu kebijakan, yang dapat mempengaruhi perkembangan tatanan nilai dari kelompok masyarakat yang lebih besar. Dengan kata lain, studi tentang transportasi, seberapa pun objektifnya, tetaplah sarat dengan nilai. Sains dan rekayasa transportasi dalam berbagai bentuknya tidaklah sepenuhnya netral, tetapi dijiwai oleh nilai-nilai, paradigma, dan pandangan hidup tertentu. Karena itu, penyelidikan terhadap hubungan struktural antara keilmuan transportasi, paradigma, dan pandangan alam itu perlu dilakukan. Untuk itu, akan diulas terlebih dulu hubungan sains dengan paradigma dan pandangan alam.
Hubungan Sains, Paradigma, dan Pandangan Alam
Penyelidikan tentang hubungan antara sains, paradigma, dan pandangan alam (worldview) ini penting dalam kaitannya dengan pengertian ketiga sains Islam. Definisi ketiga sains Islam ialah kajian mengenai perumusan program-program riset penelitian empiris, eksperimental, praktis dan produktif jangka panjang yang bertujuan memanifestasikan tata nilai ilmu dan tata nilai adab Islam dalam semua kegiatan sains dan teknologi dengan landasan dan kerangka kerja yang sesuai dengan pandangan alam Islam (the worldview of Islam, ru’yāt-l-Islām lil-wujūd), sekaligus menjelaskan implikasi epistemologis, metodologis, dan aksiologis yang terkait.[25] Secara lebih pragmatis, definisi ketiga sains Islam juga dapat dimaknai sebagai manifestasi pandangan alam dan paradigma Islam dalam upaya-upaya ilmiah, teknis, dan sosial untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang riil di dunia Islam serta memenuhi kebutuhan umat.[26]
Dengan demikian, cakupan definisi ketiga sains Islam berusaha menghubungkan aspek filosofis dengan aspek empiris-praktis dari sains, sebagaimana juga terdapat dalam kajian filsafat sains Barat. Di antara berbagai mazhab filsafat sains Barat, yang paling selaras dengan pendekatan Islamisasi sains yang dikembangkan oleh Naquib al-Attas dan para muridnya, setidaknya menurut Adi Setia dan Hamid Fahmy Zarkasyi, adalah filsafat sains Imre Lakatos, yang merupakan perpaduan dan modifikasi konsep falsifikasi Karl Popper dan paradigma Thomas Kuhn, dan menawarkan jalan tengah antara mazhab Popper yang terlalu objektif dengan paham Paul Feyerabend yang terlalu anarkis.[27] Kerangka struktur sains Islam yang diperoleh dari pengolahan atas model Lakatos itu lalu coba diterapkan untuk keilmuan transportasi.
Program Riset sebagai Satuan Sains
Dalam konsepsi Lakatos, unit deskriptif dari sains dalam suatu falsifikasi bukanlah hipotesis tunggal seperti yang dipahami oleh Popper, melainkan suatu program riset (research programme), yang merupakan suatu paket prinsip, hukum, teori, dan hipotesis dalam suatu bidang sains. Sains terdiri atas kumpulan program penelitian yang masing-masing memiliki struktur yang berpusat pada suatu inti keras. Inti keras terdiri dari prinsip atau hukum dasar tertentu yang tidak dapat diubah dan dilindungi dari sanggahan oleh suatu sabuk pelindung yang tersusun atas teori-teori dan hipotesis-hipotesis bantu. Sabuk pelindung menghubungkan inti keras dengan data pengamatan serta serangkaian metodologi dan interpretasi atasnya. Kumpulan struktur semacam itu membentuk program riset, yang selanjutnya secara kumulatif membentuk suatu bidang sains.[28]
Gambar 2. Struktur Konsentris Program Riset Sains Islam.
Dengan struktur tersebut, inti keras tidak diuji secara langsung ketika para ilmuwan melakukan pengamatan dan menemukan data yang menjadi anomali bagi inti keras program risetnya. Sebaliknya, para ilmuwan mencoba mencari tahu bagaimana inti keras dapat dibuat kompatibel dengan pengamatan dengan memodifikasi sabuk pelindungnya. Tidak ada pengamatan yang bisa memberikan falsifikasi pada inti keras, karena dengan sendirinya inti keras tidak memprediksi apa pun. Untuk membuat prediksi empiris darinya, kita memerlukan berbagai hipotesis bantu dalam sabuk pelindung untuk menghubungkannya dengan realitas empiris.[29]
Misalnya, saat kita mendapatkan hasil pengamatan yang bertentangan dengan teori, kita menghadapi argumen modus Tollens. Premis pertamanya adalah, jika inti keras plus sabuk pelindung benar, kita akan menghasilkan pengamatan “A”. Jika hasil amatan bukan “A”, berarti prediksi salah, sehingga premis “inti keras dan sabuk pelindung” salah. Kita lalu menghadapi pilihan yang mana dari konjungsi ini yang akan kita tolak. Kita bisa menolak inti keras atau kita bisa menolak sabuk pelindung. Di sinilah suatu program riset mewujudkan heuristis negatif yang menginstruksikan para ilmuwan untuk tidak memodifikasi inti kerasnya. Modifikasi dilakukan sebatas sesuai dengan heuristis positif, yang mendorong kita untuk memodifikasi sabuk pelindung dan mempertahankan inti keras.[30]
Perbandingan Model Lakatos dengan Falsifikasi Popper dan Paradigma Kuhn
Ide Lakatos tentang ‘program riset’ ini sebenarnya mirip dengan konsep ‘paradigma’ Kuhn dalam pengertian yang lebih luas, tapi kunci konsepnya berbeda: terdapat lebih dari satu program riset dalam suatu bidang sains pada suatu periode sains normal. Proses ilmiah dalam skala besar dapat dimaknai sebagai suatu kompetisi antara paradigma-paradigma yang berbeda tersebut untuk menjadi paradigma yang disepakati secara luas dan menggeser paradigma lama (paradigm shift). Namun, berbeda dari Kuhn yang menganggap bahwa peralihan paradigma anutan terjadi secara irasional, Lakatos memandang bahwa peralihan dari satu program riset ke program riset lain terjadi bila program riset yang baru itu mampu mengakomodasi anomali dengan lebih baik.[31]
Dibandingkan dengan falsifikasi Popper, konsep Lakatos tentang peralihan riset program dan akomodasi anomali lebih sesuai dengan praktik riil sains. Hal itu karena penolakan terhadap suatu teori tidak didasarkan pada perbandingan amatan dengan hipotesis tunggal terisolasi, seperti pada falsifikasi Popper, tetapi didasarkan pada unit program riset, yang sampai tahap tertentu masih dapat mengakomodasi anomali-anomali dengan memodifikasi sabuk pelindung dari inti kerasnya. Selain itu, bagi Lakatos, pembuktian bahwa suatu teori bersifat ilmiah atau pseudo-ilmiah tidak bergantung pada apakah fakta-fakta amatan mendukungnya atau tidak. Suatu teori hanya dapat dikatakan ilmiah jika ia dapat memberikan suatu prediksi yang dapat diuji atau diamati dan dibuktikan.[32]
Relevansi Konsep Lakatos dengan Sains Islam
Irisan konsep sains Islam dan Islamisasi sains dengan filsafat sains Imre Lakatos terletak pada anggapan tentang struktur sains, bahwa ada unsur ‘kontemplatif’ dalam sains yang mempengaruhi cara saintis menafsirkan fakta empiris. Sebagian dari unsur itu bersifat dogmatis dan tidak dapat diubah. Dalam sains Islam, ia disebut pandangan alam (worldview), sementara Lakatos menyebutnya Hard Core (inti keras). Struktur terdalam itu ‘dihubungkan’ dengan fakta-fakta empiris oleh ‘lapisan tengah’ yang dapat dimodifikasi. Lakatos menyebutnya Protective Belt (Lapisan Pelindung), sementara dalam sains Islam, lapisan itu sejajar dengan konsep paradigma sains Kuhn.[33]
Selanjutnya, worldview of Islam berisi konsep-konsep paling dasar yang dirumuskan dari wahyu, yang meliputi konsep Tuhan, alam, ilmu, jiwa, manusia, adab, dan berbagai turunannya. Konsep-konsep pokok itu lalu diderivasi untuk merumuskan paradigma teoretis (meliputi aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, metodologi, retorika, dan lain-lain).[34] Dengan struktur yang demikian, penerapan modifikasi model program riset Lakatos dalam sains Islam itu akan dibahas dalam kesesuaiannya dengan arsitektur sistemologi tipikal dalam tradisi system building philosophy, di mana proses keilmuan dibagi menjadi empat tahapan: 1) systems philosophy, 2) systems science, 3) systems engineering, dan 4) systems implementation. Aspek worldview dan paradigma dicakup dalam tahapan filosofis dari sains dan menghasilkan prinsip-prinsip yang melandasi tahapan-tahapan berikutnya. Setelah itu, struktur sistemologi sains Islam itu akan diterapkan terhadap keilmuan transportasi.[35]
Sistemologi Posisi Transportasi dalam Struktur Sains Islam
Dalam upaya untuk melakukan Islamisasi sains — atau seminimalnya menggali filsafat sains Islam — yang terkait dengan bidang transportasi, berarti kita mesti menyepakati lebih dulu bahwa sains itu tidak netral. Sebaliknya sains itu dilandasi atau dirembesi oleh unsur-unsur kontemplatif filosofis berupa pandangan alam (worldview) dan paradigma (paradigm). Begitu pula, telah kita rumuskan hubungan antara sains, paradigma, dan pandangan alam itu dengan meminjam struktur program riset dari model Imre Lakatos dan sedikit mengubahnya dengan mengganti bagian Protective Belt dengan paradigma — mengadopsi konsep Kuhn — dan mengganti bagian Hard Core dengan pandangan alam — mengadopsi gagasan al-Attas. Hasilnya, kita dapatkan struktur program riset sains Islam yang berpusat pada konsep-konsep pokok atau prinsip-prinsip serta hukum-hukum paling mendasar dari pandangan alam Islam, yang lalu diturunkan ke dalam teori-teori dan hipotesis-hipotesis dalam paradigma sains Islam, yang lalu terhubung dengan hasil-hasil amatan dan eksperimen di ranah empiris.[36]
Kemudian, struktur yang demikian dapat kita tarik ke arah tahap implementasi dari program riset sains Islam itu, karena ia secara alami bersesuaian dengan proses penyelidikan ilmiah yang tipikal ada dalam suatu pembangunan sistem disiplin ilmiah (scientific field system building). Hal itu karena penyelidikan ilmiah (scientific endeavour), yang merujuk kepada urutan tipikal kegiatan dari disiplin-disiplin penyelidikan yang mencoba menempuh pendekatan ilmiah, membentuk suatu pola umum yang terdiri dari empat tahap: 1) Refleksi Filosofis (Philosophical Reflection), yang menghasilkan konsep-konsep dasar dan model-model paradigmatis yang melandasi suatu riset; 2) Riset Saintifik (Scientific Research), yang menghasilkan pengetahuan yang cenderung bersifat empiris, praktis, dan eksperimental; 3) Perancangan Sosial-Teknis (Socio-Technical Design), yang melahirkan desain dan prototipe produk-produk sosial maupun teknis yang diharapkan bermanfaat dalam menyelesaikan masalah riil; dan 4) Intervensi, di mana rancangan produk yang telah diperoleh diterapkan untuk menjadi solusi bagi berbagai permasalahan riil di lapangan.[37]
Gambar 3. Keluaran Tipikal dari Tahapan-tahapan Penelitian Ilmiah.
Tahapan proses keilmuan yang semacam itu telah mengakomodasi struktur konsentris program riset sains Islam sebelumnya, di mana aspek worldview dan paradigma terletak di tahap 1), sementara aspek riset empiris — dengan sendirinya juga sistemis-programatis — berada di tahap 2). Tidak hanya itu, urutan proses keilmuan tersebut juga menyinggung aspek implementasi dari hasil riset sainsnya, lebih ‘maju’ dari struktur program risetnya, yang baru bersifat teoretis atau epistemis. Selain itu, pola urutan proses keilmuan ini bersifat tipikal, sehingga dapat berinteraksi dengan semua jenis sains modern yang cenderung ditarik ke arah praktis sebagai techno-science, baik di bidang eksak-natural maupun sosial. Dengan demikian, dalam berbagai disiplin sains yang berbeda pun, jenis aktivitas dalam setiap tahapan proses riset sistemis ini didukung oleh metode-metode dan prinsip-prinsip yang mirip. Kemiripan lintas disiplin dari prinsip, metode, dan tipologi hasil dari setiap tahapan ini, menimbulkan benang merah keterkaitan yang mengklasifikasikan gugusan spesialisasi yang sama ke dalam bidang-bidang disipliner dari suatu sistem keilmuan.[38]
Masing-masing bidang tersebut lalu memiliki fokus pengembangan prinsip dan metode yang berbeda, tapi setiap disiplin sains terlibat dengan semua tahapan proses tersebut. Misalnya, disiplin transportasi memiliki elemen praktis (instruktur bekerja di perusahaan kontraktor yang membangun infrastruktur transportasi), elemen rekayasa (insinyur mengembangkan berbagai desain mobil, kapal, atau pesawat di industri manufaktur), elemen sains (insinyur melakukan riset teknologi terkait transportasi di laboratorium atau universitas), dan elemen filosofis (insinyur bekerja di badan otoritas terkait transportasi yang menetapkan regulasi atau standar terkait keselamatan transportasi, etika rekayasa, atau hal lain berdasarkan suatu paradigma tertentu), sehingga setiap praktisi dalam suatu disiplin ilmu dapat melakukan spesialisasi pada salah satu tahapan dalam proses penyelidikan dari bidang keilmuan tersebut. Namun, secara umum setiap praktisi dalam suatu bidang ilmu akan terlibat dengan semua dimensi tahapan proses keilmuan tersebut, hanya saja tingkat aktivitasnya akan berbeda sesuai spesialisasi yang ia tekuni, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 1.[39] Praktisi dari masing-masing bidang tahapan tentu memiliki fokus aktivitas yang tersendiri. Filsuf sains Islam (seperti al-Attas, Nasr, al-Faruqi, dan Zardar) tentu lebih berkutat dengan aspek filosofis dari sains Islam. Praktisi di tahap sains dari sains Islam tentu lebih fokus pada riset yang terkait dengan definisi ketiga dari sains Islam (program riset empiris, praktis, dan eksperimental). Sementara itu, insinyur, pembuat kebijakan publik, dan sejenisnya akan lebih fokus dengan ranah engineering dan implementasi dari sains Islam.
Gambar 4. Perbandingan Porsi Aktivitas Tipikal dalam Tahapan-tahapan Disiplin Ilmiah.
Dari sini, kita melihat bahwa setiap tahapan dalam proses bidang keilmuan tersebut — dari tahap filsafat, sains, rekayasa, dan praktik — memiliki spesialisasi, peran, dan keluaran masing-masing, tetapi saling terhubung dan tidak terpisahkan lewat landasan dan prinsip-prinsip umum yang terkait antar setiap tahapnya. Setiap fase dalam proses keilmuan itu bertumpu pada pencapaian tahap sebelumnya. Hasil fase sebelumnya diolah menjadi prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk mengembangkan metode bagi fase berikutnya. Misalnya, konsep-konsep pokok yang dielaborasi dalam tahapan filosofis (worldview dan paradigma) dapat digunakan untuk derivasi prinsip-prinsip riset sains; teori-teori penjelas yang diperoleh dari riset sains dapat diolah menjadi prinsip-prinsip penjelas yang, selain dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena empiris, juga dapat dikembangkan menjadi prinsip-prinsip desain yang dapat digunakan oleh perekayasa untuk membangun rancangan produk, baik teknis maupun sosial. Hasil-hasil desain dari tahapan engineering, dapat digunakan untuk derivasi prinsip-prinsip aplikasi dan intervensi yang dapat digunakan pada tahapan praktis, termasuk lapangan yang berpengaruh luas dalam kehidupan publik dan lingkungan hidup. Pengolahan dan operasionalisasi prinsip secara berurutan pada setiap fase itu dapat digambarkan dalam Gambar 5.[40]
Gambar 5. Arsitektur Sistemologi Sains.
Dengan struktur yang demikian, dapat dikatakan bahwa setiap tahapan membentuk prinsip yang melandasi tahapan berikutnya dan setiap tahapan memiliki prinsipnya sendiri. Metode-metode falsafi bergantung pada prinsip-prinsip. Keberadaan solusi dunia fisik dan sosial juga dapat diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip ini menghubungkan penyelidikan suatu disiplin ilmu dengan realitas dan tatanan kemasyarakatan. Lalu, setiap tahapan dari suatu bidang keilmuan mewarisi prinsip-prinsip yang dihasilkan dari fase sebelumnya, juga prinsip-prinsip dan metode-metode yang menghasilkan keluaran dari bidang itu, sehingga terdapat pembangunan kumulatif prinsip dan metode dari tahapan sebelumnya ke tahapan berikutnya, dari fase yang lebih metafisik ke fase yang semakin empiris. Namun, tidak jarang juga penyelidikan dalam suatu disiplin ilmu bermula dari tahap yang lebih kanan (lebih fisis dan praktis) ke tahap yang lebih kiri (semakin metafisik dan kontemplatif), yang disebut sebagai proses desain heuristis.[41]
Sebenarnya, kedua arah itu, jalur saintifik dan jalur heuristis, dapat digunakan dalam upaya perumusan sains Islam. Jalur heuristis dapat digunakan untuk meninjau implementasi praktis dan engineering suatu produk sains, lalu berlanjut ke evaluasi program riset sains, terus ke ranah filosofis untuk mengevaluasi elemen-elemen disiplin sains yang berasal dari pandangan alam yang sekuler dan bertentangan dengan pandangan alam Islam, untuk kemudian diisolasi, dicabut, dan dicarikan alternatifnya dari sumber Islam; suatu proses yang dikenal sebagai desekularisasi sains atau dewesternisasi sains. Sementara itu, jalur ilmiah yang diawali dari bidang filosofis (mencakup worldview, paradigma, prinsip dasar sains, dan underlying thoughts) dan berujung ke ranah engineering dan praktis, merupakan suatu upaya Islamisasi sains, yaitu memasukkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan berbagai unsur Islam ke dalam sains kontemporer.[42]
Sementara itu, dalam upaya membangun suatu sistemologi filsafat sains Islam tentang transportasi, yaitu suatu system building philosophy, kita akan mengambil jalur ilmiah dari proses di atas, mengingat kita perlu memetakan di mana kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains. Secara berurutan, keluaran dari satu tahapan bidang dalam proses keilmuan itu menjadi masukan bagi tahapan bidang berikutnya. Sementara itu, masukan bagi tahapan pertama, falsafah sains Islam, adalah dua jenis realitas, yaitu realitas yang diketahui dari wahyu (āyāt qawliyyah) dan realitas rasional serta empiris yang diketahui dari perenungan akal dan pengamatan alam (āyāt kawniyyah), di mana realitas wahyu menjadi penyusun utama pandangan alam yang menjadi prisma atau kacamata penafsiran dalam memandang realitas rasional dan empiris.[43]
Termasuk dalam realitas rasional-empiris itu keadaan-keadaan yang nantinya dipandang sebagai permasalahan (problem), tantangan (challenge), perhatian (concern), kesempatan (opportunity), dan minat/kepentingan (interest) yang terkait dengan disiplin keilmuannya. Perbedaan pandangan alam dan paradigma tentu menimbulkan perbedaan dalam memandang hal-hal tersebut, khususnya bila pandangan Islam atasnya bersumber dari wahyu, yang tidak terdapat pada pandangan sekuler. Selanjutnya, semua masukan itu diolah dalam proses keilmuan tersebut dan ujungnya menghasilkan resolusi dan mitigasi permasalahan lapangan, baik teknis maupun sosial, yang juga berpangkal pada kekhasan pandangan alam dan paradigmanya.[44]
Untuk lebih menyesuaikan konstruksi sistemologis dari proses keilmuan itu dengan struktur sains Islam yang merupakan modifikasi, adaptasi, dan kombinasi dari struktur model program riset sains Imre Lakatos, konsep paradigma Thomas Kuhn, dan konsep worldview al-Attas, kita akan memecah tahapan filosofis menjadi tahapan kajian worldview dan tahapan kajian paradigma. Terdapat dua pendapat dalam memandang hubungan pandangan alam dengan paradigma ini. Ada yang memosisikan pandangan alam lebih mendasar dari paradigma dan ada yang memosisikan paradigma lebih mendasar dari pandangan awal.
Pendapat yang pertama menempatkan pandangan alam lebih di pusat dalam diagram lingkaran program riset sains di atas atau lebih awal / di kiri dalam diagram alur proses keilmuan. Pendapat kedua mengartikan paradigma itu sebagai pandangan alam yang telah meraih dominasi atau disepakati oleh kalangan yang luas dalam komunitas ilmiah dalam suatu periode tertentu. Dalam hal ini, kita menganggap bahwa pandangan alam lebih mendasar dari paradigma, karena pada pemaknaan paradigma itu, ia merupakan gugusan teori pokok yang masih dapat berubah atau dimodifikasi, sehingga selevel dengan konsep sabuk pelindung. Sementara itu, pandangan alam berisi konsep-konsep prinsipiil yang tidak dapat diubah, yang bisa saja mencakup gugusan hukum dasar dalam sains dan secara dogmatis ia tidak dapat diubah tanpa ‘murtad’ dari program riset itu dan beralih ke program riset lain, sehingga pandangan alam ini setingkat dengan konsep inti keras.
Dalam diagram proses itu pun, baik pendapat pertama maupun kedua akan sama-sama menempatkan worldview lebih di kiri / di awal daripada paradigma, tidak peduli mana yang dianggap lebih mendasar. Hal itu karena pendapat pertama telah jelas menganggap pandangan alam lebih mendasar dari paradigma, sehingga pasti lebih awal dalam proses tersebut, sehingga hasil tahapan prosesnya dapat menjadi masukan bagi tahapan proses paradigma atau pandangan alam itu diderivasi menjadi paradigma. Sementara itu menurut pendapat kedua, secara kronologis tahap pandangan alam akan terjadi lebih dulu dibandingkan tahap paradigma. Hal itu karena pendapat kedua menganggap bahwa paradigma itu berasal dari pandangan alam yang telah diformalkan, atau yang telah memenangkan persaingan di antara pandangan-pandangan alam yang berbeda yang dianut oleh berbagai kelompok saintis dan telah menjadi pandangan alam yang dominan, disepakati oleh mayoritas kalangan saintis atau jumhur dalam periode waktu tertentu. Meskipun pendapat kedua ini menganggap bahwa paradigma lebih mendasar dari pandangan alam, tetapi paradigma itu tetap diposisikannya sebagai hasil susunan formal yang disepakati dari gabungan elemen-elemen berbagai pandangan alam yang berbeda yang diramu membentuk gugusan pemahaman dasar dalam eksemplar sains pada periode sains normal, mengacu kepada tahapan dalam proses revolusi saintifik Thomas Kuhn.
Dengan demikian, pandangan alam dan paradigma itu dicakup oleh tahapan proses filosofis dalam diagram proses keilmuan tersebut, dengan pandangan alam berposisi lebih awal dari paradigma. Sejatinya, untuk mengatakan bahwa tahapan filosofis itu mencakup juga pandangan alam Islam tidaklah sepenuhnya tepat, karena worldview yang dipahami dari pandangan alam Islam tidaklah hanya mencakup unsur-unsur kontemplasi pemikiran filosofis; atau bahkan justru pandangan alam Islam itu tidak bersumber kepada pemikiran filosofis. Pandangan alam Islam itu bersumber kepada wahyu, di mana pada penafsirannya, dapat digunakan kontemplasi pemikiran filosofis. Akan tetapi, tetap wahyulah yang menjadi sumbernya, sehingga kontemplasi filosofis yang dihasilkan bersifat menjelaskan, menguraikan, menerangkan, mengelaborasi, melakukan derivasi, membuktikan, memberikan dukungan, dan seterusnya terhadap konsep-konsep seminal pokok yang dikandung oleh wahyu. Dengan begitu, dalam penggambarannya pada arsitektur sistem proses keilmuan ini, wahyu itu menjadi sumber dari proses filosofis; dan dalam Islam pula wahyu itu memiliki kedudukan sebagai realitas, paralel dengan alam semesta sebagai realitas yang diciptakan, ayat-ayat dalam bentuk kawniyyah; Quran adalah realitas yang diwahyukan, ayat-ayat dalam bentuk qawliyyah, sedangkan sunah Nabi Muhammad SAW (yang mencakup perkataan / qawl, perbuatan / fiʿl, dan persetujuan-dalam-diam / takrir) adalah teladan mendetail manifestasi dan implementasi wahyu dalam berbagai lapangan kehidupan.[45]
Dengan demikian, bidang-bidang tahapan dalam proses keilmuan suatu disiplin ilmu menjadi: 1) tahap worldview, 2) tahap paradigma, 3) tahap sains, 4) tahap engineering, dan 5) tahap implementasi. Masing-masing memiliki metode, aktivitas, cakupan, dan hasil kajian spesifiknya. Dalam tahap kajian worldview, karena sumber masukannya ada dua (realitas wahyu dan realitas rasional-empiris), metode kajiannya meliputi metode-metode kajian wahyu dan metode-metode kajian realitas rasional-empiris. Dari kajian wahyu itu, akan didapatkan konsep-konsep pokok yang menyusun bangunan pandangan alam Islam, termasuk konsep Tuhan, wahyu, alam dan penciptaan, ilmu, manusia dan jiwa, Din, kebebasan, masyarakat, nilai dan kebajikan, kebahagiaan, dan lain-lain.[46]
Gambar 6. Posisi Keilmuan Transportasi dalam Struktur Sains Islam.
Dari konsep-konsep pokok worldview itu, dapat dikembangkan konsep-konsep turunan yang terkait dengan transportasi dan perjalanan, dan darinya dapat dikembangkan paradigma keilmuan transportasi yang bersumber dari atau sesuai dengan nilai-nilai Islam, baik dari aspek epistemologi, ontologi, aksiologi, kehalalan, maupun berbagai aspek paradigmatis yang lain. Secara bersamaan, berbagai paradigma transportasi yang telah berkembang dalam sains kontemporer, seperti sustainable transportation paradigm, integrated multi-modal paradigm, dan lain-lain, dapat ditinjau dan dibandingkan dengan perspektif Islam yang diperoleh dari kajian worldview dan paradigma tadi, sehingga unsur-unsur yang tidak sesuai atau bertentangan dengan pandangan alam Islam dapat diisolasi dan diperoleh paradigma transportasi kontemporer yang sudah disaring yang siap menjadi bahan baku untuk pengembangan paradigma transportasi Islam. Dari paradigma keilmuan transportasi Islam itulah akan diperoleh kerangka landasan dan panduan untuk mengembangkan keilmuan transportasi yang sesuai dengan pandangan alam Islam.
Mengingat transportasi merupakan suatu lapangan yang lintas-disiplin, penting untuk melihat kembali bagian tulisan sebelumnya mengenai “Posisi Transportasi dalam Sains Kontemporer”, untuk merumuskan kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains. Dapat disederhanakan bahwa keilmuan-keilmuan yang terkait dengan transportasi dapat digolongkan ke dalam keilmuan eksak-teknis (sains keras) dan keilmuan sosial (sains lunak). Keilmuan eksak teknis transportasi misalnya meliputi Teknik Sipil, Teknik Transportasi, Teknik Arsitektur, Teknik Perkapalan, Teknik Dirgantara, Teknik Mesin, Teknik Perkeretaapian, Planologi, Teknik Material, Teknik Lingkungan, dan lain-lain. Dalam kelompok keilmuan sosial ada Manajemen Transportasi dan Logistik (juga Manajemen secara umum), Geografi, Ekonomi dan Bisnis, Sosiologi, Psikologi, Hukum, Administrasi, Pemerintahan dan Tata Negara, Hubungan Internasional (untuk transportasi lintas negara), Adab dan Etika, Seni Rupa dan Desain, dan lain-lain. Masing-masing keilmuan itu tentu memiliki paradigmanya sendiri, tapi yang perlu difokuskan dalam program riset ini adalah yang terkait dengan transportasi.
Selanjutnya, tahapan bidang engineering dan implementasi-praktis dari keilmuan transportasi juga luas dan rumit, dan sebagiannya bahkan bersifat spesifik terhadap cakupan wilayah geografis tertentu, maka kajian tentangnya memerlukan data, waktu, dan sumbangan pemikiran yang banyak, sehingga mustahil dicakup secara komprehensif dalam artikel ini. Namun, dalam upaya ini, setidaknya akan dicoba untuk menghadirkan beberapa aspek yang dirasa penting. Dalam tahapan bidang engineering terkait transportasi, terdapat aspek desain dan rekayasa teknis (yang terkait dengan keilmuan-keilmuan yang bersifat eksak-teknis); aspek ekonomi, manajemen, dan bisnis (termasuk kehalalannya, seperti dalam mekanisme pengadaan armada entah itu melalui pembelian, leasing, atau lainnya); aspek personal dan sosial; aspek administrasi, legal dan geopolitik; dan aspek etika dan estetika.
Dalam tahapan bidang implementasi-praktis atau eksekusi, terdapat aspek penentuan kebijakan; aspek pembangunan sarana-prasarana transportasi (pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta api, rest area, perangkat elektronik, telekomunikasi, informasi, dan sebagainya); aspek perusahaan swasta penyedia layanan transportasi; aspek BUMN (dalam kasus Indonesia, transportasi terkait dengan BUMN, mungkin berbeda untuk negeri Muslim yang lain); aspek regulasi, standar, sertifikasi, dan badan otoritas transportasi; aspek organisasi desain (yang merancang dan memproduksi armada transportasi, seperti manufaktur pesawat, kapal, mobil, dan kereta api); aspek organisasi perawatan (maintenance organization); aspek bisnis-bisnis penunjang transportasi; dan lain-lain. Diperlukan penelitian dan kajian lebih lanjut mengenai agenda dari dua tahapan terakhir ini.
Dengan demikian, diperoleh suatu diagram yang menunjukkan kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains yang mengambil inspirasi dari struktur sains Islam dengan memodifikasi dan mengombinasikan antara model program riset sains Imre Lakatos, model paradigma Thomas Kuhn, dan konsep worldview Naquib al-Attas, ditambah dengan inspirasi dari arsitektur sistemologi yang terdapat dalam system building philosophy sebagaimana terdapat pada Gambar 6. Diagram sistemologis ini masih mentah dan dangkal, sehingga diperlukan kajian lanjutan. Namun, peta ini tetaplah suatu bekal yang baik untuk memosisikan konsep-konsep transportasi yang perlu kita gali dari sumber-sumber internal Islam dan kita gunakan untuk mengevaluasi keilmuan transportasi kontemporer.
Peta proses keilmuan itu juga dapat menjadi bekal untuk memetakan hubungan antara sistem fisik-sosial — termasuk sistem transportasi di dalamnya — dengan sistem metafisik. Pemetaan itu penting untuk dilakukan kemudian mengingat kesadaran dasar dari upaya Islamisasi sains itu sendiri bahwa seluruh makhluk diciptakan oleh Allah SWT untuk memenuhi suatu kadar tatanan tertentu dan bahwa manusia merupakan representasi mikrokosmis dari makrokosmos yang wajib memosisikan dirinya secara adil dalam suatu tatanan Din. Gagasan tentang tatanan itu bersesuaian dengan asumsi prinsip sistem dalam sistemologi sains yang menganggap bahwa setiap hal yang ada di alam ini merupakan suatu sistem dan bagian dari sistem yang lebih besar, dan bahwa semua sistem itu dalam suatu hierarki kompleks di mana setiap tingkatannya mewakili suatu kerumitan dan dapat diurutkan dari tingkat yang paling sederhana sampai tingkat yang paling tinggi. Hanya saja, sistemologi sains Barat tidak mengakui adanya level metafisik dalam hierarkinya, sementara sains Islam mengakui adanya level realitas metafisik dibalik lapisan fisik-sosial yang ada dan bahkan menganggap tingkatan metafisik itu lebih tinggi daripada tingkatan fisik-sosial. Sistemologi sains Barat saat ini baru mengenal sistem mikro-fisik (micro-physical systems), sistem kimiawi, sistem makro-fisik (macro-physical systems), sistem biologis, sistem sosial, dan sistem sosio-teknis. Sementara itu, pembahasan mengenai sistem metafisik Islam banyak terdapat dalam kajian “ilmu tradisional Islam”, seperti falsafah, kalam, tasawuf, dan fikih, sehingga hubungannya dengan sistemologi sains kontemporer belum dipetakan dengan baik. Dengan begitu, menjelaskan peta hubungan antara sistem fisik-sosial — termasuk sistem transportasi di dalamnya — dengan sistem metafisika Islam itu merupakan tugas yang mesti ditindaklanjuti.
Agenda Riset ke Depan
Setelah kedudukan keilmuan transportasi dalam struktur sains Islam dirumuskan, berikutnya agenda riset ke depan perlu direncanakan. Tentu tulisan singkat ini tidak dapat memberikan perencanaan yang komprehensif dan detail. Namun, artikel ini tetap berusaha mengetengahkan agenda riset yang dianggap urgen bagi setiap tahapan dalam diagram alur pembentukan ilmu tersebut, yaitu agenda tahap worldview, agenda tahap paradigma, agenda tahap sains, serta agenda tahap rekayasa (engineering) dan agenda praktis. Bersamaan dengan perencanaan itu, prosedur penggalian konsep seminal transportasi dari dalam sumber internal Islam serta perbandingannya dengan konsep yang relevan dalam sains kontemporer juga akan diajukan.
Agenda Tahap Pandangan Alam
Berdasarkan diagram posisi transportasi dalam struktur sains Islam pada Gambar 6, pandangan alam Islam (the worldview of Islam) diperoleh dari sumber-sumber internal Islam, yaitu Quran dan Hadis, dengan bantuan elaborasi atau penjelasan dari karya-karya tulis ulama dan intelektual Muslim zaman dulu dan kontemporer. Konsep-konsep seminal yang terkait dengan transportasi dalam ayat-ayat Quran dan kitab-kitab Hadis perlu diteliti, terutama yang memuat bahasan tentang hewan tunggangan, kapal, perjalanan, dan hal-hal yang terkait. Nilai-nilai dan aspek-aspek yang ada padanya harus disarikan agar dapat disusun membentuk struktur bangunan konsep pandangan alam Islam tentang transportasi, perjalanan, dan segenap realitas yang terkait dengannya. Struktur konsep pokok itulah yang nantinya dapat digunakan untuk merumuskan paradigma Islam tentang keilmuan transportasi dan melakukan penilaian serta penyaringan atas konsep-konsep transportasi sains kontemporer.
Gambar 7. Alur Proses Penggalian Konsep dari Wahyu dalam Sains Islam.
Dengan mengadopsi alur proses penggalian konsep seminal sains dari sumber internal Islam yang diajukan oleh [] Yongki Sutoyo, ditentukanlah empat tahapan dalam agenda riset tahap worldview dengan fokus sumber internal Islam sebagai berikut:
1. Tahapan Deskripsi: Tahapan ini dimulai dari penentuan topik dan sub-topik riset; kemudian dilakukan pemilihan konsep-konsep kunci; lalu dilakukan pencarian konsep yang ekuivalen terhadap konsep-konsep kunci dari topik tersebut dalam sumber-sumber internal Islam, yaitu dalam Al-Quran, Hadis, dan karya para ulama.
2. Tahapan Definisi Leksikal: Selanjutnya, dari konsep-konsep ekuivalen dalam sumber internal Islam dan konsep-konsep kunci topik riset itu, disusunlah suatu gugusan definisi leksikografis (lexicographic definitions). Definisi yang telah dirumuskan oleh seorang periset dapat dikritisi oleh periset lain, sehingga dalam proses ini berlaku heuristis positif yang memungkinkan adanya perdebatan, perkembangan dan kesepakatan konseptual.
3. Tahapan Penyaringan: Setelah itu, dilakukan komparasi / perbandingan definisi terminologis dengan peristilahan yang terdapat dalam diskursus sains kontemporer. Jika hasil perbandingan itu positif (menunjukkan kecocokan antara sumber Islam dengan sains kontemporer), konsep sains kontemporer tersebut langsung dapat dikonseptualisasi atau diformulasi ke dalam struktur sains Islam, agar kemudian dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap konsep itu. Jika hasil perbandingan itu negatif total (menunjukkan pertentangan total antara sumber Islam dengan sains kontemporer), konsep sains kontemporer tersebut mesti ditolak. Jika hasil perbandingan itu negatif sebagian (menunjukkan perbedaan atau pertentangan sebagian antara sumber Islam dengan sains kontemporer), konsep sains kontemporer tersebut dapat dimasukkan lagi ke dalam looping dari tahapan-tahapan sebelumnya untuk dilakukan perbaikan.
4. Tahapan Justifikasi: Dalam tahapan ini, hasil-hasil komparasi yang menunjukkan kesesuaian positif dari tahapan berikutnya mengalami penelitian lebih lanjut sehingga dapat digunakan untuk menyusun teori-teori baru atau alternatif dan/atau solusi-solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam dan seluruh umat manusia. Selain itu, prinsip-prinsip yang dapat menjadi pandungan seorang Muslim menyikapi isu-isu kontemporer terkait transportasi juga dapat dirumuskan dari gugusan makna dan definisi yang telah dibangun itu.
Karena wahyu dan alam semesta ini memiliki kesejajaran mengingat keduanya sama-sama berkedudukan sebagai ayat-ayat Allah, maka berbagai macam karya atau kitab dan metode tafsir dan takwil Al-Quran yang sudah menjadi pakem dapat digunakan untuk membantu penggalian makna ini, dari tafsir dengan riwāyah dengan tafsir dengan dirāyah. Berbagai pendekatan yang dapat membantu menggali makna ayat dan konsep seminal terkait transportasi di dalamnya pun dapat digunakan, dari pendekatan fikih-legal-formal, tafsir ʿilmī, hingga pendekatan linguistik dan leksikal. Berbagai macam metode bantu seperti metode sintaksis, semiologi, semantik, dan tematik juga dapat digunakan. Tentu penggalian makna dan konsep seminal yang dilakukan tidak boleh keluar dari batasan tafsir dan takwil yang baku sehingga agar menghasilkan teori ilmiah yang kontradiktif.[47]
Ayat-ayat Quran yang berkenaan dengan transportasi serta konsep yang berpotensi relevan dengannya setidaknya dapat didaftar pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Sebagian Kata Kunci Terkait Transportasi dalam Al-Quran.
Tabel tersebut belum mencakup ayat-ayat tentang “perjalanan” yang jumlahnya juga cukup banyak, sehingga mesti dikumpulkan dalam daftar tersendiri. Belum lagi jika ada ayat yang luput dari perhatian penulis. Daftar dalam tabel itu bisa saja belum lengkap, mengingat keterbatasan hafalan penulis dan ruang artikel ini. Namun begitu, menurut hemat penulis, ayat Quran yang menjadi perhatian utama adalah Surah al-Ḥajj [22]: 27–29, karena memiliki cakupan aspek yang paling menyeluruh dari konsep seminal transportasi. Selain itu, surah al-Ḥajj bertemakan haji, ibadah yang sangat terkait dengan perjalanan dan transportasi. Ayat itu merangkum beberapa aspek transportasi termasuk aspek paradigma, manajerial, ekonomi, musiman (seasonality), geografi, sosial, dan moral-spiritual. Hubungan ayat tersebut dengan transportasi dapat dilihat dari sejumlah kata atau frasa kunci yang terkandung di dalamnya. Hal ini memerlukan ruang bahasan dalam tulisan lain.
Kajian Worldview dan Paradigma dalam Studi Transportasi Kontemporer
Selain kajian peran worldview dan paradigma dalam studi transportasi menggunakan sumber internal Islam, kajian peran worldview dan paradigma studi transportasi dalam sains Barat kontemporer yang menggunakan sumber eksternal juga perlu dilakukan. Hal itu karena tinjauan worldview dalam riset saintifik tidak hanya menjadi kepentingan sains Islam, tetapi juga dilakukan sampai tahap tertentu dalam sains Barat kontemporer, yang disebut oleh mereka sebagai pendekatan “postnormal science”, yaitu penambahan judgements nilai yang subjektif (soft sciences) terhadap fakta-fakta saintifik dari “hard sciences”. Dengan kajian terhadapnya, kita dapat mengetahui karakteristik worldview dan paradigma keilmuan transportasi yang menjadi arus utama dalam sains kontemporer, agar kemudian kita dapat melakukan evaluasi, penyaringan, perbaikan, dan pengembangan atasnya.
Kajian worldview terkait transportasi dalam studi sains kontemporer itu misalnya dapat dilihat dalam Paper Frank Chuang, Ed Manley, dan Arthur Petersen, The role of worldviews in the governance of sustainable mobility, yang mengkaji peran berbagai kategori worldview dalam mempengaruhi sikap individu dan masyarakat atas kebijakan dan isu transportasi berkelanjutan. Sebaran worldview dalam sampel populasi diukur menggunakan suatu survei yang diturunkan dari Cultural Theory — suatu diskursus teoritis dan empiris tentang worldview yang diusulkan oleh Mary Douglas, antropolog-sosiolog Britania yang dianggap sebagai pengikut Emile Durkheim, seorang pengusung positivisme — dan model survei British Social Attitudes (BSA).[48]
Teori Kultural itu telah cukup luas digunakan dan berpengaruh dalam berbagai disiplin dan formulasi pemikiran sistem (system thinking), terutama dalam antropologi, sosiologi, ekonomi, komunikasi, semiotika, dan berbagai cabang keilmuan sosial yang terkait. Teori tersebut memostulatkan bahwa suatu worldview merupakan kombinasi dari bias kultural, hubungan-hubungan sosial, dan mitos tentang alam semesta (myth of nature). Dari sini tampak kecenderungan positivistik dari kajian dalam Paper tersebut, mengingat tidak dianggapnya wahyu sebagai komponen sumber worldview, ataupun jika dianggap, hanya menjadi bagian dari bias kultural dan mitos tentang alam.[49]
Selanjutnya, teori itu menganggap bahwa ketiga elemen worldview tersebut berkombinasi membentuk perspektif individu atas dunia natural yang dapat digolongkan menjadi empat jenis worldview atau way of life: egalitarianisme, hierarki, individualisme, dan fatalisme. Pembagian itu didasarkan atas dua dimensi hubungan sosial: grup (integrasi sosial) dan grid (regulasi sosial). Grup menentukan sejauh mana perilaku individu dibatasi oleh determinasi kelompok. Grid sejauh mana perilaku individu dibatasi oleh diferensiasi status atau peran. Setiap kategori worldview yang diusulkannya itu lalu mewakili basic beliefs yang mempengaruhi pemahaman, penilaian, preferensi, dan sikap seseorang atas dunia natural dan dunia sosial-politis.[50]
Dalam masyarakat egalitarian, keterikatan individu dengan unit sosialnya kuat, sementara keterikatannya dengan suatu tata-aturan lemah (high group, low grid atau dengan kata lain sifat komunal tinggi, sementara akidah dan syariatnya lemah). Seorang yang egalitarian memiliki ikatan sosial-komunal yang kuat, tapi cenderung menolak adanya stratifikasi atau hierarki, karena prinsip pandangan hidup mereka berkutat soal persamaan (equity dan equality). Tak jarang, mereka juga menggunakan jargon-jargon tambahan yang terkait dengan keragaman (diversity), pluralisme, toleransi, dan klaim pembelaan atas kelompok minoritas dan tertindas. Mereka bahkan tak segan bertindak represif kepada kelompok yang mereka anggap dapat membahayakan prinsip yang mereka usung itu, seperti kasus paradoks toleransi dalam kajian Karl Popper. Untuk memenuhi hasrat mereka akan “kesetaraan”, mitos alam kaum egalitarian menjustifikasi suatu pandangan bahwa alam itu labil dan rapuh, sedikit gangguan di dalamnya akan menyebabkan bencana. Mereka menganggap bahwa sumber daya alam atau yang lainnya tidak boleh dieksploitasi terus-menerus untuk menjaga kesetaraan intra dan antar generasi, sehingga paham environmentalisme berakar padanya.[51]
Selanjutnya kebudayaan hierarkis dicirikan dengan keterikatan sosial dan ketertiban aturan yang tinggi (high group, high grid atau ukhuwah kuat, akidah dan syariahnya juga kuat). Kaum hierarkis meskipun sama-sama memiliki cara hidup yang kolektif, tetapi — tidak seperti kaum egalitarian yang menginginkan kesetaraan yang total — mengakui adanya suatu keadilan yang menempatkan segala sesuatu pada kedudukan yang tepat tanpa harus menjadi sama, sehingga menghormati adanya struktur hierarki, wewenang otoritas, diferensiasi peran, harmoni tatanan, ketertiban hukum, keamanan, pengetahuan kalangan ahli, dan regulasi. Mereka memandang alam sebagai sesuatu yang boleh untuk diolah atau diubah dalam batasan tertentu, di mana selama ada dalam batasan perubahan itu, keadaan alam dapat kembali kepada homeostasis. Adalah kewajiban manusia, otoritas, atau pemerintah untuk mengatur agar garis batas antara natur normal dan abnormal dari pengolahan alam itu tidak dilanggar / dilewati.[52]
Lalu, dalam tatanan masyarakat individualis, kebebasan individu adalah prioritas tertinggi, sehingga batasan kelompok dan tata nilai aturan dibuat minimal (low group, low grid atau dengan kata lain kolektivitas rendah, akidah dan syariatnya juga rendah). Mereka menjunjung tinggi persaingan, kewirausahaan, dan pasar bebas untuk meraih target individu seluas-luasnya. Mereka memandang alam sebagai sesuatu yang kuat menghadapi tindakan rekayasa manusia, sehingga selalu dapat kembali kepada keseimbangan tak peduli seberapa jauh ia dieksploitasi. Dengan demikian, kaum individualis bersedia melakukan eksploitasi sumber daya apa pun demi mengejar pertumbuhan dan kemakmuran sosial-ekonomi.[53]
Terakhir, worldview fatalisme bercirikan keterikatan sosial yang rendah dan keterikatan tata nilai aturan yang tinggi (low group, high grid). Kaum fatalis dianggap oleh Teori Kultural sebagai pihak yang cenderung terisolasi atau teralienasi dari unit-unit sosial dan diregulasi secara ketat. Contoh yang diberikan oleh teori ini adalah orang-orang fakir yang sangat miskin, tunawisma, dan narapidana. Mereka dianggap memiliki pilihan hidup yang sangat terbatas. Kaum ini dianggap sering mengadopsi mitos alam yang memandang alam sebagai sesuatu yang berubah-ubah, sangat acak, atau tidak dapat diketahui sehingga tidak ada perencanaan atau proyeksi akan masa depan. Dalam studi Paper tersebut, kategori worldview ini tidak dimasukkan ke dalam analisis, karena mereka dianggap tidak memiliki konsekuensi dalam wacana transportasi berkelanjutan, mengingat sangat terbatasnya pilihan transportasi yang mereka miliki.[54]
Dari postulat Teori Kultural tentang kategori worldview itu, Paper tersebut mengajukan tiga hipotesis: 1) H1: Egalitarianisme — yang menjunjung kelestarian lingkungan, kontrol atas permintaan, dan tindakan hasil keyakinan batin — akan berkorelasi positif dengan isu-isu yang terkait dengan environmentalisme seperti pengurangan mobil, kebijakan pro-lingkungan, persepsi polusi udara, dan peralihan ke mobil rendah karbon. Individualisme akan berkorelasi negatif. Hierarki berkorelasi di antara keduanya, menekankan pada bagaimana teknokrasi mesti menghadirkan solusi di antara dilema-dilema perkembangan perkotaan; 2) H2: Hierarkis yang mengutamakan tatanan akan berkorelasi positif dengan penerimaan sosial sarana transportasi dan ketaatan pada peraturan lalu lintas; 3) H3: Individualisme yang menjunjung persaingan dan kebebasan akan berkorelasi positif dengan kekhawatiran tentang kemacetan lalu lintas, permasalahan transportasi yang mengancam waktu dan peluang; kaum hierarkis juga berkorelasi positif dengan keprihatinan atas kemacetan yang melambangkan ketidakteraturan.[55]
Postulat teori itu lalu ditindaklanjuti dengan survei menggunakan metode British Social Attitudes untuk menggolongkan kategori worldview dari responden dan sikapnya terhadap isu-isu kebijakan transportasi berkelanjutan. Hasil survei itu kemudian diolah menggunakan analisis faktor untuk melakukan reduksi dimensi dan penyederhanaan. Untuk memetakan pandangan sosial responden, dimensi pertama survei terdiri dari isu-isu tentang redistribusi pendapatan, kesetaraan, dan penghapusan perbedaan pendapatan, yang mewakili paham egalitarianisme. Dimensi kedua berisi isu tentang ketaatan pada otoritas, penghormatan terhadap nilai-nilai tradisional, dan penyensoran media, yang menggambarkan paham hierarki. Dimensi ketiga terdiri dari item mengenai pembatasan tunjangan pengangguran, kemandirian, dan pemotongan tunjangan kesejahteraan, yang mewakili individualisme.[56]
Setelah memetakan aspek pandangan sosial dari worldview responden, pertanyaan survei selanjutnya berisi sebelas isu terkait transportasi. Item isu 1–5 terkait dengan persoalan lingkungan untuk menguji hipotesis I: 1) Reduce car use (pengurangan penggunaan mobil), 2) Allow car use (perizinan penggunaan mobil), 3) Higher car tax (kenaikan pajak mobil), 4) Road price incentive (insentif jalan berbayar), dan 5) Fumes problem (masalah asap kabut). Lalu, item isu 6–8 terkait dengan persoalan tertib tatanan untuk menguji hipotesis II: 6) Unless others do, 7) Obey speed limit (kepatuhan batasan kecepatan dan peraturan lalu lintas secara umum), dan 8) Bike danger (isu keselamatan jalur sepeda). Selanjutnya, item 9) Congestion problem (persoalan kemacetan), yang berkaitan dengan fleksibilitas tata kota digunakan untuk menguji hipotesis III. Terakhir, terdapat item pertanyaan yang diperuntukkan khusus untuk pengguna mobil pribadi yang digunakan untuk menguji hipotesis I: 10) Reduce car travel (pengurangan perjalanan mobil) dan 11) Low-carbon car (mobil rendah karbon).[57]
Dari olahan hasil survei tersebut, didapati bahwa kategori worldview seseorang berpengaruh terhadap sikapnya atas isu-isu transportasi. Worldview berperan sebagai prinsip heuristik dalam pengambilan keputusan. Dari total responden, 40.9% egalitarian, 36.5% individualis, dan 22.6% hierarkis. Sesuai Hipotesis I, egalitarianisme berkorelasi positif dengan isu: 1) pengurangan mobil, 3) pajak mobil lebih tinggi, 4) insentif ongkos jalan, 5) masalah asap, 10) pengurangan perjalanan mobil, dan 11) mobil rendah karbon. Individualisme menunjukkan pola kebalikan dari egalitarianisme terkait isu-isu Hipotesis I (environmentalisme), sementara hierarkis berada di tengah. Hasil isu 6) unless others do, 7) obey speed limit, dan 8) bike danger sejalan dengan Hipotesis II (soal tatanan), di mana kaum hierarkis berkorelasi paling positif. Untuk Hipotesis III (fleksibilitas & tata kota), kaum individualis & hierarkis berkorelasi positif dengan isu 9) masalah kemacetan yang membahayakan kebebasan pergerakan dan tata kota.[58]
Studi pemetaan worldview dan paradigma terhadap isu-isu transportasi semacam itu penting untuk dilakukan, selain untuk menangkap gambaran mengenai “seberapa Islamikah pandangan masyarakat Muslim?”, “isu-isu apa saja yang penting dalam studi dan kebijakan transportasi kontemporer?”, “apa saja masalah transportasi di dunia Islam?”, atau “seperti apakah aspirasi masyarakat Muslim terkait kebijakan transportasi?”, yang nantinya akan menjadi bekal penting untuk kajian tahap sains dan rekayasa, dengan melakukan pemetaan isu dan konsep transportasi dengan kecenderungan worldview serta paradigma aktual dari masyarakat serta berbagai konsep seminal yang diturunkan dari kajian wahyu, secara bertahap kita juga dapat mengidentifikasi kecenderungan konsepsi Islam mengenai pembangunan transportasi, terutama setelah menghubungkan pemetaan relevansi isu-isu transportasi kontemporer dengan prinsip-prinsip yang diperoleh dari tahapan kajian worldview dan paradigma. Hasil studi Paper yang diulas di atas misalnya, menggambarkan perbedaan pandangan atas prinsip keadilan dari kategori worldview egalitarianisme, individualisme, dan hierarki.
Dugaan awal yang dapat ditarik dari ulasan singkat ini adalah bahwa worldview of Islam lebih dekat dengan kategori worldview hierarkis (mengingat konsep Din, adab, dan mizan dalam Islam), sementara egalitarianisme dekat dengan pandangan hidup kolektivisme, yang secara sosial-politik bermanifestasi ke dalam berbagai varian paham sosialisme — baik sosialisme klasik yang bersifat revolusioner, seperti Marxisme, Leninisme, dan komunisme, maupun sosialisme reformis atau gradualis seperti social-liberalism atau sosialisme-demokrat kelompok Eduard Bernstein dan paham Critical Theory yang diusung oleh Mazhab Frankfurt. Hal itu karena prinsip keadilan dalam Islam dipandang menurut konsepsi wahyu tentang keseimbangan kadar (mīzān), keseimbangan tatanan makrokosmos alam, sistem tatanan Din, perjanjian ruh manusia dengan Allah, adab, dan seterusnya yang mewakili suatu pandangan hierarkis atas tatanan sistemis, di mana keadilan dimaknai sebagai penempatan segala sesuatu pada tempatnya. Konsepsi prinsip keadilan itu berbeda dari konsepsi egalitarianisme yang menganggap adil berarti sama rata dan konsepsi individualisme yang menganggap keadilan dijalankan dengan membebaskan individu menempuh jalan yang dikehendakinya masing-masing.[59] Tentu keseluruhan studi Paper ini dan dugaan kategorisasi di dalamnya itu perlu diteliti lebih lanjut berdasarkan berbagai prinsip yang diturunkan dari perspektif Islam.
Agenda Tahap Paradigma
Sebelum memasuki bahasan agenda riset tahap paradigma, perlu dicatat terlebih dahulu bahwa hubungan dan batasan definitif antara worldview dan paradigma saat ini masih belum jelas, mengingat berbagai usulan konsep tentangnya masih dalam tahapan pengkajian. Mengacu pada peta alur keilmuan yang dirumuskan di atas, diambil pendapat bahwa worldview lebih fundamental dari paradigma dan bahwa konsep-konsep pokok worldview itu — yang dalam kasus pandangan alam Islam dibangun dari konsep-konsep seminal yang ada dalam wahyu — menjadi landasan bagi prinsip, konsep, dan model paradigma sains. Namun, kedua tahapan riset tersebut dapat saling beririsan, mengingat sama-sama bersifat kajian filosofis. Hanya saja, bahasan kajian paradigma dianggap sudah lebih terstruktur secara konkret mengingat sudah adanya nama paradigma keilmuan yang terbentuk, seperti paradigma transportasi berkelanjutan, sementara bahasan kajian worldview lebih banyak berlangsung pada tataran konsep pokok pandangan realitas. Irisan keduanya dapat terjadi pada area konsep pokok pandangan realitas yang lebih bersifat terapan dan turunan, seperti konsep etika lingkungan dan etika rekayasa.
Agenda riset pada tahap ini dapat berjalan pada dua jalur, jalur ilmiah dan heuristis. Pada jalur ilmiah, konsep-konsep seminal pokok yang telah digali dari sumber-sumber internal Islam, utamanya Quran dan Sunah, digunakan untuk merumuskan paradigma Islam tentang transportasi. Selain itu, warisan karya tulis para ulama dan intelektual Muslim juga akan digali untuk merumuskan paradigma tersebut, misalnya kitab-kitab yang membahas tentang adab perjalanan, konsep-konsep maqāṣid ash-sharīʿah atau konsep turunannya yang terkait dengan transportasi dan perjalanan, catatan sejarah yang terkait pengelolaan transportasi haji — juga transportasi lain secara umum — sepanjang sejarah peradaban Islam, catatan rihlah yang memperlihatkan sistem transportasi dan jaringan jalan serta pelayaran di dunia Islam zaman dulu, catatan tentang bentuk-bentuk kapal dan perahu serta manajemen perjalanannya di dunia Islam (seperti buku Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam: From Mesopotamia to the Indian Ocean), catatan tentang jalur perdagangan, suplai dan logistik di dunia Islam masa lalu, dan karya-karya tulis lain yang terkait.
Sementara itu, lewat jalur heuristis, berbagai paradigma studi dan keilmuan transportasi kontemporer yang telah dan sedang berkembang akan dikaji untuk selanjutnya dievaluasi apakah bertentangan atau tidak dengan nilai-nilai Islam. Paradigma-paradigma keilmuan transportasi kontemporer yang selaras atau minimal tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat diserap, disesuaikan, diperkaya, dan dikembangkan untuk merumuskan suatu paradigma riset sains Islam tentang bidang-bidang keilmuan transportasi. Paradigma baru inilah nantinya yang akan menghubungkan tahapan worldview dengan komponen-komponen atau aspek-aspek keilmuan transportasi pada tahapan saintifik dalam bagan struktur sains Islam tentang transportasi pada Gambar 6 di atas. Buku-buku rujukan keilmuan transportasi dari berbagai cabangnya juga perlu dikaji, baik yang ditulis oleh penulis non-Muslim, maupun penulis Muslim. Selain itu, dokumen-dokumen regulasi dan kebijakan terkait transportasi dari berbagai badan otoritas dan perencana juga perlu dikaji, karena memuat paradigma perumusnya.
Berbagai paradigma keilmuan transportasi kontemporer yang cenderung menjadi arus utama saat ini seperti paradigma transportasi berkelanjutan (sustainable transportation paradigm), paradigma transportasi multi-modal terintegrasi (integrated multimodal transportation), paradigma transportasi inklusif (inclusive transport paradigm), paradigma seamless transport (smart seamless, competitive seamless, dan integrated seamless), dan sebagainya mesti dikaji dan ditelaah dari perspektif Islam. Kajian tersebut mesti meliputi berbagai komponen atau aspek paradigma yang ada, seperti aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, metodologi, retorika, dan lain-lain. Setiap komponen dari model-model paradigma keilmuan dan perencanaan transportasi yang berkembang dalam sains kontemporer perlu untuk dievaluasi menggunakan perspektif Islam yang telah diperoleh dari kajian worldview sebelumnya. Dalam tahap ini, batasan antara tahap kajian worldview dengan tahap kajian paradigma dapat menjadi kurang definitif.
Evaluasi kritis juga mesti dilakukan terhadap aspek metodologi penelitian dan perolehan pengetahuannya; konsep, asumsi, dan anggapan dasarnya; aspek empiris dan rasionalnya; aspek nilai dan etikanya (seperti engineering ethics yang terkait dengan transportasi dan kasus-kasusnya, semisal kasus Boeing 737MAX baru-baru ini atau berbagai kasus kecelakaan transportasi di Indonesia dan negeri Muslim lainnya yang tidak lepas dari isu etik, dan bahkan dapat pula diteliti suatu adab safar dan etika transportasi Islam kontemporer yang lebih mengambil pendekatan sistem daripada individual); teori pengetahuannya; pengandaian dan teorinya tentang bentang dan proses alam (terkait geografi transportasi); aspek-aspek legal dan bisnisnya (terkait aspek kehalalan pengadaan armada transportasi dengan leasing atau cara lainnya, juga terkait prinsip kehalalan dalam operasi transportasi); dan aspek-aspek psikologis dan sosialnya (seperti isu-isu kesejahteraan umat, isu geopolitik Islam, dll.).[60]
Studi transportasi sedang mengalami pergeseran dari paradigma konvensional yang berkutat pada motorisasi-mekanis dan kendaraan pribadi menuju paradigma transportasi berkelanjutan (sustainable transportation paradigm) dan paradigma transportasi publik terintegrasi yang bersifat multi-mode dan mengakomodasi secara lebih luas ragam kondisi teknologi, ekonomi, demografi, dan tren isu yang menjadi perhatian masyarakat, seperti lingkungan hidup, kesetaraan, kesehatan, pembangunan berkelanjutan, dan aksesibilitas.[61] Pergeseran itu mengarah kepada paradigma berkelanjutan dan komprehensif yang bercirikan dengan integrasi dan diversifikasi beragam mode transportasi, serta melakukan kajian dan pembahasan yang mencakup kerangka pandang komersial (ekonomi-bisnis), teknis, sosial, geografis dan tata wilayah / ruang, demografis, kesetaraan, keselamatan, aksesibilitas, kesehatan, lingkungan hidup (environmentalism), dan lain-lain secara lebih menyeluruh dan berimbang.[62]
Pergeseran paradigma itu membuat transportasi tidak melulu dilihat sebagai suatu studi fisik dalam pembangunan, tapi juga mencakup unsur-unsur ideal non-fisik. Munculnya paradigma baru tersebut memiliki sisi positif, dalam hal bahwa transportasi itu tidak dipandang secara penuh sebagai masalah bisnis atau teknis semata, tapi juga mulai memperhatikan isu-isu non-profit, seperti masalah sosial dan lingkungan. Namun, tidak semua kajian dalam sub-paradigma itu dapat diterima begitu saja, karena ia tetap saja berangkat dari pandangan alam yang sekuler, sehingga berakar pula pada antroposentrisme, naturalisme, dan fenomenalisme. Bukanlah maksud artikel ini untuk menguraikan paradigma studi transportasi kontemporer, mengingat keterbatasan ruangnya. Kajian lanjutan tentu diperlukan. Setelah paradigma itu dikuasai, mestilah dilakukan evaluasi terhadapnya menggunakan perspektif Islam.
Agenda Tahap Sains, Rekayasa dan Praktis
Tentu tidak mudah untuk merumuskan secara komprehensif agenda riset tahap sains dan aplikatif dalam makalah singkat ini. Namun, beberapa hal yang dianggap cukup feasible dan urgen akan dicanangkan di sini. Sebagaimana dua tahapan sebelumnya, jalur riset yang ditempuh dapat menggunakan gabungan antara jalur ilmiah (menggali dari falsafah sains Islam lalu keluar ke arah sains dan aplikasi) maupun jalur heuristis (mengkaji keilmuan dan terapan transportasi kontemporer lalu dievaluasi berdasarkan perspektif falsafah Islam). Agenda jalur ilmiah tentu memerlukan masukan yang berasal dari hasil riset dua tahap sebelumnya, yaitu konsep-konsep pandangan Islam terkait transportasi dan rumusan prinsip-prinsip paradigma keilmuan Islam tentang transportasi. Sementara itu, agenda jalur heuristis utamanya diarahkan kepada kajian kritis terhadap konsep-konsep dan teori-teori terkait transportasi dari sumber eksternal. Tentu bangunan keilmuan transportasi yang ada saat ini harus dikuasai dan diteliti seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya, agar kemanfaatan yang ada di dalamnya dapat diambil, sementara kemudaratan atau kekeliruan yang ada padanya dapat ditolak. Hal itu mencakup kajian paradigma, aspek-aspek, dimensi, natur atau karakteristik, definisi, penafsiran, hingga masalah peristilahan yang ada di dalamnya.
Dalam ranah teoretis, terdapat beberapa teori terkait sistem yang penting dalam kajian keilmuan transportasi kontemporer dengan pendekatan sistem, di antaranya: control theory, network theory, hierarchy theory, complexity theory, theory of dissipative structures, dan lain-lain. Tidak hanya kajian teori yang bersifat partikuler, pembahasan juga perlu diarahkan kepada pembangunan suatu teori transportasi umum dengan perspektif Islam (Islamic General Theory of Transportation). Dengan begitu, mesti dilakukan telaah kritis atas karya-karya kontemporer penting terkait General Theory of Transportation di antaranya: Der Verkehr und Die Ansiedelungen Der Menschen in Ihrer Abhängigkeit Von Der Gestaltung Der Erdoberfläche (lalu lintas dan permukiman masyarakat dalam ketergantungannya pada bentukan muka bumi) dari Johann Georg Kohl; Die Verkehrsmittel in Volks- und Staatswirtschaft (sarana transportasi dalam perekonomian nasional dan negara) karya Emil Sax; La Transformation des Moyens de Transport et ses Conséquences Economiques et Sociales (Transformasi Sarana Transportasi dan Konsekuensi Ekonomi dan Sosialnya) tulisan Alfred de Foville; The Theory of Transportation dan The Social Significance of Street Railways dari Charles Horton Cooley; A Theory of Movements karya William Alonso; buku tentang General Theory of Access dari berbagai penulis; dan lain-lain.
Selain itu, sebagai cabang yang khusus, walau tetap tidak dapat dipisahkan dari ranah kajian yang lain, studi tentang aplikasi keilmuan dan kebijakan transportasi di dunia perlu dilakukan, terutama yang berada di wilayah dunia Islam, termasuk aspek sejarahnya. Hal itu penting mengingat Islamisasi sains transportasi tidak hanya hendak sampai tahap studi atau keilmuan belaka, tapi akan diupayakan untuk diwujudkan, diobjektifkan, atau dilembagakan dalam ranah kebijakan, sehingga diharapkan dapat membuahkan hasil yang manis bagi kebangkitan peradaban Islam. Berbagai permasalahan transportasi yang ada di dunia Islam seiring waktu berikut semua aspek dan dimensinya mesti dipotret, terutama sebagai suatu kajian sejarah. Demikian pula solusi-solusi yang pernah diajukan dan kinerjanya, apakah gagal atau berhasil, dan apa yang menjadi penyebab kinerjanya demikian itu. Hal itu penting untuk dikaji agar lalu dapat dihubungkan dengan kajian teoritis yang ada, sehingga perbaikan yang berkelanjutan dapat diusahakan.
Selain itu, berbagai wacana dan tema penelitian yang berkembang di kalangan akademisi umum dan pengambil kebijakan juga dapat diadopsi selama sesuai dengan nilai-nilai Islam dan kepentingan umat. Tentu adopsi rencana riset itu perlu didahului dengan telaah kritis atas rencana yang ada agar sesuai dengan rumusan sains Islam, serta terjangkau untuk dilakukan, mengingat banyak penelitian sains Islam masih dilakukan dalam lingkup individual atau komunitas mandiri yang tidak memiliki dana riset yang besar. Misalnya, dalam Rencana Induk Riset Nasional 2017–2045, dalam kategori riset transportasi, dicanangkan tiga fokus riset: 1) Teknologi dan Manajemen Keselamatan Transportasi, yang meliputi manajemen keselamatan dan sarana-prasarana pendukung keselamatan; 2) Penguatan Teknologi dan Industri Transportasi Nasional, yang meliputi moda air, moda jalan dan rel, serta moda udara; dan 3) Teknologi Infrastruktur dan Pendukung Sistem Transportasi, yang meliputi sistem manajemen transportasi cerdas; kajian kebijakan, sosial, dan ekonomi transportasi, dan riset dasar pendukung teknologi dan sistem transportasi. Tema-tema itu memiliki irisan yang cukup banyak dengan peta alur keilmuan yang dibahas sebelumnya, dari sisi teknis maupun sosial.
Berikut beberapa topik riset transportasi dengan perspektif Islam yang dirasa penting untuk diteliti. Topik-topik tersebut dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek dari tahapan riset sains transportasi dalam peta alur keilmuan yang terdapat pada Gambar 6.
Aspek paradigma: 1) Konsep perjalanan dan migrasi dalam Al-Quran dan hadis, 2) Konsep transportasi dalam Al-Quran dan hadis, 3) Transportasi dan maqāṣid ash-sharīʿah, 4) Paradigma-paradigma transportasi kontemporer ditinjau dari perspektif Islam, 5) Konsep seminal dari hadis tentang tawakal dan memarkir unta (kendaraan), dan lain-lain.
Aspek etika: 1) Etika rekayasa (engineering ethics) dari perspektif Islam, yang terkait dengan transportasi; 2) Adab perjalanan dan transportasi kontemporer dengan pendekatan sistem; 3) Kasus Boeing 737MAX ditinjau dari perspektif Islamic Engineering Ethics; dan lain-lain.
Aspek lingkungan, kesehatan, dan keselamatan: 1)Sustainable Transportation ditinjau dari perspektif Islam; 2) Kesehatan dan keselamatan transportasi dalam perspektif Islam; dan lain-lain.
Aspek ekonomi, bisnis, dan manajemen: 1) Transportasi dalam tinjauan ekonomi syariah; 2) Prinsip syariah dalam manajemen transportasi; 3) Hubungan transportasi dan ekonomi pembangunan ditinjau dari perspektif Islam; 4) Praktik Low Cost Carrier ditinjau dari perspektif Islam; 5) Mekanisme leasing dalam pengadaan armada pesawat di maskapai penerbangan ditinjau dari perspektif ekonomi syariah; dan lain-lain.
Aspek psikologi, sosiologi, dan antropologi: 1) Psikologi transportasi dari perspektif Islam; 2) Sosiologi transportasi dari perspektif Islam; 3) Permasalahan sosial terkait transportasi di dunia Islam; 4) Konflik lahan dan masalah lain dalam pembangunan infrastruktur transportasi; 5) Transportasi dan pariwisata syariah; 6) Studi kelayakan kondisi masjid, musala, dan area istirahat sepanjang area perjalanan mudik; 7) Studi kelayakan kondisi masjid dan musala di sarana transportasi publik (terminal, stasiun, bandara, pelabuhan, dan lain-lain); dan lain-lain.
Aspek sejarah: 1) Sejarah patronase bisnis dan kebijakan transportasi di Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru; 2) Sejarah kecelakaan transportasi di dunia Islam dan hikmahnya; 3) Sejarah kebijakan transportasi di dunia Islam (dari masa Nabi SAW hingga masa kini) dan hikmahnya; 4) Sejarah pelayaran dan desain kapal di dunia Islam; dan lain-lain.
Aspek hukum, tata negara, politik, dan geopolitik: 1) BUMN dalam perspektif Islam (terutama yang terkait dengan transportasi); 2) Telaah kritis regulasi-regulasi terkait transportasi dari perspektif Islam, baik yang nasional maupun internasional; 3) Belt and Road Initiative dan Build Back Better ditinjau dari perspektif geopolitik Islam; 4) Hubungan transportasi dengan organisasi politik dan militer ditinjau dari perspektif Islam; dan lain-lain.
Aspek teknik: 1) Pemetaan permasalahan dan alternatif solusi transportasi di dunia Islam, termasuk haji; 2) Penguasaan teknologi transportasi di dunia Islam; 3) Studi potensi, permasalahan, dan alternatif solusi dari perusahaan-perusahaan terkait transportasi di dunia Islam, mencakup kajian industri manufaktur pesawat terbang di dunia Islam (PT. Dirgantara Indonesia, Turkish Aerospace Industry, Pakistan Aeronautical Complex, dll.), maskapai penerbangan di dunia Islam, manufaktur mobil dan motor (Proton Malaysia, dll.), manufaktur kapal (PT. PAL, dll.), dan manufaktur kereta api di dunia Islam; 4) Pemanfaatan teknologi komputasi open source untuk menghadirkan solusi permasalahan transportasi di dunia Islam; 5) Penelitian aspek-aspek teknologi komputasi yang masih berkembang, seperti masalah interaksi lintas domain atau coupled problem dalam pemodelan komputasional yang penting untuk pengembangan teknologi transportasi, seperti interaksi struktur-fluida, termo-mekanik, termo-kimia, termo-kemo-mekanik, bio-mekanik, bio-medik, pizo-elektrik, dan sebagainya.
Selain contoh-contoh topik riset untuk berbagai aspek keilmuan transportasi yang dikemukakan di atas, penerjemahan, penguasaan, telaah kritis, hingga perumusan solusi atas berbagai konsep dan teori terkait transportasi dalam sains kontemporer juga mesti dilakukan, utamanya terhadap beberapa paradigma, teori, dan buku babon yang telah disebutkan. Mengingat sifat kajiannya yang lintas bidang, topik-topik riset tersebut juga diharapkan dapat berkontribusi dalam perkembangan cabang keilmuan lain yang terkait, terutama yang paling potensial adalah prinsip Islam tentang sosiologi dan manajemen transportasi.
Kesimpulan
Posisi keilmuan transportasi dalam struktur sains Islam bersifat lintas disiplin, mengingat transportasi sebagai suatu sistem mencakup aspek teknis dan sains eksak serta sains sosial dan humaniora. Masing-masing dari aspek-aspek tersebut dan cabang-cabangnya memiliki tingkatan pengaruh paradigma dan worldview yang berbeda-beda. Secara konsentris, meminjam konsepsi filsafat sains dari Imre Lakatos dan Thomas Kuhn, yang digabungkan dengan pandangan Syed M. Naquib al-Attas dan para muridnya tentang worldview dan sains Islam, konsep-konsep pokok dan turunan dari worldview atau pandangan alam Islam diposisikan menduduki lapisan paling dalam dari struktur program riset sains Islam tentang transportasi, disusun oleh paradigma sains, dan bangunan cabang-cabang sains yang terkait dengan transportasi tersebut. Struktur tersebut sesuai dengan alur keilmuan dalam topologi sistem yang diawali dengan tahapan kajian filosofis (mencakup tahapan prinsip-prinsip worldview dan paradigma), tahapan kajian sains, tahapan kajian rekayasa (engineering), dan tahapan kajian aplikatif (sosio-teknis). Dari struktur konsentris dan topologi sistem itu, telah disusun suatu diagram alur keilmuan yang menunjukkan posisi keilmuan transportasi dalam struktur sains Islam. Lalu, telah dirumuskan beberapa agenda riset pada setiap tahapan itu.
Referensi
Aminah, Siti. 2018. “Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan”, Jurnal Teknik Sipil UBL, Vol. 0, №1, 2018, h. 1142–1155
DOI: http://dx.doi.org/10.36448/jts.v9i1.1135
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Chaung, Frank; Ed Manley & Arthur Petersen. 2020, February 25. “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility”, Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Vol.117, №8, h.4034–4042 DOI: 10.1073/pnas.1916936117
Lakatos, Imre. 1989. The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers Volume I. Editor: John Worral, Gregory Currie. Cambridge University Press.
Litman, Tod. 2013–6. “The New Transportation Planning Paradigm”, Institute of Transportation Engineers (ITE) Journal, Vol. 83, №6, h.20–28
Rosadisastra. 2007. Metode Tafsir ayat-ayat Sains & Sosial. Jakarta: Amzah.
Rousseau, David. 2018. “On the Architecture of Systemology and the Typology of Its Principles”. Systems, Vol. 6, №7, 2018. doi:10.3390/systems6010007
Setia, Adi. 2007. “Three Meanings of Islamic Science: Toward Operationalizing Islamization of Science”. Islam & Science, Vol. 5, №1, 2007. ISSN 1703–7603 (Print); ISSN 1703–7602X (Online).
Setia, Adi. 2016. “Tiga Makna Sains Islam”. Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2016. “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”. Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS.
[1] Adi Setia, “Tiga Makna Sains Islam”, Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, h.44–50
[2] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi Edisi Ketiga Jilid 1, Terjemahan Fidel Miro, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal xi-xiii
[3] Web: https://ftsl.itb.ac.id/kelompok-keahlian/rekayasa-transportasi/
[4] Web: https://www.its.ac.id/id/kuliah-di-its/program-studi/program-magister/
[5] Web: https://www.ftmd.itb.ac.id/penelitian/
[6] Web: http://itltrisakti.ac.id/pendidikan/
[7] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi … , hal. 5
[8] Web: https://ftsl.itb.ac.id/kelompok-keahlian/rekayasa-transportasi/
[9] Web: https://www.ptdisttd.ac.id/
[10] Web: https://www.itera.ac.id/itera-buka-pendaftaran-jalur-mandiri-khusus-prodi-s1-teknik-perkeretaapian/
[11] Web: http://tka.pnm.ac.id/tentang_prodi/d4/profil
[12] Web: https://www.its.ac.id/seatrans/id/mahasiswa/kurikulum/
[13] Web: https://www.ftmd.itb.ac.id/penelitian/
[14] Web: http://itltrisakti.ac.id/pendidikan/
[15] Web: https://sttkd.ac.id/program-studi/
[16] Web: https://www.sydney.edu.au/business/our-research/institute-of-transport-and-logistics-studies.html
[17] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal. 5
[18] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal. 6
[19] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal xv
[20] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal. 7
[21] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal. 8
[22] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal. 7
[23] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi …, hal. 8
[24] Todd Litman, “The New Transportation Planning Paradigm”, Institute of Transportation Engineers (ITE) Journal, Vol. 83, №6, 2013–6, h.20–28
[25] Adi Setia, “Tiga Makna Sains Islam”, Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda …, h.47–48
[26] Adi Setia, “Three Meanings of Islamic Science: Toward Operationalizing Islamization of Science”, Islam & Science, Vol. 5, №1, 2007, h.39
[27] Adi Setia, “Tiga Makna Sains Islam”, Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda …, h.50
[28] Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers Volume I, Editor: John Worral, Gregory Currie, Cambridge: Cambridge University Press, 1989, h.3–4
[29] Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: …, h.48
[30] Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: …, h.49
[31] Peter Godfrey-Smith, Theory and Reality: An Introduction to the Philosophy of Science, Chicago: Chicago University Press, 2003, h.102–103
[32] Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: …, h. 3 & 6
[33] Adi Setia, “Tiga Makna Sains Islam”, Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda …, h.52–55 dan Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”, Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda, Jakarta: INSISTS, 2016, h. 14
[34] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”, …, h.12–13
[35] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology and the Typology of Its Principles”, Systems, Vol. 6, №7, 2018, h.7
[36] Imre Lakatos, The Methodology of Scientific Research Programmes: …, h.1–6
[37] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology …, h.7
[38] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology …, h.7
[39] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology …, h.8
[40] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology …, h.9
[41] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology …, h.10
[42] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, h.162–163
[43] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam, Kuala Lumpur: ISTAC, 1995, h.1–2
[44] David Rousseau, “On the Architecture of Systemology …, h.7
[45] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur: ISTAC, 1993, h.145
[46] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”, …, h.13
[47] Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains & Sosial, Jakarta: Amzah, 2007, h.11
[48] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility”, Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), Vol.117, №8, February 25, 2020, h.4034
[49] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4035
[50] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4035
[51] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4035
[52] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4035
[53] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable …, h.4035–4036
[54] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4036
[55] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4036
[56] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable …, h.4036–4037
[57] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4037
[58] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable …, h.4038–4039
[59] Frank Chuang, et.al., “The Role of Worldviews in the Governance of Sustainable Mobility …, h.4039
[60] Lihat juga S. M. Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 114.
[61] Todd Litman, “The New Transportation Planning Paradigm”, Institute of Transportation Engineers (ITE) Journal, Vol. 83, №6, 2013–6, h.20; dan Siti Aminah, “Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan”, Jurnal Teknik Sipil UBL, Vol. 0, №1, 2018, h. 1145;
[62] Todd Litman, “The New Transportation Planning Paradigm”… h.20; dan Siti Aminah, “Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan”…, h. 1145