Gender dan Problematika Keadilan
“My Body is My Right”, klaim mereka. Pernah mendengar kalimat ini? Kalimat ini bukan terkait dengan keterkengkangan budak ataupun penindasan suatu kaum. Ini merupakan sebuah kalimat yang menjadi slogan kampanye perjuangan hak-hak kaum perempuan. Ya, perjuangan kaum hawa untuk menuntut seluruh hak atas tubuhnya, yang diyakini cenderung dieksploitasi oleh dominansi laki-laki. Kalimat ini bukan kalimat yang baru, tapi sudah menjadi inti dari sebuah pergerakan massif yang muncul sejak abad ke-18, sebuah pergerakan bernama feminisme. Ada apa dengan perempuan sehingga muncul tuntutan sedemikian rupa?
Munculnya gerakan feminisme mungkin bisa dipahami dengan baik melalui perspektif historis. Dapat kita lihat bagaimana feminisme muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap penekanan hak-hak perempuan yang pada masanya masih banyak dibatasi, baik dalam hal akses terhadap pendidikan, kesempatan memilih (vote), hingga upah kerja. Akan tetapi, ketika perlahan semua keterbatasan hak perempuan tersebut mulai dihapus secara legal seiring munculnya gerakan feminisme gelombang pertama dan kedua, mengapa gerakan feminisme masih muncul dan justru terlihat semakin berkembang di masa kini, dalam bentuk yang mereka sebut sebagai gelombang ketiga?
Gerakan feminisme gelombang ketiga memperluas paradigma perjuangan yang dilakukan pada gelombang pertama dan kedua menjadi perjuangan untuk melawan ketidakadilan (inequality) yang muncul dari perspektif gender. Ketidakadilan ini terjadi tidak lagi dalam bentuk formal, seperti apa yang mendasari munculnya feminisme gelombang pertama, ketika perempuan literally tidak diperbolehkan untuk masuk ke perguruan tinggi ataupun diberi upah yang lebih sedikit ketimbang laki-laki, namun ketidakadilan ini dipandang sebagai efek dari struktur sosial yang memang cenderung mendiskreditkan kaum tertentu secara tidak langsung. Ide mengenai feminisme gelombang ketiga ini direpresentasikan dengan kalimat yang ditulis oleh Bell Hooks dalam bukunya, Ain’t I a Woman, “The process begins with the individual woman’s acceptance that american women, without exception, are socialized to be racist, classist, and sexist, in varying degrees”. Kalimat ini sederhana, namun tajam dan penuh sarkasme, karena ia menganggap bahwa konsep rasis dan seksis bukan lagi hal yang sifatnya ideologis-formal, namun sociallized melalui struktur sosial yang secara tidak langsung memang menciptakan ketidakadilan. Karena itulah, konsep feminisme berkembang dari yang hanya berfokus pada wanita, kemudian meluas ke segala bentuk ketidakadilan gender yang tercipta secara sosial. Bukankah gender memang secara natural membedakan laki-laki dan perempuan? Mengapa gender lantas dipersoalkan?
Konsep gender merupakan konsep yang awalnya setara dengan sex atau jenis kelamin. Namun seiring dengan berubahnya keadaan sosial secara global, perkembangan pemikiran modern, dan berbagai aspek sosiologis lainnya, gender mulai dianggap sebagai sesuatu yang berbeda daripada sex. Dalam paradigma fungsi sosial, identitas kelamin memang secara tidak langsung mendefinisikan perannya di masyarakat, karena secara antropologis, kemampuan laki-laki yang secara fisik cenderung lebih kuat dan tidak terikat pada fase kehamilan, menyusui, ataupun periode hormonal tertentu, akan secara otomatis memberikan peran yang lebih otonom dan agresif kepada laki-laki, seperti mencari makanan ataupun berperang. Berakar dari sini, maka jelas bahwa gender adalah konsekuensi langsung dari sex. Akan tetapi, ketika peradaban berkembang dan pembagian peran menjadi lebih kompleks dan tidak lagi selalu bergantung pada kekuatan fisik ataupun kebebasan tertentu, maka penyatuan konsep gender dan sex pun mulai dipertanyakan.
Pertanyaan tentang gender ini mulai muncul sebagai ide yang mendasari gerakan feminisme gelombang kedua, ketika kecenderungan perilaku seseorang dalam masyarakat seakan-akan terdefinisi secara langsung dari jenis kelamin. Ketika sex adalah suatu aspek biologis, maka perilaku, peran, dan cara berpikir adalah suatu hal yang sifatnya psikologis, sama sekali tidak bisa didefinisikan hanya dari sex yang merupakan aspek biologis. Charlotte Perkins Gilman, seorang sosiolog dan feminis gelombang kedua menuliskan jelas hal ini pada Women and Economics, dimana ia mengatakan There is no female mind. The brain is not an organ of sex. As well speak of a female liver. Ketika semua organ tubuh yang lain selain kelamin antara laki-laki dan perempuan cenderung sama, mengapa lantas otak perempuan dan otak laki-laki dibedakan? Ide dasar ini yang kemudian melahirkan pendefinisian ulang gender sebagai suatu identitas yang terdefinisi dari karakter personal dan peran sosial seseorang di masyarakat, berbeda dengan sex yang hanya merupakan pembeda biologis antara laki-laki dan perempuan. Gagasan ini, bahwa gender merupakan konstruksi sosial, yang kemudian menjadi tulang punggung konsep gender equality dalam feminisme gelombang kedua.
Pengajuan konsep gender sebagai konstruksi sosial sesungguhnya tidak muncul serta merta sebagai konsekuensi dari perkembangan peradaban yang semakin membuka banyak kemungkinan peran masyarakat yang tidak terbatasi fisik. Berbagai faktor mempengaruhi cara berpikir yang mempertanyakan pembagian peran pria-wanita sebagai pengekangan atas kebebasan kaum perempuan. Bagaimana lahirnya filsafat modern yang diikuti dengan era pencerahan yang bernuansa kultur kritik dan perjuangan atas kebebasan di Eropa kemudian menjadi faktor penyebab yang cukup signifikan mempengaruhi refleksi kaum perempuan atas perlakuan sosial atas jenis kelamin. Dengan pemikiran-pemikiran sewarna yang muncul kemudian dari efek domino revolusi pemikiran di Eropa, seperti liberalisme dan sekularisme, yang semuanya berbasis paradigma refleksi radikal dan individualitas, maka tinggal menunggu waktu hingga segala aspek yang pada awalnya bersifat natural dan common sense ikut dipertanyakan, termasuk wanita.
Ketika hak-hak perempuan sudah jelas-jelas telah terbuka lebar saat ini, dimana sudah begitu banyak wanita yang bergelar sarjana, magister, bahkan doktor, dan dimana tidak ada lagi batasan kelamin dalam hal pemberian upah maupun penerimaan kerja, maka ketidakadilan seperti apa lagi yang masih dipermasalahkan? Dalam sosiologi, interaksi dan identitas sosial cenderung bersifat simbolik, yang seringkali direpresentasikan oleh hal-hal material yang pada awalnya bersifat netral. Sebagai contoh, kelaki-lakian sering diidentikkan dengan kopi, rokok, atau pertandingan sepakbola, sedangkan keperempuanan sering diidentikkan dengan memasak, rok, atau sinetron drama. Identifikasi gender berdasarkan simbol-simbol sosial ini kemudian dianggap sebagai constrain abstrak yang secara tidak langsung membatasi kapabilitas perempuan untuk berkembang sama seperti laki-laki. Mengapa anak perempuan harus diberi mainan boneka sedangkan laki-laki mobil-mobilan? Penilaian sosial yang sifatnya mengakar pada struktur sosial yang ada dalam masyarakat inilah yang kemudian menjadi target kritik feminisme gelombang ketiga.
Contoh besar ketidakadilan yang sering diangkat adalah bagaimana akses perempuan untuk bisa menjadi pemimpin dimanapun saat ini masih sangatlah kecil dibandingkan laki-laki. Hampir jarang ada kepala negara seorang perempuan, dan masih jarang juga Dirut perusahaan seorang perempuan. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pembagian peran dalam masyarakat menjadi bersifat simbolik ketika dianggap yang satu lebih utama ketimbang yang lainnya tanpa melihat secara inheren pada individual yang terkait. Semisal, laki-laki cenderung dipilih sebagai pemimpin karena dianggap rasionalitas adalah hal yang utama dalam pengambilan keputusan dan laki-laki secara psikis cenderung lebih rasional ketimbang perempuan. Namun, mengapa hal yang emosional dan simpatik mendapat impresi yang lebih rendah dalam hal kepemimpinan ketimbang rasionalitas? Bukankah keduanya bersifat komplementer dan hanyalah aspek-aspek setara dari cara memimpin sehingga tidak bisa dikatakan yang satu lebih positif ketimbang yang lain? Lagipula, kecenderungan psikis tersebut tidak menjamin perempuan tidak mampu bersikap rasional, yang jelas-jelas sudah banyak terbukti pada perempuan-perempuan yang berhasil dalam hal kepemimpinan, juga hal-hal lainnya dimana laki-laki masih dianggap lebih menguasai. Hal-hal seperti ini meluas seluas-luasnya sehingga segala bentuk paradigma sosial yang berkembang di masyarakat dianggap membentuk stratifikasi yang secara tidak langsung membentuk ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konsep yang lebih jauh lagi, feminisme gelombang ketiga secara general pun mengakui segala bentuk identitas yang terbentuk dalam seseorang terlepas dari sex yang dimilikinya, yang dalam hal ini terimplikasi dalam bentuk pengakuan terhadap transgender. Seseorang yang ketika lahir berkelamin perempuan, tidak lantas berarti ia harus bersikap menjadi seperti simbol perempuan yang dipegang oleh masyarakat. Ketika ia berkembang menjadi menyenangi hal-hal yang maskulin, itu bukanlah hal yang salah karena pembatasan gender adalah salah satu struktur sosial yang dikritik oleh feminisme. Dalam pandangan yang lebih radikal lagi (literally disebut feminisme radikal), salah satu cara menghapus ketidakadilan gender adalah dengan menghapus konsep gender itu sendiri. Artinya, segala bentuk pembagian peran dan identitas simbolik yang ada pada masyarakat harus ditiadakan. Yang ada hanyalah manusia sebagai individu, dan seorang individu berhak menjadi apapun yang ia inginkan.
Konsep dasar feminisme yang merupakan perjuangan terhadap hak-hak kaum perempuan membuat pergerakan ini cenderung licin untuk diantisipasi. Sudah menjadi hal yang mulia dan wajar bagi masyarakat untuk membela hak-hak kaum perempuan atas nama keadilan, akan tetapi, pada titik tertentu konsep gender equality perlu melalui penyaringan ketat karena implikasi dari ide ini akan meluas kemana-mana, termasuk pengakuan terhadap kaum LBGT. Dalam waktu ini, struktur sosial mungkin masih secara wajar mendiskreditkan adanya tindakan-tindakan amoral seperti LGBT ataupun masih secara natural menciptakan pembagian peran pria-wanita, minimal di keluarga dimana wanita merupakan sosok yang lebih pantas untuk mengasuh anak. Akan tetapi, konsep gender equality perlahan menjadi sebuah gerakan global yang mau tidak mau bisa menjadi ancaman terhadap struktur sosial yang sudah ada, dan bersamanya juga menjadi ancaman pada konsep-konsep agama yang secara tegas membedakan pria-wanita seperti Islam. Bahkan, gender equality sudah menjadi salah satu poin dalam Sustainment Development Goals yang ditetapkan PBB pada 2015 lalu.
Kemana gerakan feminisme ini akan berujung sukar untuk diprediksi. Akan tetapi, tidak seperti virus lainnya, mengantisipasi feminisme akan menjadi pekerjaan rumah yang cukup sulit bagi muslim. Bagaimana menyadarkan adanya pembagian peran yang berbasis pada kodrat dasar pria dan wanita ketika wanita semakin dipandang sama seperti laki-laki? Ketika wanita semakin diberi kesempatan untuk berkarir tinggi, memimpin, atau mengerjakan hal-hal lain yang sewajarnya dilakukan laki-laki, maka setiap generasi baru perempuan akan menganggap bahwa berkarir adalah hal yang wajar dan dengan itu pekerjaan mengurus rumah tangga bukan lagi hal yang populer. Jika demikian, bagaimana generasi islam baru akan dididik? Perhatikan bahwa pada saat ini pun, wanita menuntut ilmu tinggi dan berkarir seperti halnya laki-laki sudah menjadi hal yang sangat wajar sehingga wanita yang hanya ingin mengurusi rumah justru yang dipandang aneh. Pembagian peran pria-wanita bukan berarti wanita tidak punya hak untuk berkarya dan berkembang, akan tetapi, wanita punya wilayah tersendiri untuk mengembangkan diri sebagaimana potensi yang mereka miliki namun tidak dimiliki laki-laki. Mengapa memandang pembagian peran adalah hal yang merendahkan kaum perempuan ketika jelas-jelas banyak hal yang bisa dilakukan perempuan namun tidak bisa dilakukan oleh laki-laki dengan baik? Mindernya perempuan dengan ketidakmampuan berkarir disebabkan karena konsep kesetaraan, keadilan, dan kebebasan yang beredar di masyarakat saat ini sudah terkontaminasi oleh materialisme dan hal-hal yang menyertainya. Ketika konsep dasar, gagasan utama, inti pemikiran, dari kesetaraan, keadilan, dan kebebasan sudah rusak, bagaimana memperbaiki yang terbangun di atasnya? Penulis sendiri belum memiliki solusi untuk diajukan terkait hal ini mengingat masalah ini merupakan masalah yang kompleks dan terkait dengan banyak aspek. Yang jelas, sebagai muslim, kita harus tetap memahami bahwa konsep keadilan dan konsep gender telah diatur sedemikian rupa sesuai dengan kodrat yang inheren ada pada laki-laki dan perempuan. Kita bisa lihat bagaimana islam mampu menaikkan derajat perempuan ketika cenderung terhinakan oleh kultur Quraisy dan arab badui pada masa pra-Rasulullah. Akan menjadi tugas kita, muslim saat ini, untuk menunjukkan kemuliaan islam tersebut sebagai alternatif dari sistem sosial yang masih mengandung stratifikasi gender.
Wallahualam bi Sawab
____________
Ditulis oleh,
Aditya Firman Ihsan
(Direktur Shuffah Institute, Mahasiswa Doktoral Matematika ITB)
Daftar Pustaka
- Macionis, John J. (2012). Sociology. Harlow: Pearson Education Limited.
- Martineau, Harriet (Auth), Hill, Michael R. and Hoecker-Drysdale, Susan (Ed.). 2003. Theoretical and Methodological Perspectives. New York: Routledge.
- Gilman, Charlotte Perkins. 1970 [1898]. Women and Economics. New York: Source Book Press.
- Ihsan, Aditya F. 2018. Booklet Phx #29: Kaffah. Swa-publikasi. Tersedia di http://phoenixfin.me/bookletphx-29
- Ihsan, Aditya F. 2016. Booklet Phx #30: Kaffah bagian 2. Swa-publikasi. Tersedia di http://phoenixfin.me/bookletphx-30
- Resolusi PBB No. A/Res/70/1, Transforming Our World: The 2030 Agenda For Sustainable Development.