Pohon Kurma Sebagai Permisalan Peradaban: Tadabbur QS. Ibrahim Ayat 24–25

Shuffah Institute
8 min readJan 17, 2023

--

Oleh: Irfan Saeful Wathon, Peneliti Shuffah Institute

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.(QS. Ibrahim 24–25).

Ibnu Katsir menafsirkan, bahwa ayat tersebut adalah perumpamaan bagi amal perbuatan (baik) manusia, yang selalu berbuah setiap saat dan diangkat baik di malam maupun siang hari [1]. Sedangkan Hamka menafsirkan ayat tersebut dengan berbicara tentang dua kalimat syahadat; akarnya berurat tunggang teguh ke bumi, dan berdahan kuat menengadah ke langit. Kalimat yang baik itu juga berarti iman, yang pupuknya ialah ibadah dan dzikir yang tidak berhenti-henti kepada Allah, dan buahnya adalah Amal [2].

Hamka mengilustrasikan, bahwa pohon yang dibicarakan dalam ayat tersebut adalah pohon yang senantiasa berbuah baik di musim dingin maupun panas, bahkan di tengah kemarau panjang. Sekalipun pohon lainnya tidak berbuah karena kekeringan, namun pohon tersebut tetap berbuah karena akarnya terhunjam ke petala bumi, tempat di mana adanya air [3].

Adapun Sayyid Quthb menyatakan pohon tersebut sebagai pohon kenabian, di mana sosok Ibrahim ‘alayhissalaam sebagai “bapak para nabi” memberikan buahnya (keimanan, kebajikan, dan kehidupan yang bermakna) pada setiap musim, sebagai hidangan yang lezat. Ia mengartikan kalimat yang baik (thayyibah) sebagai kalimat kebenaran yang 1) kokoh, tidak tergoyahkan oleh angin topan, 2) tinggi menjulang, mampu mengintai dan menjangkau keburukan, kedzhaliman, dan kesewenang-wenangan dari atas [4].

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bertanya kepada para sahabat tentang pohon apa yang dimaksud dalam ayat tersebut. Ciri-cirinya adalah pohon tersebut semisal dengan seorang muslim, yang mana daunnya tidak berjatuhan baik pada musim dingin maupun musim panas, serta menghasilkan buah setiap saat dengan izin Rabb-Nya. Dan pohon tersebut adalah pohon kurma [5].

Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, dalam sebuah wawancara, mengartikan pohon tersebut sebagai substansi peradaban dalam Islam, yang akarnya tertanam kuat di bumi, dahan-dahannya menjulang tinggi ke langit, dan memberi rahmat bagi alam semesta.

Lebih rinci lagi ia mendeskripsikan,

Akar itu adalah teologi Islam (tauhid) yang berdimensi epistemologis. Karena faktor ilmu yang bersumber dari konsep-konsep seminal dalam al-Quran, peradaban pun berkembang. Dari pemahaman terhadap al-Quran, lahirlah tradisi intelektual Islam. Dari tradisi yang membentuk komunitas itu, lahirlah konsep-konsep keilmuan dan akhirnya disiplin keilmuan Islam. Dari ilmu, lahirlah sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya Islam. Jadi, peradaban Islam adalah peradaban ilmu.” [6]

Ada apa dengan pohon kurma? Apa keterkaitannya dengan peradaban yang dimaksud? Artikel singkat ini bermaksud menguraikan makna dari keduanya, juga menghubungkaitkan keselarasan di antaranya.

Pohon Kurma

Sebagaimana diketahui oleh umum, pohon kurma (Phoenix Dactylifera) merupakan pohon yang banyak dijumpai di daerah tropis dengan suhu yang cukup tinggi. Namun uniknya, ia merupakan pohon yang cukup baik bertahan dalam berbagai cuaca, serta memiliki usia yang cukup panjang, bahkan dapat mencapai ratusan tahun [7].

Salah satu faktor utama yang menyebabkannya adalah karena pohon kurma mengawali pertumbuhannya dengan batu besar yang diletakkan di atasnya. Untuk dapat mengangkat batu besar di atasnya dan naik ke permukaan, kurma harus memiliki kekuatan yang besar, sehingga menuntutnya untuk memperkuat akar ke bawah tanah terlebih dahulu. Setelah akar besar dan kokoh, kurma akan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk mengangkat batu tersebut, dan naik ke permukaan tanah dengan akar yang kuat, kokoh, serta menghunjam cukup dalam ke bawah tanah.

Sumber lain menyebutkan bahwa akar yang menghunjam tersebut membantu pohon kurma dapat bertahan dalam kondisi kekeringan yang ekstrim. Hal ini dikarenakan akarnya mampu menjangkau ke tempat tersedianya air yang hampir tidak terjangkau oleh pohon lainnya [8].

Peradaban Islam

Prof. Hamka, dalam suatu rapat Pemimpin Pusat Muhammadiyah menyampaikan bahwa politik (kekuasaan) adalah permukaan, sedangkan kebudayaan (falsafah hidup, agama, sejarah, bahasa) adalah lubuknnya. “Apa yang bergolak pada permukaan timbul dari lubuk yang dalam,” tandasnya. Ungkapannya itu ditujukan agar umat Islam memberikan porsi perhatiannya lebih besar kepada upaya kristenisasi dan ateisasi Indonesia, ketimbang menyibukkan agenda di sektor politik [9].

Menurut Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani, sebuah masyarakat terdiri dari tiga unsur, yakni pemikiran (ilmu), sumber daya manusia, dan materi. Masyarakat yang menempatkan loyalitasnya pada pemikiran, maka orang jeniuslah yang akan diangkat sebagai pemimpin. Dalam keadaan ini, sebuah masyarakat akan banyak mengalami kemakmuran, lantaran menjunjung tinggi kedudukan ilmu.

Saat loyalitas kepada ‘manusia’ dijadikan sebagai titik pusat, sementara pemikiran dan materi bergerak di bawah kendali ‘manusia’, maka corak umum yang berkembang di dalam masyarakat tersebut adalah berkuasanya orang-orang yang menyukai kedudukan dan kehormatan, serta orang-orang kuat. Mereka memperlakukan pemikiran dan materi sesuai dengan kepentingan pribadi, keluarga, golongan atau kelompoknya.

Jika pemikiran dan sumber daya manusia berada di bawah kendali materi, maka golongan yang berpengaruh di dalam masyarakat tersebut adalah para kapitalis pemuja syahwat. Budaya foya-foya dan konsumtifisme merajalela, sementara pemikiran dan nilai menjadi barang dagangan dan komoditi bisnis; semuanya terpampang indah pada spanduk reklame, di depan mall, salon kecantikan dan papan nama jalan. Pemikiran dan pemahaman menjadi stagnan dan rancu, masyarakat hanya sibuk dengan materi dan kebutuhan harian masing-masing. Hasrat tertingginya tidak lebih dari urusan perut dan nafsu syahwat, tidak mengenal kebaikan dan tidak mencegah keburukan [10].

Al-Kilani menguraikan beberapa pola yang harus diperhatikan oleh sebuah komunitas masyarakat yang hendak melakukan perbaikan (ishlah): (1) perubahan harus dimulai dari seluruh muatan yang ada pada diri manusia — meliputi pemikiran, nilai, budaya, kecenderunganm, kebiasaan, dan tradisi — lalu disusul dengan perbaikan pada bidang sosial, ekonomi, politik, militer, dan seluruh bidang kehidupan yang sifatnya eksternal, (2) setiap perubahan menuju keadaan lebih baik atau buruk akan terjadi jika dilakukan oleh masyarakat secara kolektif, dan bukan oleh individu-individu, (3) perbaikan akan berhasil jika masyarakat mampu memperbaiki pendidikan dan pemikiran dengan baik, dan perbaikan di bidang lainnya akan ikut menyusul [11].

Senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (1978), bahwa problem utama yang menjangkiti dunia ini adalah kekeliruan ilmu (confusion of knowledge), yang berlanjut dengan hilangnya adab (loss of adab), sehingga berimbas pada terpilihnya para pemimpin palsu (raise of false leader), yakni para pemimpin (di semua bidang) yang tidak memiliki kapasitas mapan untuk menjalankan amanahnya [12]. Ketiga hal tersebut akan terus berputar menjadi sebuah siklus, karena sang pemimpin palsu juga akan menularkan kekeliruan ilmu dengan kepalsuan otoritasnya.

Ketika ilmu mulai diabaikan, maka wajah yang ditampakkan dari sebuah zaman adalah berbagai kerusakan tiada bertepi. Yang membuatnya lebih sulit lagi adalah kebiasaan kita dalam menyelesaikan masalah yang selalu memulai dari kulit luarnya tanpa menelusuri akar penyebabnya. Seperti dikatakan al-Kilani, kita disibukkan dengan gejala luar (eksoterik) yang akan terus bermunculan selama penyebab utamanya (intrinsik) masih ada [13].

Mengenai solusi bangkitnya sebuah masyarakat dari keterpurukannya, menurut Malik Bennabi hanya ada satu solusi, yakni dengan mencetak individu yang sanggup memikul risalah dalam sejarah [14]. Yang ia maksud dalam hal ini adalah pembenahan tiap-tiap individu yang disebutnya sebagai gerakan psiko-sosial, yang mana istilah ini mengacu kepada gerakan pendidikan [15].

Pohon Kurma Sebagai Permisalan Peradaban

Maka, peradaban yang kokoh tumbuh sebagaimana pohon kurma. Pergerakannya memperkuat ke arah dalam terlebih dulu, sebelum ia tumbuh dan menampakkan dirinya serta menghasilkan buah (manfaat) yang dapat dinikmati oleh siapapun. Akar yang kuat tersebut membuatnya tumbuh lebih tinggi dan kokoh, sehingga membuatnya lebih unggul meski dalam kondisi terburuk sekalipun.

Gerakan ke arah dalam yang dimaksud adalah pendidikan jiwa untuk setiap individu, yang oleh al-Attas disebut sebagai self’s city, bahwa di dalam diri setiap individu terdapat penduduk yang harus ditertibkan dan ditempatkan sesuai perannya [16]. Misalnya, jiwa akali (an-nafs an-nathiqah/rasional) harus berkuasa atas diri hewani (an-nafs al-hayawaniyah), karena dengan akal itulah manusia akan mampu menjadi individu beradab [17].

Kumpulan individu terdidik inilah yang nantinya akan berperan mewujudkan cita-cita peradaban, yang tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat. Kerja-kerja peradaban ini bukan hanya tidak bisa dikerjakan sendirian, bahkan tidak bisa dikerjakan hanya oleh satu generasi saja. Maka setiap generasi pun harus memikirkan terkait apa yang harus ditinggalkannya untuk generasi mendatang.

Masyarakat Muslim yang belum terlihat keunggulan di bidang saintek, pembangunan infrastruktur, dan lainnya bukan berarti mereka menganggapnya tidak penting sehingga mengabaikannya. Namun lebih tepatnya adalah perbaikan yang dijalankan belum sampai kepada hal itu. Ini tentu dua hal berbeda antara “mengabaikan” dengan “belum sampai”.

Mengapa belum sampai? Karena prioritas utamanya adalah perbaikan individu (pendidikan), yang tentu akan memainkan peran utama dalam melakukan perbaikan masyarakat baik secara sosial, politik, ekonomi, saintek, ekologi, dan sebagainya.

Namun, dunia pendidikan harus ditopang oleh bidang lainnya, terutama untuk perbaikan-perbaikan yang bersifat temporer dan partikular. Sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Alparslan Açikgenç, bahwa tiga institusi utama yang mendorong aktivitas menyeluruh dalam suatu masyarakat dan melahirkan tradisi keilmuan adalah pendidikan, ekonomi, dan politik [18].

Zarkasyi juga menguraikan, bahwa peradaban Islam dahulu tidak hanya sebuah proyek dari kelompok tertentu. Contohnya untuk pembiayaan yang didukung oleh para kaum elit di Baghdad. Gerakan ini disubsidi baik oleh negara maupun swasta. Perbaikan masyarakat dilakukan dengan pembangunan yang bersinergi dan simultan. Namun penekanan terhadap pendidikan dimaksudkan bahwa semua pembangunan di bidang tersebut harus dimulai dari dan ditujukan untuk pembangunan manusia. Lebih lanjut ia menguraikan,

Ini menunjukkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan adalah sentral sifatnya. Dari perkembangan ilmu inilah kemudian dikembangkan bidang-bidang lain baik secara simultan ataupun secara gradual. Ilmu, sudah barang tentu, diperlukan oleh semua kelompok apapun orientasi dan strategi perjuangannya. Pembangunan politik, ekonomi, pendidikan, perbankan Islam dan lain sebagainya tidak bisa tidak harus dimulai dari ilmu.” [19]

Dapat dikatakan, seorang pelaku politik, ekonomi, dan bidang lainnya harus dibekali dengan adab dan ilmu terlebih dulu sebelum mengabdikan dirinya melalui bidang-bidang tersebut. Agar lebih jelas, berikut adalah skema yang dibuat oleh Hamid Fahmy Zarkasyi terkait sinergitas antarbidang dalam sebuah perbaikan masyarakat.

Gambar 1: Sinergitas dalam perbaikan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi. [20]

Perbaikan individu adalah pengokohan akar peradaban, yang dimulai dari dalam diri individu, yakni jiwa. Ia akan menghasilkan buahnya ketika akarnya kokoh dan cabangnya menjulang tinggi sampai ke langit, sehingga banyak orang-orang yang melihat keindahannya. Sebaliknya, sifat ketergesa-gesaan untuk segera menghasilkan buah tanpa akar yang kokoh sering kali membuat pohon tumbang sebelum berbuah. Allahuta’ala a’lam.

[1] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2005), 538.

[2] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid V, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1982), 3808.

[3] Ibid, 3808–3809.

[4] Sayyid Quthb, Tafsir Fii Dzhilaalil Quran, Jilid VII, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) 96.

[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid IV, 538.

[6] Hamid Fahmy Zarkasyi: Peradaban Islam adalah Peradaban Ilmu, Republika.co.id, 23/03/2009 (diakses pada 13/10/2022 pukul 21:23 WIB).

[7] Learn About The Date Palm Tree, (bateel.com/blog/bateel-gourmet/learn-about-the-date-palm-tree/#:~:text=A%20fully%20grown%20date%20palm,as%20long%20as%20150%20years), diakses pada 09–11–2022.

[8] Lita Puspa Dewi, et al., “Faktor Berbuahnya Pohon Kurma (Phoenix Dactylifera) di Kampus 2 UIN Sunan Gunung Djati Bandung”, dalam Jurnal Bio Educatio Vol. 5, №1, (Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati: 2020), 16–23; Lihat juga: Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid V, 3808–3809.

[9] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981), ___.

[10] Majid ‘Irsan al-Kilani, Model Kebangkitan Umat Islam: Upaya 50 Tahun Pendidikan Melahirkan Generasi Shalahuddin dan Merebut Palestina, terj. Asep Sobari, (Depok: Mahdara Publishing, 2019), 352–353.

[11] Ibid, 8.

[12] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Kuala Lumpur: RZS-CASIS, 2021), 135.

[13] Majid ‘Irsan al-Kilani, Model Kebangkitan…, 2.

[14] Malik Bennabi, Membangun Dunia Baru Islam, terj. Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, (Bandung: Mizan, 1994), 110.

[15] “Semuanya itu disebabkan karena faktor psikologis tersebut menjadi penyebab munculnya faktor sosial, dan kemudian mengendalikannya.” Ibid, 249–250.

[16] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, 184.

[17] Ibid, 176; Lihat juga: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 93.

[18] Alparslan Açikgenç, Lahirnya Tradisi Keilmuan dalam Islam, (Jakarta: INSISTS, 2019), 7.

[19] Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam…, 83–85. Tidak hanya sebagai titik awal, Zarkasyi juga mengatakan bahwa arah pergerakan sektor-sektor lainnya harus ditujukan untuk pembangunan manusia. Lihat: Ibid, 72–73.

[20] Ibid, 84.

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet