Kritik Max Planck atas Positivisme dan Konsepsi Sains Tanpa Asumsi / Presuposisi

Shuffah Institute
17 min readFeb 12, 2023

--

Oleh: M. Miftahul Firdaus, peneliti Shuffah Institute

Max Karl Ernest Ludwig Planck (Kiel, 23 April 1858 — Göttingen, 4 Oktober 1947) merupakan fisikawan Jerman yang terkenal dengan kepeloporannya dalam mekanika kuantum, di mana penemuannya tentang energi kuanta dalam aksi kuantum mengantarkannya menerima Hadiah Nobel dalam bidang fisika pada tahun 1918; namun bidang karya Planck tidak hanya mencakup fisika murni. Kecenderungan untuk memaksakan pembagian disiplin keilmuan yang lebih sempit, jelas, dan kaku sebenarnya hanyalah fenomena yang relatif baru dalam sains, yang mengaburkan fakta bahwa banyak pemikir yang terlibat dalam pengembangan fisika juga terlibat dalam perdebatan filsafat sains, khususnya tentang metodologi sains dan epistemologi. Planck — juga banyak saintis sezamannya — tidak terkecuali dalam hal ini dan dia banyak menulis tentang filsafat sains, terutama di tahun-tahun terakhir hidupnya.

Meskipun atmosfer pemikiran dan filsafat sains di Jerman abad ke-20 cenderung didominasi oleh aliran positivisme logis (logical-positivism) dan empirisme logis (logical-empiricism) yang utamanya diusung oleh Lingkaran Wina (Vienna Circle) dan Grup Berlin (Berlin Group), Max Planck bergeser menjauhi aliran itu. Ia dengan jelas mengakui bahwa pengamatan empiris semata tidak dapat menjadi basis daripada sains. Planck juga mengakui bahwa ada unsur yang bersifat doktrin dalam sains dan bahwa setiap bidang sains pasti memiliki asumsi-asumsi atau presuposisi-presuposisi yang melandasi penafsirannya atas fenomena empiris. Dia juga mengakui perlunya metafisika dan agama sebagai sumber kebenaran yang berdampingan dengan sains. Keseluruhan pandangan filsafat sainsnya membuatnya kerap digolongkan dalam aliran realisme (scientific-realism).

Sebagai seorang realis, Planck kemudian memberikan sejumlah kritik penting terhadap positivisme dan sempat terlibat perdebatan dengan Moritz Schlick, pemuka Lingkaran Wina. Kritik Planck atas positivisme terutama dituangkan dalam risalahnya Positivismus und reale Aussenwelt (1931) dan bab II dari Where Is Science Going? (1913). Pandangan filsafat sainsnya juga dimuat dalam berbagai risalahnya yang lain, seperti Scientific Autobiography and Other Papers (1950) dan The Philosophy of Physics (1963). Artikel sederhana ini hendak melakukan penyelidikan awal terhadap kritik Max Planck atas konsepsi “sains tanpa asumsi / presuposisi”.

Realisme Planck dan Kritiknya atas Positivisme / Empirisme

Pandangan alam Max Planck banyak dipengaruhi oleh gurunya, Herman von Helmholtz, yang pada ujungnya dipengaruhi oleh tradisi pemikiran Kant yang diderivasikan ke dalam realisme. Dari tradisi pemikiran realisme Helmholtz-Kant itu, Planck meyakini bahwa sains dan filsafat tidak dapat dipisahkan, sebab filsafat secara prinsip menyelidiki pengertian tentang hakikat segala sesuatu sehingga mencakup pula segala jenis sains, termasuk sains fisik / fisika. Dari sana, dianggap bahwa fisika dan metafisika tidak dapat didikotomikan, bahwa sains memerlukan asumsi-asumsi / presuposisi metafisik, dan bahwa sains fisik itu tidak dapat dibatasi hanya pada deskripsi atas fenomena empiris, tetapi mesti menjadi suatu penafsiran atas alam semesta dalam suatu pandangan alam yang utuh dan koheren. Sains dengan demikian memiliki tujuan yang lebih tinggi dari sekedar deskripsi fenomena empiris, yaitu tujuan metafisik berupa penafsiran atas realitas alam luar. Planck menuliskan:

And thus we strike out the positivist als-ob (as-if) and attribute a higher kind of reality than that of mere description of immediate sensory impressions to the practical discoveries that have been already mentioned — Faraday’s, etc. Once we take this step we lift the goal of physical science to a higher level. It is not restricted to the mere description of bare facts of experimental discovery; but it aims at furnishing an ever increasing knowledge of the real outer world around as.” (Planck, 1913: 82)

The aim of science is something more. … It is something that is essentially metaphysical.” (Planck, 1913: 83)

Tujuan Metafisik dari Sains Fisik

Maksud dari tujuan metafisik dari sains fisik itu adalah bahwa sains mesti menginterpretasikan atau menafsirkan hasil-hasil pengamatan empiris / sensoris yang diperolehnya itu ke dalam suatu jalinan makna yang utuh dan berarti, yaitu suatu sistem pandangan alam yang mencerminkan suatu sistem metafisik yang menjadi prisma pandangan dalam memaknai realitas. Dengan demikian, realitas alam luar itu seperti sebuah buku yang terbentang, di mana hasil-hasil pengamatan itu seperti huruf-huruf dan simbol-simbol yang ada di dalam setiap halamannya. Huruf dan simbol saja tidak dapat menjadi makna yang berarti jika tidak disusun ke dalam suatu sistem yang memiliki tata aturan gramatikal dan regularitas yang tertentu. Dengan merujuk Helmholtz, Plank menjelaskan:

The ideal aim before the mind of the physicist is to understand the external world of reality. But the means which he use to attain this end are what are known in physical science as measurements, and this give no direct information about external reality. They are only a register or representation of reactions to physical phenomena. As such they contain no explicit information and have to be interpreted. As Helmholtz said, measurements furnish the physicist with a sign which he must interpret, just as a language expert interprets the text of some prehistorical document that belongs to a culture utterly unknown. The first thing which the language expert assumes — and must assume if his work is to have any practical meaning — is that the document in question contains some reasonable message which has been stated according to some system of grammatical rules or symbols. In the same way the physicist must assume that the physical universe is governed by some system of laws which can be understood, even though he cannot hold out to himself the prospect of being able to understand them in a comprehensive way or to discover their character and manner of operation with anything like a full degree of certidude.” (Planck, 1913: 84)

Prinsip Dasar Realisme Planck

Semua pandangan itu berakar pada anggapan realisme bahwa alam luar itu ada secara independen dari pengamatan atau penyelidikan manusia dan bahwa alam luar itu tidak secara langsung dapat diketahui. Dengan anggapan yang demikian, semua cabang sains tidak dapat mengetahui secara langsung objek-objek kajiannya yang ada di alam luar, sehingga sains tidak akan pernah bisa secara lengkap dan menyeluruh menjelaskan alam. Karena itu, anggapan bahwa pengamatan empiris adalah semata-mata sumber pengetahuan tidak dapat diterima, sebab deskripsi hasil pengamatan belaka tidak dapat menghasilkan makna yang berarti, sehingga membatasi sains hanya pada deskripsi fenomena empiris tanpa interpretasi metafisik atasnya hanya akan menghasilkan tindakan yang tidak berarti. Planck menuliskan:

Now there are two theorems that form together the cardinal hinge on which the whole strucutre of physical science turns. These theorems are: (1) There is a real outer world which exists independently of our act of knowing, and (2) The reale outer world is not directly knowable. To a certain degree these two statements are mutually contradictory. And this fact discloses the presence of an irrational or mystic element which adheres to physical science as to every other branch of human knowledge. The knowable realities of nature cannot be exhaustively discovered by any branch of science. This means that science is never in a position completely and exhaustively to explain the problem sit has to face. We see in all modern scientific advances that the solution of one problem only unveils the mystery of another. Each hilltop that we reach discloses to us another hilltop beyond. We must accept this as a hard-and-fast irrefutable fact. And we cannot remove this fact by trying to fall back upon a basis which would restrict the scope of science from the very start merely to the description of sensory experiences. (Planck, 1913: 82–83)

Absurditas Konseptualisasi dalam Positivisme

Planck sebelumnya memberikan sejumlah contoh absurditas yang dapat muncul jika sains fisik itu hanya dibatasi sebagai deskripsi fenomena empiris / sensoris, yaitu bila sains dijalankan dengan kerangka positivisme. Absurditas pertama terletak dalam konseptualisasi dari suatu objek. Dalam kehidupan sehari-hari, bila kita berpikir tentang meja, maka ia merupakan suatu konsep universal yang dapat bermanifestasi ke dalam berbagai bentuk partikular. Kita juga dapat mengasosiasikan konsep bentuk, jumlah kaki, kekerasan, dan ketahanan beban padanya. Namun, jika kita melakukan observasi suatu meja berdasarkan kerangka positivisme, konsep meja yang universal itu menjadi tidak ada, karena meja dalam amatan kita itu tidak lebih dari kumpulan kompleks persepsi sensoris dan konsep yang kita sebut sebagai meja itu dianggap hanyalah asosiasi yang biasa dilekatkan pada objek itu. Bila persepsi sensoris itu dihilangkan, tak ada yang tersisa, sehingga tidak ada konsep, tidak ada makna. Padahal, jika objek itu tidak punya makna, lalu apa gunanya mengerjakan penyelidikan sains atasnya? (Planck, 1913: 71)

Absurditas Komparasi dalam Positivisme

Absurditas kedua dari pembatasan sains yang positivistik terletak pada masalah inferensi dari suatu hasil amatan yang tidak dapat dilakukan secara langsung atau apabila inferensi langsung darinya justru menimbulkan kesalahpahaman, atau bahkan kesimpulan yang bertentangan dengan kebenaran, misalnya pada peredaran benda langit. Dalam kasus ini, ada teori geosentris dan heliosentris. Keduanya berangkat dari pengamatan yang sama, yaitu bahwa benda-benda langit terlihat beredar mengelilingi bumi, tapi kesimpulan yang dihasilkannya berbeda. Dalam penyimpulannya, tentu terdapat intrusi pemikiran terhadap hasil amatan, sehingga deskripsi empiris belaka tidak cukup dikatakan sebagai sains. (Planck, 1913: 71–72)

Selain itu, dalam kerangka positivisme, kedua teori itu sama-sama dapat dikatakan valid jika hasil pengamatan hanya dilakukan dari pengamat yang ada di bumi, padahal kebenarannya tidak demikian. Planck menjelaskan: “… on the positivits principle the one theory is as good as the other, when considered from the scientific viewpoint. They are merely two different ways of making a mental construction out of sensory reactions to some outer phenomena;” sehingga dilihat dari kerangka pikir positivisme, “… Copernicus is not to be judged as a pioneer discoverer in the realms of science … Copernicus discovered nothing. He only formulated, in the shape of fanciful mental construction, a mass of facts that were already known. He did not add anything to the store of scientific knowledge already in existence. … for the positivist scientist all the fuss and trouble made over the Copernican theory were quite as senseless, from the scientific point of view, as if one were to quarrel with the rapture of a contemplative who gazes on the Milky Way …” (Planck, 1913: 72–73)

Dengan kata lain, jika sains itu dibatasi hanya pada deskripsi fenomena empiris / sensoris berdasarkan kerangka positivisme, maka ia tidak akan dapat membedakan derajat validitas dua atau lebih teori yang saling bertentangan bila masing-masingnya sama-sama dilandasi oleh suatu hasil pengamatan. Padahal, kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan yang sama-sama diperoleh dari hasil pengamatan tidak mungkin benar secara bersamaan. Keduanya mesti membentuk suatu sistem kebenaran yang utuh dan koheren. Jika pun ada dualisme, dualisme itu tidak berarti penerimaan kebenaran dua kesimpulan yang saling bertentangan dari dua pengamatan yang berbeda, tapi dualisme yang dimaknai sebagai dua karakteristik yang saling melengkapi dalam satu sistem yang koheren. Hal itu misalnya gambaran dualisme cahaya sebagai gelombang dan partikel yang dalam fisika kuantum dipandang sebagai “complementary of each other”. Masalahnya, elaborasi seperti itu tidak dapat dilakukan tanpa intrusi pemikiran dan kompleks sistem pandangan alam dengan asumsi-asumsi di dalamnya, sehingga rumusan positivisme tidak akan produktif untuk menghasilkan kesimpulan.

Terkait problem komparasi validitas ini, Planck mencontohkan kasus batang yang dicelupkan ke dalam air:

There is an actual bending present as an optical perception; but that is quite a different thing from concluding that the stick itself is bent. The positivist will not allow us to conclude anything. We have a sensory impression of the part of the stick that is in water and a contiguous sensory impression of the part that is in air; but we have no right to say anything about the stick itself. The most that the positivist principle will allow us to say is that the stick looks “as if” it were bent. If we explain the whole phenomenon by saying that the light rays which are reflected in the air from the stick to the eye pass through a less dense medium than that through which the rays pass when reflected from the part of the stick immersed in water, and that therefore the latter are more strongly deflected, that way of stating the case is useful from many points of view but it is no closer to reality than to say that the senses perceive the stick “as if” it were bent.” (Planck, 1913: 74–75)

Poin pentingnya adalah bahwa kerangka positivisme tidak akan cukup berguna untuk menghasilkan kesimpulan bagi hasil pengamatan di mana inferensi langsung tidak mungkin untuk dilakukan dan ia juga tidak dapat membedakan derajat validitas dua inferensi kesimpulan yang bertentangan dari fenomena-fenomena amatan yang sama atau berbeda, sehingga penggalian makna dari fenomena-fenomena itu — yaitu aktivitas sains itu sendiri — akan menjadi tidak bermakna. Planck menyimpulkan:

The essential point here is that, from the standpoint of Positivism, both ways of stating the case are fundamentally of equal validity. And there would be no sense in attempting to judge their rival validities by asking how far one is more appropriate than the otehr, by appealing to the sense of touch to rectify the apparent anomaly of a stick which was straight in air being bent in water. In the positivist system there would be no meaning in a decision one way or another; because a strictly logical positivist science would have to be content with merely noting the sensory impressions and leaving the matter at that.” (Planck, 1913: 75)

Masalah Amatan Pengamat Lain dalam Positivisme

Selain itu, dalam konsepsi Positivisme, impresi pengamatan empiris / sensoris sebenarnya bersifat personal / individual, dalam artian bahwa impresi dari seorang pengamat berbeda dengan impresi dari pengamat lain. Impresi dari seorang pengamat adalah suatu realitas tunggal dan hanya menjadi realitas bagi dirinya sendiri. Impresi dari pengamat lain tidak secara langsung dapat kita ketahui. Sebagai objek pengetahuan hasil amatan orang lain menunjukkan sesuatu yang secara fundamental berbeda dari impresi kita. Dalam pandangan positivisme yang kaku, kita tidak memiliki pengetahuan apa pun tentang impresi orang lain. Karena mereka bukanlah suatu persepsi langsung, mereka tidak menyediakan dasar kepastian pengetahuan. Padahal, jika sains itu dibatasi hanya pada kompleks pengamatan empiris belaka, tanpa intrusi pemikiran, maka orang yang paling ahli sekalipun tidak akan dapat mengonstruksi sistem saintifik yang komprehensif. Dengan demikian, Positivisme tidak akan dapat menghasilkan sistem teori yang utuh dan koheren. Planck menuliskan:

If the scope of physical science extends no further than the mere description of sensory experiences, then strictly only one’s own experiences can be taken as the object of such description; because only one’s own experiences are primary data. Now it is clear that on the basis of a mere individual complex of experience not even the most gifted of men could construct anything like a comprehensive scientific system. So we are faced with the alternative of either renouncing the idea of a comprehensive science, which will hardly be agreed to even by the most extreme positivist, or to admit a compromise and allow the experiences of others to enter into the groundwork of scientific knowledge.” (Planck, 1913: 77)

Dengan demikian, prinsip Positivisme bahwa sumber sains hanya pengamatan empiris tidak dapat diterima, karena dalam praktik sains, kita juga dapat menerima hasil pengamatan orang lain yang impresinya tidak dapat kita inferensikan secara langsung. Dalam kasus demikian itu, yaitu bila kita menerima deskripsi fenomena yang diinferensikan oleh pengamat lain, kita mesti mempercayai impresi mereka walaupun persepsi mereka itu — dilihat dari sudut pandang kita — adalah sumber sekunder. Dengan begitu, faktor lain di luar sekadar pengamatan empiris pun berlaku di sini, yaitu apakah laporan-laporan pengamatan yang dibuat oleh para saintis lain itu, baik lisan maupun tulisan, dapat dipercaya atau tidak. Di sini, kita menghadapi masalah rantai periwayatan dan validitas pengabaran. Planck menerangkan:

The sensory impressions of others are secondary and they are data for us only through the reports we have of them. This brings a new factor into play here, namely, the trustworthiness of oral and written information in scientific reports. Therewith we break at least one link of the logical chain which holds the positivist system together; for the foundational principle of the system is that only immediate perception can be considered as offering material for scientific certainty.” (Planck, 1913: 78)

Problem Otoritas Keilmuan dalam Positivisme

Dengan demikian, Positivisme juga tidak dapat menerangkan bagaimana hasil pengamatan satu orang atau sekelompok kecil saintis dapat menggulirkan pergeseran konsepsi sains yang luas dan diterima oleh mayoritas saintis lain bila para saintis selain individu atau kelompok kecil yang melakukan pengamatan dan pembuktian itu tidak secara langsung mendapatkan impresi atas fenomena yang dikaji itu dan hanya mengetahuinya melaluinya lewat laporan-laporan. Dengan kata lain, kerangka Positivisme tidak dapat mengakomodasi problem otoritas dalam sains, di mana penerimaan kita atas inferensi dari impresi pengamat lain atas suatu fenomena yang tidak kita amati secara langsung itu berkaitan dengan penerimaan kita terhadap otoritas mereka. Planck menguraikan:

How and why did these individual sensory impressions create such a furore and lead to such a world revolution in the theory and application of scientific methods? To this question the upholders of positivism can give only a roundabout and entirely unsatisfactory answer. … and if we ask why it is that certain findings of a few obscure individuals, carried out under quite primitive conditions, had such an immediate and world-wide significance for all other physicists — that question has no meaning for physical science as viewed from the positivist standpoint.” (Planck, 1913: 80–81)

Dengan demikian, inferensi kesimpulan dalam suatu penafsiran atas realitas empiris tidak dapat dibatasi hanya pada deskripsi empiris, tapi mesti menjangkau suatu sistem pandangan metafisik atas realitas fisik itu. Hal itu karena tidak ada satu pun sains yang dapat dibangun di atas fondasi pengamatan individual saja tanpa mengakui otoritas keilmuan dan validitas rantai periwayatan dari laporan pengamatan saintis lain, dan bahwa persepsi sensoris belaka tidak dapat menciptakan dunia fisik di sekitar kita, tapi justru karena alam semesta luar diri kita itu ada secara riil, maka kita dapat mengamatinya. Planck menuliskan:

We have followed the call of common sense. We have taken a jump into the metaphysical realm; because we have accepted the hypothesis that sensory perceptions do not of themselves create the physical world around us, but rather that they bring news of another world which lies outside of ours and is entirely independent of us.” (Planck, 1913: 81–82)

Dengan demikian, positivisme / empirisme yang membatasi sains pada pengukuran belaka, tidak akan dapat membawa kemajuan, terutama tidak dapat mendorong inisiatif untuk membangun suatu teori.

Positivism lacks the driving force for servung as a leader on the road of research. True, it is able to eliminate obstacles, but it cannot turn them into productive factors. For … its glance is directed backwards. But progress, advancement requires new associations of ideas and new queries, not based on the results of measurement alone.” (Panck, 1950: 172)

Kritik Planck atas Konsepsi Sains Tanpa Asumsi / Presuposisi

Berangkat dari kritiknya atas positivisme; pandangan realisnya bahwa alam luar itu ada; bahwa pengamatan empiris / sensoris tidak dapat menghasilkan inferensi langsung, tetapi diperlukan penafsiran terhadap alam semesta itu dengan asumsi bahwa ia seperti dokumen dengan sistem gramatikal, simbol-simbol, dan regularitas di dalamnya; dan bahwa setiap sains termasuk fisika tidak dapat lepas dari intrusi pemikiran dan sistem metafisika pengamatnya, Planck pun memberikan kritik terhadap konsepsi yang banyak berkembang bahwa sains itu tidak memiliki asumsi / presuposisi. Justru sebaliknya, menurut Planck, sains itu mesti dilandasi oleh suatu kompleks asumsi / presuposisi, dan secara ambisius bermaksud membangun suatu pandangan alam yang komprehensif dan global, mengharmonisasikan berbagai cabang keilmuan yang berbeda dalam satu gambaran / imaji ilmiah atas alam (the scientist’s picture of the universe, yang diadopsi menjadi judul bab III dari Where Is Science Going?); atau dengan kata lain, berangkat dari penafsiran atas hasil-hasil pengamatan yang parsial dan relatif, menuju kepada sistem pandangan alam yang utuh-menyeluruh dan absolut (from the relative to the absolute, yang diadopsi menjadi judul bab VI buku Where Is Science Going?).

Mengikuti sistem pandangannya itu, Planck meyakini bahwa tidak ada seorang pun saintis yang bekerja mempelajari alam di bidangnya tanpa memiliki suatu visi tertentu tentang alam yang diselidikinya itu. Meskipun ia mengakui bahwa sains itu merupakan suatu pengetahuan tentang alam semesta yang ada secara riil dan objektif di luar diri manusia, secara bersamaan sains itu merupakan aktivitas manusia yang tidak dapat sepenuhnya kosong dari asumsi, presuposisi, ide, worldview, atau pandangan bawaan apa pun namanya. Selain itu, sains itu sendiri merupakan bagian dari fisika, sehingga suatu sistem filosofis tertentu tidak dapat dipisahkan darinya. Planck menjelaskan:

No phrase has ever engendered more misunderstanding and confusion in the world of scholars than the expression, “Science without Presuppositions”. It was coined originally by Theodor Mommsen, and was meant to express that scientifc analysis and research must steer clear of every preconceived opinion. But it could not be, nor was it, intended to mean that scientifc research need no presuppositions at all. Scientifc thought must link itself to something, and the big question is where.” (Panck, 1950: 82)

Dengan begitu, menurut Planck, agar sains dapat produktif menjadi sebagaimana mestinya, saintis tidak dapat lepas dari asumsi / presuposisi dan setidaknya beberapa prinsip, hipotesis, eksperimen, teori, dll., untuk bergerak maju. Tanpa suatu visi tentang alam, saintis tidak akan mampu menyempurnakan teorinya dan membuat penemuan yang bermakna, karena tanpa penafsiran berdasarkan sistem pandangan alam itu, bahan-bahan yang dikumpulkan dari pengamatan empiris tidak akan dapat menyusun suatu makna yang lengkap dan koheren.

It is said that science has no preconceived ideas: there is no saying that has been more thoroughly or more disastrously misunderstood. It is true that every branch of science must have an empirical foundation: but it is equally true that the essence of science does not consist in this raw material but in the manner in which it is used. The material always is incomplete: it consists of a number of parts which however numerous are discrete, and this is equally true of the tabulated figures of the natural sciences, and of the various documents of the intellectual sciences.

The material must therefore be completed, and this must be done by filling the gaps; and this in turn is done by means of associations of ideas. And associations of ideas are not the work of the understanding but the offspring of the investigator’s imagination — an activity which may be described as faith, or, more cautiously, as a working hypothesis. The essential point is that its content in one way or another goes beyond the data of experience.” (Planck, 1963: 121–122)

Bila pun sains eksak itu dibangun di atas dasar pengukuran, logika, dan kalkulasi matematika, ia tetap memerlukan premis-premis yang membangun sistem pandangan alamnya, karena pengukuran, logika, dan kalkulasi matematika tanpa premis tidak akan dapat menghasilkan makna apa-apa. Plank menguraikan:

To be sure, exact science relies everywhere of exact measurements and figures, and is therefore fully entitled to bear its proud name, for the laws of logic and mathematics must undoubtedly be regarded as reliable. But even the keenest logic and the most exact mathematical calculation cannot produce a single fruitful result in the absence of a premise of unerring accuracy. Nothing can be gained from nothing.” (Panck, 1950: 81–82)

Dengan demikian, bagi Planck, sains juga tidak dapat lepas dari nilai-nilai kehidupan, seperti etika dan estetika, karena sains itu sendiri berangkat dari suatu penyelidikan filosofis atas alam, manusia, dan kehidupan. Ia menjelaskan:

Every science has its roots in life and that similarly physics can never be completely separated from its student: every student, after all, is a personality equipped with a set of intellectual and ethical properties. Hence the general philosophy of the student will always have some in‑uence on his scientifc work, while conversely the results of his studies cannot but exert some in‑uence on his general philosophy.” (Planck, 1963: 10)

Saintis biasa yang tidak berpaham positivisme akan mengakui validitas pandangan etik dan estetik atas alam.

The ordinary scientist, who does not believe in the positivist attitude, admits the validity of the aesthetic standpoint and the ethical standpoint; but he recognizes these as belonging to another way of looking at nature … On the other hand, the positivits does not admit any such values as real at all, even in other provinces than physical science.” (Planck, 1913: 73)

Dengan kata lain, bagi Planck, empirisme dan positivisme hanyalah suatu bentuk solipsisme nihilis yang menyeret kepada lembah kebutaan akan makna dan nilai yang ada dalam realitas alam semesta luar. Untuk dapat meloloskan diri dari kebutaan ini, kita memerlukan sains yang dilandasi oleh premis, asumsi, presuposisi, yang menjadi bagian dari suatu sistem pandangan alam yang memproyeksikan sistem metafisik yang komprehensif, koheren, tidak bertentangan, dan mampu mengelaborasikan dengan baik hasil-hasil amatan dan eksperimen yang parsial dan bertebaran di segala bidang sains menjadi suatu kesatuan pengetahuan (the unity of knowledge) yang mewakili suatu kesatuan alam (the unity of universe), yang dapat membawa kita dari yang relatif kepada yang absolut.

To sum up, empiricism is unassailable on the fundamental ground of a pure logic; and its conclusions are equally impregnable. But if we look at it purely from a viewpoint of knowledge it leads into a blind alley, which is called solipsism. In order to escape from this impasse there is no other way open but to jump the wall at some part of it, and preferably at the beginning. This can be done only by introducing, once at for all, a metaphysical hypothesis which has nothing to do with the immediate experience of sense-perceptions or the conclusions logically drawn from them … the sense-impressions in our consciousness are not the only source of knowledge.” (Planck, 1913: 128)

Daftar Pustaka

Planck, Max. 1913. Where Is Science Going?. Translator: James Murphy. London: George Allen & Unwin Ltd.

Planck, Max. 1950. Scientific Autobiography and Other Papers. Translator: Frank Gaynor. London: William & Norgate Ltd.

Planck, Max. 1963. The Philosophy of Physics. Translator: W. H. Johnston. New York: The Norton Library.

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

Responses (1)