Konsep Paradigma Sains Islam dan Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Oleh M. Miftahul Firdaus, peneliti Shuffah Institute
Tanggal 22 Februari 2005 silam, Prof. Dr. Kuntowijoyo, M.A. (juga dieja Kuntowidjojo) wafat dalam usia 61 tahun. Meski sudah cukup lama ia pergi, gagasan-gagasannya masih relevan untuk dikaji hari ini, seiring dengan meningkatnya kesadaran di tengah umat bahwa pekerjaan rumah kita yang paling fundamental adalah soal ilmu dan gerakan ilmiah. Memang selain dikenal sebagai sejarawan dan sastrawan yang produktif, Kunto juga menaruh perhatian yang serius terhadap filsafat sains dan interaksi antara agama dengan sains. Pemikirannya dalam bidang ini bermuara kepada konsepnya tentang paradigma sains Islam dan ilmu sosial profetik.
Masalah Netralitas Sains, Filsafat Modernisme, dan Sains Sekuler
Konsepsi filsafat sains alumni Universitas Gadjah Mada (S1 jurusan sejarah), University of Connecticut (MA bidang American History), dan Columbia University (PhD bidang sejarah) itu bermula dari kesadaran bahwa sains, terutama ilmu sosial humaniora, itu tidak netral, tetapi dilandasi oleh atau berakar dari suatu sistem filsafat sains tertentu yang berkembang di zaman modernisme Eropa. Filsafat modernisme itu lalu menumbuhkan humanisme atau antroposentrisme, yang pada gilirannya membawa dikotomi atau diferensiasi segala aspek pemikiran, pengetahuan, dan kehidupan dari nilai-nilai agama, sehingga memunculkan sains yang positivistik dan tatanan hidup yang sekuler.
Pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 18 September 1943, itu menuliskan: “Tempat berangkat sains sekuler adalah modernisme dalam filsafat. Rasionalisme yang muncul pada abad ke 15/16 menolak teosentrisme Abad Tengah. Rasio (pikiran) manusia diagungkan dan wahyu Tuhan dinistakan. Sumber kebenarannya [sains Barat modern] adalah pikiran, bukan wahyu Tuhan. Tuhan masih diakui keberadaannya; tetapi Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum-hukum … Dalam rasionalisme Barat, manusia … menjadi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia dijadikan pencipta, pelaksana, dan konsumen produk-produk manusia sendiri … Waktu manusia menganggap bahwa dirinya menjadi pusat, terjadilah diferensiasi [pemisahan / dikotomi]. Etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan. Karena itu, kegiatan ekonomi, politik, hukum, dan sains dipisahkan dari agama. Kebenaran pengetahuan itu lalu dianggapnya terletak dalam sains itu sendiri (tidak di luarnya: Kitab Suci), yaitu korespondensi (kecocokan sains dengan objek), dan koherensi (keterpaduan) di dalam sains, antara bagian-bagian keilmuan dengan seluruh bangunan sains … Sains dibuat harus menjadi objektif; tidak ada campur tangan etika, moral, dan kepentingan lain. Dulu pada Abad Tengah, ilmu berposisi sebagai pendukung wahyu, kemudian dalam filsafat modern, sains menjadi otonom. Filsafat dan filsafat sains mendapat bentuknya yang konkret dalam sains. Konkretisasi itu berjalan sesuai persis dengan semangat filsafat dan filsafat sains modern. Sains [modern] hanyalah pelayan setia dari filsafat dan filsafat sains sekuler itu.” (Kuntowijoyo, 2007: 51–52)
Dengan demikian, mantan Sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) UGM itu menyimpulkan, meski “mengaku diri sebagai objektif, value free, bebas dari kepentingan lainnya”, sains modern itu tidaklah benar-benar netral, tetapi hanya ‘membebaskan diri’ dari nilai-nilai Ketuhanan. Karena itu, lanjut penerima Satyalencana Kebudayaan RI 1997 itu, “… sains telah melampaui dirinya sendiri. Sains yang semula buatan manusia telah menjadi penguasa atas manusia. Sains menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk kehidupan.”
Konsep Realitas dan Sumber Pengetahuan dalam Islam
Penempatan manusia sebagai pusat (antroposentrisme), pemisahan agama dari sains, penafian wahyu sebagai sumber ilmu, negasi terhadap realitas non-empiris, dikotomi antara rasio dan pengamatan dengan wahyu, pencabutan nilai-nilai / nihilisme (etika, moral, agama, dll.) dari sains, dan berbagai karakteristik sekuler lainnya dari sains modern itu tidak dapat diterima dalam Islam, sebab “epistemologi Islam adalah epistemologi relasional (integralistik). Semua kenyataan [realitas] berasal dari Allah (innā li-Llāh) dan akan kembali kepada Allah (wa innā ilayhi rājiʿūn) … segala kenyataan berpangkal pada Allah dan berujung pada Allah. Semua kenyataan itu terkait dengan konsep tentang keesaan Allah (tauhid). Ada kontinum yang tak terputus antara keesaan Tuhan dan kenyataan.” Dengan konsep realitas yang demikian, “sumber pengetahuan bagi umat Islam adalah Allah … Allah mengajarkan isim-isim kepada Adam. Karena itu, sumber pengetahuan pertama adalah Al-Quran, sumber kedua adalah As-Sunah.” (Kuntowijoyo, 2018: 2–4) Wahyu itulah yang nanti melandasi dan membimbing rasio dan pengamatan empiris. “Jadi, sumber pengetahuan itu ada dua macam, yaitu yang berasal dari wahyu Tuhan dan yang berasal dari penelitian manusia.” (Kuntowijoyo, 2007: 54)
“Di dalam epistemologi Islam, wahyu itu sangat penting. Ini yang membedakannya dengan cabang-cabang epistemologi Barat yang besar seperti rasionalisme dan empirisme yang mengakui sumber pengetahuan sebagai hanya berasal dari akal atau observasi.” (Kuntowijoyo, 2008: 554–555) Dalam wahyu, “… kita mengenal banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. … Semua konsep ini menjadi punya makna, bukan saja karena keunikannya secara semantik, tapi juga karena kaitannya dengan matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan Al-Quran dipahami. Dalam kaitan ini, konsep-konsep Al-Quran bertujuan memberikan gambaran utuh tentang ajaran Islam, dan lebih jauh lagi, tentang weltanschauung / pandangan alamnya.” (Kuntowijoyo, 2008: 550) Konsep-konsep pandangan alam itu kemudian menjadi landasan yang “mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri-sendiri, dan lingkungan (fisik, sosial, budaya, dll.)” sehingga wahyu itu selain “merupakan petunjuk etika, kebijaksanaan” juga “dapat menjadi semacam sistem Grand Theory (seperti sistem ekonomi Islam).” (Kuntowijoyo, 2007: 53)
Perlunya Perumusan Paradigma dan Teori Sains dari Wahyu
Konsep-konsep pokok pandangan alam yang dikonstruksi dari wahyu itu kemudian mesti dirumuskan ke dalam bentuk-bentuk yang lebih spesifik berupa paradigma dan teori-teori sains. Dengan demikian, untuk membentuk sistem filsafat sains Islam, “Al-Quran [atau wahyu secara keseluruhan] harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoretis. … Analisis-analisis terhadap pernyataan-pernyataan Al-Quran akan menghasilkan konstruk-konstruk teoretis Al-Quran. Elaborasi konstruk-konstruk teoretis Al-Quran inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Quranic theory building, perumusan teori dari kandungan Al-Quran. Dari situlah muncul paradigma Al-Quran.” (Kuntowijoyo, 2008: 553–554) “Fungsi paradigma Al-Quran pada dasarnya adalah untuk membangun perspektif Al-Quran dalam rangka memahami realitas,” sehingga “wahyu menempati posisi sebagai pembentuk konstruk mengenai realitas … Dalam konteks ini, wahyu menjadi unsur konstitutif utama dalam paradigma Islam.” (Kuntowijoyo, 2008: 554–555)
Penempatan wahyu sebagai referensi dalam menafsirkan realitas itulah yang membedakan filsafat sains Islam dengan filsafat sains Barat modern. Dalam Islam, alam semesta adalah ayat-ayat yang diciptakan, sementara wahyu adalah ayat-ayat yang difirmankan sehingga keduanya merupakan satu kesatuan tanda-tanda yang merujuk kepada realitas transendental di baliknya, yaitu keberadaan dan kekuasaan Allah. Dalam filsafat sains Barat, alam semesta hanya dipandang sebagai suatu sistem yang menunjuk kepada dirinya sendiri, menegasikan adanya realitas transendental. “Konstruk pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai salah satu sumbernya berarti mengakui adanya struktur transendental sebagai referensi untuk menafsirkan realitas … pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumbernya berada di luar diri manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdiri sendiri dan bersifat transendental. Pengandaian mengenai adanya struktur transendental, dengan kata lain juga berarti mengakui bahwa Al-Quran harus dipahami sebagai memiliki bangunan ide yang transendental, sebuah orde, atau sistem tatanan gagasan yang otonom dan sempurnya.” (Kuntowijoyo, 2008: 555–556)
“Dengan pemahaman mengenai struktur transendental Al-Quran, yaitu gambaran kita mengenai sebuah bangunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat meta-historis, Al-Quran sesungguhnya menyediakan cara berpikir, yang kita namakan paradigma Al-Quran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia … akan menjadi rambahan baru bagi munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif.” (Kuntowijoyo, 2008: 562) “Struktur transendental Al-Quran [dan juga As-Sunah] adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan sains empiris dan sains rasional Islami yang orisinal, dalam artian sesuai dengan kebutuhan paradigmatis masyarakat Islam, yaitu untuk misinya sebagai khalifah di muka bumi dan untuk kemaslahatan umat manusia.” (Kuntowijoyo, 2008: 563)
Kita tidak perlu takut diolok-olok oleh pengusung positivisme atau empirisme dalam sains, sebab “jelas bahwa premis-premis normatif dalam Al-Quran [dan As-Sunah] dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Sebab proses semacam ini pula yang ditempuh dalam perkembangan sains modern yang kita kenal sekarang ini. Kita mengetahui bahwa berbagai cabang sains yang empiris maupun rasional yang diwariskan oleh peradaban Barat berasal dari paham-paham etik dan filosofis yang bersifat normatif. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat uang empiris dan sering dipakai sebagai basis untuk kebijakan-kebijakan aktual.” (Kuntowijoyo, 2008: 562–563) “Perumusan teori-teori Islam adalah bagian dari kepentingan pragmatis Islam untuk memenuhi misi profetiknya, yaitu membangun peradaban. Dalam sebuah dunia, tempat kekuasaan dan pengaruh sains menjadi destruktif, mengancam kehidupan umat manusia dan peradabannya, Islam jelas harus tampil untuk menawarkan alternatif paradigmatisnya di bidang ilmu.” (Kuntowijoyo, 2008: 563)
Perlunya Penyaringan dan Penyesuaian Sains Modern
Dengan adanya perbedaan yang mendalam antara Islam dengan Barat dalam hal pandangan alam, paradigma, dan referensi penafsiran atas realitas itu — walaupun sama-sama mengakui validitas akal (bentuk yang lebih komprehensif dari gabungan rasio dan intelek) dan pengamatan empiris — konsep-konsep dalam sains Barat modern tidak boleh kita telan bulat-bulan tanpa kritik, penyaringan, dan penyesuaian. “Peminjaman-peminjaman sistem pengetahuan dengan demikian tidak bersifat eklektik, karena kita mesti menyeleksinya dalam kerangka paradigma kita sendiri. Artinya bahwa semua warisan ilmu pengetahuan yang pernah dilahirkan dari peradaban lain juga bisa dipinjam dan menjadi bagian dari warisan Islam, sejauh hal itu sesuai dengan premis etik dan epistemiknya. Namun, kita harus menyadari kerangka epistemik yang berada di belakang pengetahuan yang kita pinjam itu. Di sinilah, kita harus mewaspadai bias-bias filosofis dan paradigmatis yang melekat dalam tradisi dan sistem pengetahuan yang kita pinjam itu.” (Kuntowijoyo, 2008: 561–562)
Dengan kata lain, apabila kita hendak mempelajari sains modern dan mengadopsinya demi kepentingan umat Islam, kita mesti melakukan penyaringan terlebih dahulu terhadap konsepsi-konsepsinya, agar kita dapat menghindari dan bahkan memperbaiki konsep-konsep sains modern yang tidak sesuai dengan paradigma dan pandangan Islam. Barulah hasil penyaringan dan penyesuaian atas sains kontemporer itu selanjutnya dapat kita terima dan integrasikan ke dalam struktur keilmuan Islam. “Islam dapat mewarisi sumbangan ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh peradaban lain … Tapi tentu saja pewarisan semua khazanah ilmu pengetahuan itu harus melewati proses Islamisasi … suatu mekanisme untuk mengislamkan sains, yaitu bagaimana mengonversikan dan mengintegrasikan semua pemikiran dan warisan intelektual dari mana pun ke dalam paradigma teoretis yang sesuai dengan struktur transendental Al-Quran.” (Kuntowijoyo, 2008: 563)
Dua Lajur Jalan Ilmiah Menuju Sains Integralistik
Dengan demikian, mantan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM itu mengusulkan dua lajur jalan ilmiah yang mesti ditempuh oleh umat Islam, yaitu jalur dalam dan luar. Jalur dalam berarti menggali konsep-konsep wahyu dan mengelaborasikannya menjadi paradigma dan teori-teori ilmiah. Sementara itu, jalur luar berarti melakukan evaluasi kritis terhadap konsep-konsep sains Barat modern, lalu melakukan penyaringan, penyesuaian, dan perbaikan terhadapnya berlandaskan konsep-konsep milik Islam. Dari jalur pertama, diharapkan akan dapat dibangun suatu paradigma sains Islam, sementara dalam jalur kedua, paradigma sains Islam yang sudah dirumuskan akan dijadikan landasan untuk melakukan “… reorientasi terhadap epistemologi, yaitu reorientasi terhadap mode of thought dan mode of inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiri, tapi juga dari wahyu.” (Kuntowijoyo, 2008: 484)
Jalur yang pertama, menggali konsep-konsep Islam dan mengelaborasikannya ke ranah ilmiah menjadi suatu disiplin ilmu yang dapat diterima dalam studi sains kontemporer, disebut oleh Kuntowijoyo sebagai pengilmuan Islam (menjadikan Islam sebagai ilmu atau sains Islam) atau juga objektifikasi, yaitu “penerjemahan nilai-nilai internal ke dalam kategori-kategori objektif atau konkretisasi dari keyakinan internal yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang natural oleh orang sekuler dan orang non-Islam sekalipun, sehingga diharapkan pengilmuan Islam itu dapat menjadikan konsep-konsep Islam sebagai rahmat untuk seluruh alam. (Kuntowijoyo, 2007: 61–62) Sementara itu, jalur yang kedua, upaya menyaring, menyesuaikan, dan memperbaiki konsep-konsep sains dari luar sehingga sesuai dengan struktur keilmuan dan paradigma Islam, disebut oleh Kunto sebagai integrasi ilmu pengetahuan, pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia dengan wahyu. (Kuntowijoyo, 2007: 49)
Melalui dua lajur proses ilmiah itu, suatu jenis sains yang integralistik diharapkan dapat dikembangkan. “Ilmu integralistik (bersatunya akal dan wahyu) akan … melawan kecenderungan sekularisme dunia modern dan pasca-modern.” (Kuntowijoyo, 2007: 59) Dari sana, diharapkan suatu revolusi saintifik dapat terjadi, di mana sains sekuler yang saat ini dominan atau menjadi normal sciences, akan ‘ditantang’ oleh sains integralistik yang sedang dirintis itu. Nantinya, diharapkan bahwa sains integralistik itu akan menang dalam revolusi itu dan menjadi sains normal yang baru, lalu menjadi paradigma yang baru. (Kuntowijoyo, 2007: 57–58) Alasannya, Kuntowijoyo “menganggap bahwa sains sekuler sekarang ini sedang terjangkit krisis (tidak dapat memecahkan banyak soal), mengalami kemandekan (tertutup untuk alternatif-alternatif), dan penuh bias di sana-sini,” sehingga sains integral itu perlu dirintis untuk mengatasi krisis tersebut. (Kuntowijoyo, 2007: 50)
Revolusi Sains dan Pergeseran Paradigma
Perbedaan antara sains integral dan sains sekuler itu “terletak dalam tempat berangkat, rangkaian proses, produk keilmuan, dan tujuan-tujuan ilmu.” (Kuntowijoyo, 2007: 50) Dengan kata lain, perbedaan keduanya terletak dalam paradigma yang melandasinya. “Ada perbedaan paradigmatis antara sains sekuler dan sains integralistik. Perbedaan paradigma itu sesuai dengan pengertian paradigma sebagaimana dimaksud oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions, di mana sains sekuler sebagai normal sciences dan sains integralistik (sains Islam) yang sedang dirintis sebagai revolusi … Jadi, paradigma baru itu sebenarnya lebih luas daripada perbedaan paradigma ilmu fisika (dinamika Newton, teori elektromagnetik, mekanika kuantum) atau perbedaan dalam paradigma psikologi (Freudianisme, Behaviorisme, Humanisme). (Kuntowijoyo, 2007: 49–50)
Dengan demikian, revolusi saintifik yang dimaksud oleh Kuntowijoyo dari sains sekuler menuju sains integral dilakukan melalui suatu pergeseran paradigma (paradigm shift), dari paradigma sains Barat modern dan pasca-modern menuju paradigma sains Islam. Tipologi aktivitas ilmiah yang ditempuh untuk mewujudkannya ada dua macam: (1) jalur internal pengilmuan Islam atau objektifikasi, yaitu manifestasi konsep-konsep internal Islam ke dalam ranah ilmiah, teoretis, rasional, empiris, dan objektif serta (2) jalur eksternal integrasi sains, yaitu evaluasi kritis, penyaringan, penyesuaian, dan perbaikan konsep-konsep sains yang dikembangkan oleh peradaban luar. Gerakan ilmiah inilah, menurut Kuntowijoyo, ranah yang menjadi tugas utama umat Islam saat ini.
Perlu dicatat bahwa ia tidak menggunakan istilah Islamisasi sains karena khawatir bahwa istilah itu akan menimbulkan ketakutan dari kalangan sekuler dan non-Islam terhadap dominasi Islam. Ia menyadari bahwa umat Islam di Indonesia selama ini tersisih dan tertekan karena jumlah orang masih sekuler masih banyak dan kurang simpatiknya kaum elite terhadap pemikiran Islam. Untuk menghindari kompleks dominasi-subordinasi itu, ia berharap konsep pengilmuan Islam atau objektifikasi dan integrasi sains yang diusulkannya itu dapat diterima oleh semua kalangan, sehingga di satu sisi sekularisasi dapat dihindari, dan di sisi lain meminimalkan penolakan prematur terhadap upaya desekularisasi itu. (Kuntowijoyo, 2007: 62–63)
Dari Sains Integral Menuju Ilmu Sosial Profetik
Gagasan revolusi sains kontemporer melalui pergeseran paradigma menuju sains Islam yang integralistik itu lalu dikembangkan oleh Kuntowijoyo menjadi konsep ilmu sosial profetik. Ilmu sosial profetik merupakan ilmu sosial yang dilandasi oleh paradigma sains Islam yang dirumuskan dari konsep-konsep yang ada dalam wahyu dan konsep-konsep sains sosial kontemporer yang telah diseleksi, disesuaikan, dan diperbaiki agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, wahyu menjadi sumber pengetahuan dalam ilmu sosial profetik, sekaligus berfungsi sebagai referensi atau pemandu akal dan pengamatan dalam menafsirkan realitas sosial. Ini yang membedakannya dari sains sosial Barat.
Peraih Hadiah Sastra, Majelis Sastra Asia Tenggara (2001) itu menuliskan: “Kerangka konseptual ilmu-ilmu sosial harus didasarkan pada Al-Quran dan As-Sunah. Tidak ada pengganti selain itu. Adalah benar bahwa sains Barat, yang merupakan akibat dari eksplorasi berabad-abad dan yang pemikiran Islam telah membantu dalam pembentukannya, pada intinya tidak bertentangan dengan prinsip ilmiah, tetapi ideologi sains Baratlah yang sering menimbulkan posisi aneh ketika diterapkan dalam masyarakat Muslim … Dalam bidang teori, kita hanya dapat menggunakan sains-sains sosial Barat secara selektif, … dengan mengangkat prinsip-prinsip Islam yang fundamental dan tetap.” (Kuntowijoyo, 2008: 604)
Perbedaan lainnya antara ilmu sosial profetik dengan sains sosial kontemporer adalah bahwa ilmu sosial profetik “tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetik tidak sekadar mengubah [keadaan masyarakat] demi perubahan, tapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Ilmu sosial profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dan cita-cita perubahan … yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110 surah Āli ʿImrān.” (Kuntowijoyo, 2008: 482–483)
Tiga Pilar Ilmu Sosial Profetik
Mantan Ketua Studi Grup Mantika itu juga merumuskan tiga konsep yang menjadi pilar dari ilmu sosial profetik, meski terdapat problem peristilahan mengenainya yang mesti diberikan catatan. Ketiga pilar itu adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Istilah humanisasi kontroversial karena berkelindan dengan konsep humanisme atau antroposentrisme dalam filsafat sains sekuler yang justru ingin Kunto lawan. Maksudnya sebenarnya adalah agar manusia kembali kepada fitrah insani lewat amal makruf, sehingga istilah yang lebih tepat adalah “memfitrahkan manusia”. Berikutnya, istilah liberasi tidak bisa lepas dari konsep liberalisme yang juga ingin Kunto lawan, sehingga perlu dikritisi. Maksudnya sejatinya adalah membebaskan manusia dari cengkeraman kezaliman, sehingga istilah yang lebih tepat adalah “futuḥat”]. Selanjutnya, istilah transendensi dapat diterima, maksud utamanya adalah tu’minūna bil-Llāh (menjadikan iman kepada Allah sebagai basis keilmuan). Hanya perlu dicatat bahwa dalam konsepsi Tauhid Islam, Allah itu transenden sekaligus imanen. (Kuntowijoyo, 2007: 99)
Paduan dan keseimbangan yang harmonis di antara ketiga unsur itulah yang membedakan Islam dari berbagai pandangan alam, paradigma, ideologi, dan agama lain di dunia. Liberalisme, suatu turunan paham yang berlandaskan tipologi pandangan alam individualisme, mementingkan kebebasan individual, tidak mengakui otoritas Ketuhanan dan kepentingan keumatan. Sosialisme, suatu turunan paham yang berbasiskan tipologi pandangan hidup egalitarianisme, menekankan konsepsi kesamarataan komunal / sosial, mengekang kemerdekaan individual dan tidak mengakui otoritas Ketuhanan. Sementara itu, kebanyakan agama di dunia selain Islam hanya mengutamakan unsur transendensi, sehingga melulu berkutat soal ritual ibadah, tanpa mempunyai konsepsi dan konstruksi peradaban. (Kuntowijoyo, 2007: 99) Ilmu Sosial Profetik menggabungkan ketiganya, yang satu tidak terpisah dari yang lainnya. Pandangan alam dan paradigma Islam itu tidak memisah-misahkan atau mendikotomikan antara sisi kemanusiaan-individual, keadilan-sosial, dan spiritualitas ketuhanan. Islam tidak mempertentangkan antara diri insan (nafs) dengan umat, sebagaimana liberalisme dan sosialisme mempertentangkan antara prinsip individual dan komunal. Islam tidak mendikotomikan antara dunia dan akhirat atau material dan spiritual sebagaimana agama-agama lainnya, atau meminjam istilah drama gubahan Henrik Ibsen, Emperor and Galilean (1873), peradaban Islam — yang disebut sebagai Third Empire yang akan datang dan menang — adalah kesatuan harmonis “Logos in Pan” sekaligus “Pan in Logos”.
Alasan Kuntowijoyo Memprioritaskan Ilmu Sosial
Revolusi paradigma sains sosial lebih diprioritaskan oleh Kuntowijoyo daripada pergeseran paradigma sains natural karena beberapa alasan. Pertama, objek kajian dari sains natural (alam semesta fisik) lebih bersifat eksak dan objektif daripada objek kajian sains sosial (manusia dan masyarakat) yang sangat subjektif, sehingga pertentangan dan perbedaan antara paradigma Barat dan paradigma Islam dalam penafsiran terhadap fenomena sosial akan lebih besar daripada perbedaan dalam penafsiran fenomena natural. Perbedaan keduanya dalam memandang gravitasi, misalnya, terletak pada ranah yang lebih filosofis atau bernuansa kalam, seperti soal hubungan sebab-akibat, peran Tuhan dalam fenomena gravitasi, dan sebagainya, sementara pada aspek matematis, fisis, dan teknisnya, cenderung sepakat. Sementara itu, perbedaan kedua paradigma itu dalam penafsiran sains sosial dapat sangat menyeluruh, dari ranah filosofis sampai ke ranah teknis. Dalam kajian gender misalnya, pandangan paradigma feminis-liberal-progresif dengan paradigma Islam soal definisi wanita saja sudah sangat berbeda di level teknis, apalagi di level filosofis.
Kedua, dengan letak perbedaan yang semacam itu, dampak perbedaan dan pertentangan antara kedua paradigma itu dalam sains sosial akan lebih langsung dan luas terasa daripada dampak perbedaan dan pertentangan dalam sains natural. Orang Islam dapat menerima adanya hukum gravitasi, tetapi menafsirkannya secara berbeda dari orang sekuler, yaitu bahwa hukum gravitasi itu sejatinya adalah bagian dari SunnatuLlāh, bukan hukum alam sebagaimana yang dipahami oleh sains Barat. Perbedaannya terletak dalam ranah penafsiran yang filosofis atau kalam yang kurang dipikirkan oleh masyarakat awam sehingga dampaknya lebih subtle, sementara perbedaan dalam sains sosial yang lebih menyeluruh dari ranah filosofis sampai ranah teoretis-praktis, sehingga dampaknya akan lebih langsung. Contohnya adalah kebijakan bolehnya transgender menggunakan toilet perempuan dan berkompetisi dalam bidang olahraga perempuan seperti yang diberlakukan di Barat, berakar pada perbedaan pandangan gender yang menyeluruh dari ranah filosofis hingga teoretis-praktis, sehingga dampak negatifnya sangat direct dirasakan oleh publik, berupa perasaan tidak aman bagi Muslimah dan wanita asli pada umumnya saat menggunakan toilet publik (seperti di sekolah dan kampus) dan kalahnya atlet-atlet wanita tulen dari atlet-atlet wanita jadi-jadian di cabang olahraganya sendiri.
Ketiga, pengaruh worldview (pandangan alam) dan paradigma dalam sains sosial memang lebih besar daripada pengaruhnya dalam sains natural. Hal itu bukan berarti paradigma dan pandangan hidup itu sama sekali tidak berpengaruh dalam sains eksak-natural, tetap ada, hanya pengaruhnya lebih besar dan langsung terasa dalam sains sosial. Ketiga alasan itu tercermin dari pernyataan Kuntowijoyo: “Seorang yang taat beragama dan mempelajari ilmu-ilmu alam (teknik, fisika, farmasi, pertanian, kedokteran) tidak banyak mempunyai persoalan dengan aspek muamalah dari agama, masalahnya hanya orang beriman atau tidak beriman. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan (sosiologi, antropologi, politik, sejarah, filsafat) akan mempunyai persoalan besar. Itu semua karena aspek muamalah dari agama termasuk wilayah-wilayah ilmu kemanusiaan. Orang yang belajar ilmu-ilmu alam akan menerima agama (akidah, ibadah, akhlak, syariat, muamalah) sebagai adanya, sebagaimana mereka menerima hukum-hukum dalam ilmu alam. Tetapi tidak demikian bagi mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan, yang tidak mengenal hukum yang pasti dan berlaku umum.” (Kuntowijoyo, 2007: 38)
Pandangan suami Drs. Susilaningsih M.A., tentang perbedaan pengaruh worldview dan paradigma dalam sains sosial dan sains natural itu menunjukkan kesesuaian dengan pandangan pengusung Islamisasi sains seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Hamid Fahmy Zarkasyi. Al-Attas menjelaskan bahwa: “These elements and key concepts [of worldview and paradigm] are mainly prevalent in that branch of knowledge pertaining to the human sciences, although it must be noted that even in the natural, physical and applied sciences, particulary where they deal with interpretation of facts and formulation of theories, the same process of isolation of the elements and key concepts should be applied; for the interpretations and formulations indeed belong to the sphere of the human sciences.” (al-Attas, 1993: 162) Sementara itu, Zarkasyi menyatakan: “Implikasi epistemologis dari pandangan alam dan paradigma berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Pandangan alam dan paradigma tampak kurang berpengaruh (tidak untuk mengatakan tidak berpengaruh sama sekali) dalam apa yang disebut sebagai ilmu eksak, teknis, dan formal, tapi lebih banyak berpengaruh pada ilmu humaniora, ilmu sosial, dan seni halus.” (Zarkasyi, 2016: 24)
Potensi Pengembangan Ilmu Sosial Profetik
Dengan urgensi pergeseran paradigma yang lebih besar dalam sains sosial dibandingkan dalam sains natural-eksak itu, Kunto mengusulkan agar dilakukan pengembangan cabang-cabang ilmu sosial profetik untuk menghadapi tantangan sekularisme yang lebih direct di dalam cabang-cabang sains sosial kontemporer. Mantan peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan UGM itu sempat menguraikan secara singkat beberapa potensi pengembangan konsep ilmu sosial profetik berdasarkan paradigma Islam itu ke dalam berbagai bidang ilmu sosial, termasuk psikologi Islam, filsafat Islam tentang sejarah, dan pendidikan civic berbasis pandangan hidup Islam.
Psikologi Islam
Disiplin ilmu psikologi Islam saat ini tengah berkembang, dengan tokoh intelektual utamanya seperti Dr. Malik Badri. Soal potensi pengembangan cabang ilmu ini, Kunto menyatakan: “Penolakan terhadap sekularisme dapat berkembang menjadi sebuah gerakan intelektual. Kajian psikologi barangkali dapat disebut sebagai kajian yang cukup berkembang karena kedekatan psikologi dengan nilai dalam norma agama sendiri … memberi jalan untuk tumbuhnya psikologi Islam.” (Kuntowijoyo, 2008: 524) Tidak hanya teoretis, konsepsi cabang keilmuan ini juga berkembang ke ranah praktis, terutama terkait dengan isu konseling psikologis dan perbaikan jiwa menggunakan prinsip-prinsip dalam wahyu. Dengan demikian, “Al-Quran [dan Sunah] telah berfungsi untuk transformasi psikologis … serta penyempurnaan kepribadian Islam … Ia juga berfungsi pada level yang objektif untuk transformasi kemasyarakatan.” (Kuntowijoyo, 2008: 551–552)
Filsafat Islam tentang Sejarah
Menurut penerima penghargaan FEA Right Award Thailand (1999) itu, Filsafat sejarah Islam memiliki tiga pendekatan: teologis, teoretis, dan epistemologis. (Kuntowijoyo, 2008: 600) Filsafat teologis Islam tentang sejarah adalah semacam usaha untuk menguraikan konsep Al-Quran mengenai sejarah, suatu elaborasi menyangkut sains wahyu, meliputi masalah-masalah tentang kehendak Allah dalam sejarah, peranan manusia sebagai khalifah-Nya, misteri tentang kehidupan yang dibawa oleh sejarah, masalah kebebasan sejarah dan takdir (determinisme), dan makna perbuatan manusia di dalam sejarah. Filsafat sejarah bersifat normatif dan apriori. Pendekatan filsafat teoretis Islam tentang sejarah adalah campuran antara sejarah teologis dan empiris. Ia merupakan sebuah elaborasi mengenai regularitas (keteraturan) dalam sejarah, dialektika dan kepastian, signifikansi Islam dalam sejarah universal, masalah tindakan personal dan kolektif, dan masalah tentang kemunduran dan kemajuan. Sementara itu, pendekatan epistemologis Islam tentang sejarah membahas unit dan objek studi, eksplanasi historis, objektivitas historis, penilaian historis, dan tempat atau kedudukan sejarah dalam kerangka umum ilmu pengetahuan. (Kuntowijoyo, 2008: 601)
Selain kajian filsafat sejarah, kajian historiografi dalam perspektif Islam juga mesti memiliki paradigma yang khusus, agar sudut pandang Islam ditonjolkan dalam tulisan-tulisan sejarah yang ditulis oleh kaum Muslimin. Makna penting historiografi Islam adalah untuk mengetahui bagaimana sejarawan Muslim memahami sejarah mereka sendiri dan sejarah kaum non-Muslim dan bagaimana mereka berbeda pandangan dengan sejarawan non-Muslim, sehingga dapat menjernihkan kepalsuan yang terdapat dalam literatur-literatur Barat. (Kuntowijoyo, 2008: 601–602) Sifat khas sejarah Islam membutuhkan pendekatan khusus. Historiografi Islam akan jauh berbeda dengan literatur Barat, menyangkut unit studi, aktor-aktor sejarah, signifikansi peristiwa-peristiwa, dan periodisasi. Hal itu karena, berbeda dari sejarah masyarakat Barat yang ditulis dari perspektif sekuler, sejarah masyarakat Muslim adalah fenomena multidimensional dengan iman sebagai pusatnya, karena tidak ada pemisahan antara yang suci dan yang profan dalam Islam. (Kuntowijoyo, 2008: 603–604)
Pendidikan Civic dan Pandangan Hidup Islam
Pendidikan “civic Islam” merupakan suatu pengajaran tentang posisi seseorang dalam lingkup keseluruhan sejarah dan peradaban Islam. Pendidikan ini dilakukan dalam rangka menyadarkan seorang Muslim bahwa agamanya, yang terdapat pada dirinya, merupakan sebuah pandangan hidup dan peradaban sekaligus dan bahwa itu menuntut kreativitas pribadinya dan kreativitas umat secara keseluruhan untuk dapat melakukan perbaikan keadaan. Melalui pendidikan ini, seorang Muslim secara individual dan pada ujungnya umat Islam secara kolektif dapat memiliki kesadaran akan posisinya sebagai aktor sejarah dan peradaban, sehingga menghasilkan suatu dorongan untuk bertindak secara sesuai. (Kuntowijoyo, 2008: 607) Pengajarannya tampak bersifat lintas disiplin, terkait dengan kajian sejarah, sosiologi, ekonomi, hukum, dan berbagai cabang keilmuan lain yang terkait dengan kajian tentang kedudukan seseorang dalam totalitas peradaban.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed M. Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.
Kuntowijoyo. 2007. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Editor: AE Priyono. Bandung: Mizan.
Kuntowijoyo. 2018. Identitas Politik Umat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2016. “Paradigma Sains Islam”, Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Editor: Syamsudin Arif. Jakarta: INSISTS.