Menolak Bulan Pelangi

Shuffah Institute
7 min readJun 5, 2021

--

Pelangi, pelangi, alangkah indahmu; merah kuning hijau di langit yang biru; Pelukismu agung, siapa gerangan; pelangi, pelangi, ciptaan Tuhan. Demikianlah lirik lagu anak-anak berjudul Pelangi karangan almarhum Abdullah Totong Mahmud (nama asli: Masagus Abdullah Mahmud), komposer lagu anak kelahiran Palembang, Sumatra Selatan, 3 Februari 1930, yang pernah pula menjadi Pengawas Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DKI Jakarta, sebelum wafat pada 6 Juli 2010.[1]

Sederhana, singkat, langsung, dan jelas, tapi tetap sarat nilai dan makna. Demikianlah kesan kita saat mendengarkan lagu, yang konon digubah Mahmud setelah mendapatkan inspirasi dari anaknya, Rika, yang berteriak “Pelangi!” sambil menunjuk ke langit sewaktu mengantarnya sekolah, itu.[2] Betapa tidak, lagu yang demikian riang itu amat asyik menanamkan nilai ketuhanan kepada anak-anak. Bahkan, ia demikian akrabnya mengajarkan konsep “Tuhan sebagai Pencipta dan alam sebagai ciptaan-Nya”, yang bahkan kadang sulit dijelaskan kepada orang dewasa, apalagi di tengah zaman positivisme, empirisme, dan rasionalisme saat ini.[3]

Sayangnya, kini citra pelangi dalam ruang publik tidak lagi seindah dan madani lagi seperti yang digubah dalam lagu Mahmud itu. Dalam kancah internasional, yang semakin mudah diakses lewat dunia maya, maupun dalam wacana-wacana yang mulai muncul di dalam negeri, pelangi sebagai suatu realitas artistik telah diambil alih menjadi simbol bagi sesuatu yang lain sama sekali dari yang dimaknai oleh pria yang juga mengarang lagu Ambilkan Bulan itu. Di berbagai tempat di dunia, dan semakin marak dikampanyekan, pelangi telah diasosiasikan sebagai lambang kaum gay (penyuka sesama jenis) atau LGBTQ (lesbian, gay, bisexual, transgender & queer), dalam pengertian yang lebih luas.[4]

Ditambah lagi, pada bulan Juni yang mereka tetapkan sebagai Pride Month (bulan kebanggaan bagi kaum LGBTQ) seperti sekarang ini, kampanye simbol pelangi itu demikian masifnya, baik dilakukan oleh perorangan, komunitas, organisasi, hingga perusahaan komersial yang mendukung atau sekadar menerima LGBTQ. Pelangi Levi dipajang besar-besar di Times Square. Tas Steve Madden edisi pelangi dijajakan di toko-toko. Bahkan, Dunkin’ Donuts juga menyajikan donat edisi khusus bertaburan pelangi “sprinkled with pride”.[5] Di luar bulan itu pun, sejumlah liga sepak bola luar negeri terang-terangan mengiklankan kampanye “diversity” mereka dalam menerima LGBTQ. “Game for everyone,” seru mereka.

Memanglah kampanye LGBTQ semacam itu di Indonesia masih belum sebanyak dan sefrontal yang ada di luar negeri, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara yang telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Namun, tak dapat dipungkiri, bahkan nyata benar terasa, bahwa ada upaya-upaya yang terstruktur, masif, dan sistematis dalam menggeser pandangan masyarakat Indonesia soal gender dan LGBTQ, termasuk agar mereka menganggap normal perkawinan sesama jenis itu. Termasuk di antara upaya itu adalah “perang simbol dan istilah”, yang mencakup pula simbol bertema pelangi.

Simbol memang dapat menjadi senjata yang kuat dalam mempengaruhi pikiran orang atas suatu realitas. Hal itu karena simbol berasimilasi dengan suatu objek sebagai suatu basis dari elemen umum yang menandakan proses kognisi instingtif atas objek tersebut. Dalam banyak kasus, bahkan ada hubungan yang konstan antara simbol dan objek atau realitas yang disimbolkan. Dalam hal itu berlaku “aliquid stat pro aliquo”, representasi bersatu bersama objeknya. Pengetahuan tentang representasi suatu realitas akan datang melalui suatu manifestasi simbolis yang berlaku seperti gejala atas sesuatu.[6]

Dalam pendapat lain, simbol dapat pula menjadi tanda yang asli atas sesuatu karena ia menyediakan suatu intervensi dalam interpretasi dan konstitusi subjektivitas mental. Dengan begitu, di satu sisi, ia menjaga dan merekam suatu terusan makna yang sama dalam singularitas eksistensial yang unik yang terjaga dari degenerasi. Namun, di sisi lain, kontak dengan simbol yang dihasilkan oleh pikiran yang menafsirkannya berpotensi akan mempengaruhi penafsir berikutnya, sehingga memungkinkan evolusi pemaknaan. Simbol memang memiliki hubungan konvensional dengan realitas yang direpresentasikan, tetapi hubungan itu dapat bersifat spasial, temporal, dan kausal, sehingga ikatannya dapat dipisahkan dan diganti dengan rupa hubungan yang lain.[7]

Dengan demikian, meskipun suatu simbol dapat memiliki suatu bentang kemungkinan makna asal yang tertentu dan tetap-melekat, representasinya dapat dialihkan melalui rekonstruksi makna yang terjadi dalam pewarisan dan integrasi kolektifnya dalam suatu masyarakat. Lalu, setelah ia diterima, atau setidaknya mengalami paparan dengan pikiran publik secara luas dan terus-menerus, ia akan secara intim berhubungan dengan arus kesadaran atau pemahaman baru yang muncul, baik secara individual maupun kolektif.[8] Di situlah, simbol berperan sangat penting dalam menggeser paradigma suatu masyarakat.

Demikian pula dalam sejarahnya, pelangi tidak selamanya menjadi simbol bagi kaum LGBTQ. Penggunaan bendera pelangi sebagai simbol LGBTQ setidaknya baru dipelopori oleh Gilbert Baker, seniman Amerika Serikat (AS) dan aktivis gay, pada 1978, atas permintaan Harvey Milk, seorang pejabat AS yang pertama kali terang-terangan mengaku gay, untuk membuat simbol kebanggaan bagi komunitas mereka yang sebelumnya harus sembunyi-sembunyi karena belum diterima mayoritas publik AS.[9]

Baker mengambil simbol berbentuk bendera karena mampu menunjukkan tanda kebanggaan, deklarasi, dan keberanian untuk menampakkan perilaku gay mereka di muka publik. Sebelumnya, kaum gay di AS dan dunia Barat pada umumnya masih belum diterima karena masih dianggap sebagai penyimpangan. Simbol untuk mereka awalnya adalah segitiga merah muda yang digunakan oleh Nazi di kamp konsentrasi untuk menandai para pelaku penyimpangan itu. Sampai awal 1970-an, komunitas gay masih menggunakan simbol itu, tapi suara yang menyerukan pergantian simbol mulai bermunculan akibat konotasi sejarahnya.[10]

Selain itu, warna pelangi diambilnya karena dianggap warna natural, dengan misi bahwa suatu saat komunitas mereka akan diterima sebagai suatu hal yang lumrah oleh publik AS. Ia awalnya menggunakan delapan garis warna. Merah muda melambangkan seks, merah untuk kehidupan, oranye untuk penyembuhan, kuning untuk sinar matahari, hijau untuk alam, pirus untuk seni, indigo untuk harmoni, dan violet untuk spirit. Namun, karena masalah produksi, garis merah muda dan pirus dihilangkan, sementara warna indigo diganti dengan biru dasar, yang menghasilkan bendera pelangi enam garis kontemporer (merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan violet).[11]

Butuh waktu yang cukup lama bagi kelompok Baker untuk mendorong bendera pelangi itu menjadi simbol yang diakui secara umum oleh kaum LGBTQ. Versi pertama bendera mereka dikibarkan pada 25 Juni 1978 pada parade Hari Kebebasan Gay San Francisco. Baker dan suatu tim membuat bendera itu dengan tangan, lalu mengupayakan produksi masal bendera itu untuk dikampanyekan bagi publik pada umumnya dan pelaku gay pada khususnya. Bendera pelangi baru secara tetap menjadi simbol kebanggaan LGBTQ sejak 1994.[12]

Hingga sekarang, penggunaan atribut pelangi sebagai simbol LGBTQ semakin marak dikampanyekan, bahkan kepada publik di negara-negara mayoritas Muslim, yang mestinya menolak LGBTQ. Hal itu tentunya menimbulkan keresahan. Bahkan, di dunia Barat juga, kalangan Kristen yang masih religius, atau biasa disebut sebagai kelompok konservatif sebagai kebalikan dari libertarian, kembali berani menyuarakan keberatan mereka atas penggunaan pelangi sebagai simbol LGBTQ, meskipun banyak negara Barat itu telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Upaya itu misalnya digiatkan oleh Bryan Fischer dan American Family Association (Asosiasi Keluarga AS).[13]

Sebagai umat Islam dan orang Indonesia, kita tentunya memiliki tanggung jawab dan beban moral yang lebih untuk “merebut-kembali” pemaknaan atas pelangi yang sudah kadung diklaim oleh komunitas LGBTQ internasional sebagai simbol mereka itu. Tak lain tak bukan, hal itu karena kita memiliki sosok A.T. Mahmud, pencipta lagu Pelangi yang berbudi luhur dan memiliki kesadaran yang nyata atas ketuhanan itu. Tentu kita malu pada beliau jika makna pelangi sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang menjadi tanda-tanda (āyāt) kebesaran-Nya — yang diajarkan dalam lagunya itu — justru diobrak-abrik oleh kaum menyimpang yang dulu diazab pada masa Nabi Luth AS itu.

Apalagi, bahaya LGBTQ itu memang nyata benar. Mungkin agar tidak berpanjang-panjang, akan dibahas dalam tulisan lain, insya-Allah. Namun contoh sekilas saja dapat kita ambil dari kasus Reynhard Sinaga, orang Indonesia pelaku LGBTQ yang melakukan pemerkosaan dan penyerangan terhadap 130-an korban di Inggris, yang menghebohkan publik beberapa waktu lalu. Kita patut mempertanyakan kepada oknum-oknum pendukung LGBTQ itu, apakah benar pemaknaan warna-warna “pelangi” itu sejalan dengan tabiat hakiki perilaku menyimpang kalian? Apatah tak pantas pelangi yang indah itu dijadikan simbol perilaku menyimpang kalian yang terkutuk.

________________________

Ditulis oleh:
M Miftahul Firdaus, S.T., peneliti Shuffah Institute.

[1] Irfan Teguh, “Sejarah Hidup AT Mahmud, Dia yang Mengambilkan Bulan buat Anak-anak”, Tirto.ID, 6 Juli 2019. (Diakses pada 5 Juni 2021 di laman https://tirto.id/sejarah-hidup-at-mahmud-dia-yang-mengambilkan-bulan-buat-anak-anak-cNN9 )

[2] Irfan Teguh, Ibid.

[3] Suprihatien, Rini Damayanti. “Nilai Moral dalam Lagu Anak Tempo Dulu”. Jurnal Inovasi Penelitian. Vol. 1 №4, September 2020, ISSN 2722–9467, hal. 866–867

[4] Nora Gonzales. “How Did the Rainbow Flag Become a Symbol of LGBTQ Pride?”. Britannica.com. (Diakses pada 5 Juni 2021 di laman https://www.britannica.com/story/where-did-the-word-hippie-come-from)

[5] Cindy Rizzo. “Pride & Paradox”. Medium. Juni 12, 2019. (Diakses pada 5 Juni 2021 di laman https://cindyrizzo.medium.com/pride-paradox-de3bb0880887 )

[6] Salvatore Settineri, Emanuele Maria Merlo, Fabrizio Turiaco, Carmela Mento. “The Symbol Theory in S. Freud, C.G. Jung and C.S Peirce”. Mediterranean Journal of Clinical Psychology MJCP. Vol. 5, №2, 2017. ISSN: 2282–1619, hal. 14–15.

[7] Salvatore Settineri …, hal. 14–15; Lihat juga Angelo N. M. Recchia-Luciani. “Manipulating Representations”. Biosemiotics. Vol. 5, №1, 2012, hal. 95–120. Published 2011 May 20. DOI: 10.1007/s12304–011–9116–2.

[8] Salvatore Settineri …, hal. 14–15

[9] Nora Gonzales, Ibid.

[10] Ana Swanson. “How the rainbow became the symbol of gay pride”. The Washington Post. Economy Policy. Juni 29, 2015. (Diakses pada 6 Juni 2021 di laman https://www.washingtonpost.com/news/wonk/wp/2015/06/29/how-the-rainbow-became-the-symbol-of-gay-pride/ )

[11] Nora Gonzales, Ibid.

[12] Nora Gonzales, Ibid.

[13] Rex Huppke. “Sorry, LGBT community, God wants the rainbow back”. Chicago Tribune. Tribune Voices. April 3, 2017. (Diakses pada 6 Juni 2021 di laman https://www.chicagotribune.com/columns/rex-huppke/ct-rainbow-flag-god-fischer-huppke-20170403-story.html )

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet