Gelombang Sejarah dan Islamisasi Sains

Shuffah Institute
12 min readMar 12, 2023

--

Artikel ini dikembangkan dari poin-poin yang saya sampaikan dalam Kuliah Subuh MABIT Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Bandung Angkatan 8 di Lembang, 19 November 2022.

Oleh M Miftahul Firdaus, peneliti Shuffah Institute dan alumni SPI Bandung

Alija Izetbegovic, Presiden pertama Bosnia Herzegrovina, dalam suatu pidatonya menyatakan bahwa manusia tidak menentukan arah sejarah, Tuhanlah yang menentukan arah sejarah, dan bahwa Leo Tolstoy, sastrawan kenamaan Rusia, menulis novel ribuan halaman hanya untuk membuktikan hipotesis itu. Lalu, bagaimanakah Tuhan menentukan arah sejarah? Jika kita meninjau Quran surah Āli ʿImrān ayat 140, kita dapati suatu pernyataan mengenai konsep tadāwul, yang di antaranya mencakup makna pergiliran, perputaran, atau siklus dalam sejarah: Wa tilka l-ayyāmu nudāwiluhā, yang berarti, “Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kejayaan dan kehancuran, kebangkitan dan keruntuhan) Kami pergilirkan / perputarkan di antara manusia.”

Sebelumnya dalam ayat 137 juga dinyatakan, “Qad khalat min qablikum sunanun”, yang bermakna, “Telah berlalu sebelum kalian sunanun.” Kata sunanun merupakan jamak dari sunah, yang berarti jalan atau kaidah, sehingga pernyataan itu menegaskan bahwa dalam perjalanan sejarah dari umat-umat terdahulu (sebelum kalian) terdapat suatu ketetapan tertentu yang mengaturnya; jalan-jalan, kaidah-kaidah, metodologi tertentu yang mengatur bergulirnya roda sejarah.

Di antara kaidah-kaidah itulah yang dinyatakan dalam frasa tentang tadāwul dan ayyām dalam ayat 140 di atas, yaitu bahwa terdapat masa-masa naik dan turun yang dipeputarkan atau dipergilirkan di antara kaum-kaum yang ditakdirkan menjadi pelaku sejarah. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa sejarah itu tidak berjalan secara linear, tetapi berjalan secara siklis, seperti suatu gelombang. Dengan begitu pula, suatu kaum, suatu masyarakat, suatu negara, suatu imperium, suatu kebudayaan, dan suatu peradaban akan memiliki masa-masa keemasan dan kegelapan yang dapat silih berganti seperti bukit dan lembah dalam sebuah gelombang sejarah.

Jika kita memberlakukan kesimpulan umum dari pernyataan tersebut kepada data-data sejarah yang ada, kita akan mendapati suatu kesesuaian umum. Peradaban Barat misalnya, yang menjadi hegemoni dunia masa kini, mengalami pasang-surut gelombang sejarah, dari keemasan mereka di masa kejayaan Romawi, lalu mulai mengalami penurunan di masa perpecahan Romawi Barat dan Romawi Timur (Byzantium), lalu terus mundur ke Zaman Kegelapan Eropa (Dark Age), sebelum melakukan gerakan penerjemahan naskah-naskah sains, literatur, dan filsafat dari bahasa Arab ke bahasa Latin di abad ke-12 dan 13, lalu mengalami Kelahiran Kembali (Renaissance), Zaman Penjelajahan Samudra, dan Zaman Pencerahan (Aufklarung), yang berpuncak pada berkembang pesatnya sains dan teknologi modern di abad ke-18, 19, dan 20.

Begitu pula bangsa-bangsa yang menjadi komponen penyusun peradaban Barat itu memiliki siklus pasang-surut masing-masing. Abad ke-16 adalah era dominasi Belanda, abad ke-17 adalah masa dominasi Spanyol-Portugal, abad ke-18 dan 19 adalah masa kejayaan Britania, dan setelah dua Perang Dunia meluluhlantakkan Eropa, hegemoni dunia abad ke-20 pun dipegang oleh Amerika Serikat (AS). Namun, secara keseluruhan, abad ke-16 hingga 20 merupakan masa kejayaan peradaban Barat, setelah sempat mengalami kegelapan dari abad ke-5 hingga abad ke-15. Nilai-nilai peradaban Barat itu pun tersebar ke seluruh dunia, baik dari cabang tafsiran individualisme — liberalisme — kapitalisme, maupun dari cabang tafsiran kolektivisme — sosialisme — komunisme. Kita lihat bangsa-bangsa non-Barat pun yang sempat atau tengah mengalami kemajuan material yang pesat, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok, telah terpengaruh oleh nilai-nilai Barat itu, terutama sekularisme, materialisme, dan antroposentrisme (humanisme).

Namun kini, di abad ke-21, dapat mulai kita lihat tanda-tanda kemunduran dari peradaban Barat. Dimulai dari dalam diri mereka sendiri, ketidakpuasan terhadap perkembangan modernisme yang tidak berimbang antara aspek materi dengan aspek kejiwaan, kemasyarakatan, dan kebatinan itu menumbuhkan gerakan perlawanan dalam bentuk postmodernisme, dengan berbagai cabangnya, yang lalu juga berkelindan dengan apa yang disebut sebagai Leftist Identity Politics dan Marxisme Revisionis. Lalu, terjadilah pembelahan antara kubu-kubu itu secara tajam, antara kaum komunis dengan kaum demokratis dan, dalam kaum demokratis itu juga ada pertentangan, antara kaum konservatif dan liberal klasik (kapitalis old school / Laissez Faire) dengan liberal progresif atau demokrat sosial-liberal. Krisis energi melanda AS dan Eropa, dan diperparah oleh konflik Rusia-Ukraina. Kriminalitas meningkat tajam di kota-kota mereka, krisis perbatasan terjadi di selatan AS, pembelahan rasial menimbulkan ketegangan dan kekacauan, wabah woke culture dan LGBTQ melanda dunia pendidikan mereka, feminisme dan seks bebas merusak struktur keluarga mereka, hutang meningkat gila-gilaan bahkan digadang-gadang jadi yang tertinggi sepanjang sejarah, dan berbagai kerusakan lain perlahan-lahan menelan Barat.

Sementara itu, perwakilan peradaban Barat yang berada di Timur, Jepang dan Korsel, juga mengalami pelambatan dan masalahnya sendiri, sementara Tiongkok yang digadang-gadang akan menjadi hegemoni dunia pasca-AS juga menunjukkan tanda-tanda kemunduran, berupa pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi konsisten di atas sepuluh persen, kembalinya model rezim negara dari reformasi ekonomi Deng Xiaoping kepada otoritarianisme tanpa batas Mao Zedong di periode ketiga kepemimpinan Xi Jinping, persekusi dan perampasan aset kepada para pengusaha swastanya yang tidak berafiliasi langsung dengan Partai Komunis Tiongkok (seperti yang dialami Jack Ma), krisis masif yang dialami Evergrande dan pengembang properti lainnya, serta penerapan kebijakan Zero Covid dan Lockdown gila-gilaan yang membunuh ekonomi kelas menengahnya. Di mana-mana orang menyerukan kewaspadaan akan terjadinya krisis selepas 2023 ini.

Lalu, di manakah kedudukan kita di tengah itu semua? Pertama, keadaan yang dialami oleh AS (Barat) dan Tiongkok itu sekilas mengingatkan kepada kalimat HAMKA dalam artikelnya tentang Maulid berjudul “Cahaya Baharu Bagi Dunia” yang pernah diulas dalam kajian Ustaz Akmal Sjafril, yaitu bahwa di saat Nabi Muhammad SAW sedang mendakwahkan Din Islam dan membangun fondasi Tamadun (peradaban) Islam di Tanah Hijaz sana itu, “dua kuasa dunia sedang berlomba-lomba bersetinggi tempat jatuh.” Dua kuasa (hegemoni) dunia yang disebut di masa lalu itu tentu Persia dan Romawi Timur (Byzantine). Dan mereka, sebagaimana AS dan Tiongkok kini bermain proksi di Laut Cina Selatan, sedang memperebutkan hegemoni atas dunia lama (old world), yaitu kawasan sekitar Bulan Sabit Subur yang menjadi penghubung Eurasia dan Afrika.

Maka, ada paralelisme historis dan geografis di sana. Dua kuasa dunia itu sedang bertarung di utara, tidak menyadari bahwa sekonyong-konyong dari arah selatan, suatu kekuatan ketiga, suatu peradaban yang lain sama sekali akan bangkit dan mengalahkan mereka, Hijaz di selatan Romawi-Persia dan Kepulauan Melayu-Indonesia di selatan AS-Tiongkok. Persoalannya, apabila dahulu penyebaran awal Islam menjadi pemantik bagi lahirnya poros kekuatan ketiga itu, apakah juga berlaku paralelisme sementara Islam itu telah dianut oleh Kepulauan Melayu Indonesia itu sudah sejak lama? Jawabannya iya, berlaku paralelisme, tetapi bagi suatu gerakan Islam yang lain, yang dapat disebut sebagai suatu unsur pembaruan (tajdid), yang dinamakan Islamisasi sains.

Apabila kita tengok kepulauan itu, memanglah sudah sejak lama Islam dianut di sana. Akan tetapi, semenjak peradaban Islam itu secara keseluruhan melewati puncak bukit gelombang sejarahnya sebelumnya, yaitu saat futuḥat Konstantinopel sampai masa Sulaiman Agung, dan lalu mulai memasuki fase-fase kemundurannya dari abad ke-16 hingga abad ke-19, Kepulauan Melayu Indonesia itu, bersama-sama dengan bagian besar yang lain dari Dunia Islam, mengalami penjajahan atau kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Barat, yang di antara akibatnya adalah merebaknya nilai-nilai Barat di sana, termasuk sekularisme. Pula di masa perjuangan kemerdekaan Dunia Islam itu di abad ke-19 dan 20, pengaruh sekularisme itu demikian signifikan, sehingga di negara-negara bangsa yang terbentuk dalam Dunia Islam itu, banyak muncul perpecahan tajam di antara kalangan Islam dengan sekuler, yang sebagian masih berlangsung sampai sekarang. Bahkan, khusus bagi negeri kita ini, dapat dikatakan bahwa kaum sekuler selama ini lebih banyak berkuasa, baik di masa Belanda, Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi.

Di tengah kuatnya pengaruh sekularisme yang menimbulkan pembelahan tajam di Kepulauan Melayu Indonesia ini, lahirlah suatu pemikiran yang masyhur dengan konsep pandangan alam Islam (the worldview of Islam, ru’yat l-Islām li-l-wujūd) dan Islamisasi sains (Islamization of Science) / Islamisasi pengetahuan kontemporer (Islamization of Contemporary Knowledge), yang pertama kali digagas oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, ulama Malaysia kelahiran Bogor, pada 1950–1960-an dan dikemukakan dalam berbagai pertemuan ilmiah internasional sejak 1970-an. Konsepsi itu telah disebarkan dan dikembangkan hingga kini setidaknya dalam tiga bidang keilmuan, ekonomi Islam, psikologi Islam, dan arsitektur Islam, dan masih terus berkembang.

Lahirnya pemikiran Islamisasi sains itulah, yaitu suatu upaya untuk menghasilkan sains yang dilandasi oleh pandangan hidup Islam, yang mencerminkan suatu sistem metafisika Islam dan nilai-nilai Islam, sehingga dalam proses pembentukannya itu melakukan pula suatu penguasaan, modifikasi, dan pergeseran paradigma atas sains Barat yang kini dihegemoni oleh nilai-nilai modernisme dan postmodernisme, terutama cabang-cabang dari positivisme, empirisme, dan rasionalisme, yang dapat dikatakan sebagai suatu unsur pemantik perubahan dalam gelombang sejarah yang paralel atau mengandung kesetaraan dengan berkembangnya Islam di abad ke-7 itu. Dengan kata lain, sebagaimana dakwah Islam itu menjadi pemantik revolusi pemikiran dan peradaban bagi masyarakat pagan di Hijaz masa lalu, Islamisasi sains berpotensi menjadi pemantik revolusi pemikiran dan peradaban bagi masyarakat Muslim di Kepulauan Melayu Indonesia yang telah terlalu lama mengalami sekularisasi.

Lalu, apabila kita tinjau periodisasinya dalam sejarah, setidaknya suatu peradaban memerlukan waktu sekitar 3–5 abad untuk membangun filsafat sains dan struktur kerangka keilmuan yang utuh. Peradaban Barat dulu melakukan gerakan transfer dan penerjemahan naskah ilmu pengetahuan dari bahasa Arab ke bahasa Latin antara abad ke-11, 12, dan 13. Filsafat sains modern dan tubuh pengetahuan modern (body of knowledge) mengalami proses pematangan antara abad ke-16, 17, dan 18, lalu menghasilkan buahnya dalam pesatnya perkembangan teknologi di abad ke-19 dan 20. Beberapa bidang memang mengalami pergeseran paradigma, seperti dari mekanika klasik / Newton ke mekanika kuantum dan dari pemikiran sosial modern ke postmodern, tetapi mekanisme klasik dan modernisme masih berpengaruh kuat. Dan dalam praktiknya hingga kini, saintisme modern yang dilandasi oleh positivisme dan empirisme masih menjadi praktik sains normal atau eksemplar dari berbagai kegiatan penelitian dan pendidikan. Maka, dapat dikatakan bahwa dari abad ke-14 ke abad ke-17 dan 18 (sekitar lima abad) itu terjadi pematangan filsafat dan struktur bangunan sains modern, dan abad ke-19 dan 20 (dan mungkin juga 21) merupakan masa buahnya dipetik dan sebagian basis paradigmanya dipertanyakan kembali.

Begitu pula dulu peradaban Islam dalam proses menjadi kuasa ilmu pengetahuan di dunia, memulainya dari proses turunnya wahyu dan kajian atasnya sejak abad ke-7; mengalami pematangan kajian wahyu pada abad ke-8 dan 9; dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan dan penyesuaian atas naskah-naskah ilmu pengetahuan dari Yunani, Persia, India, dan Mesir dari abad ke-9 atau 10; dan menghasilkan struktur bangunan sains Islam sendiri pada abad ke-11, 12, dan 13. Maka, pematangan keilmuan Islam itu terjadi dari abad ke-7 hingga 10 (sekitar empat abad) dan produksi sains menurut acuan Islam sendiri terjadi dari abad ke-11 hingga 13 (sekitar tiga abad).

Dari tinjauan kasus ini, secara sederhana dan longgar disimpulkan bahwa waktu yang dibutuhkan oleh suatu peradaban untuk mematangkan bangunan filsafat sains dan struktur tubuh pengetahuannya berlangsung setidaknya antara tiga hingga lima abad, dengan di dalamnya dapat termasuk fase penerjemahan, penyerapan, dan modifikasi atau naturalisasi sekitar dua abad. Lalu, agar filsafat sains dan sains itu dapat dimanifestasikan ke dalam produk-produk, baik teknis maupun sosial, yang bermanfaat setidaknya diperlukan waktu sekitar tiga abad. Lalu, posisi Islamisasi sains dalam tinjauan gelombang sejarah itu menjadi persoalan berikutnya.

Jika kita bandingkan dengan durasi minimal tiga sampai lima abad yang diperlukan untuk menghasilkan filsafat sains yang utuh itu, Islamisasi sains masih sangat muda, karena baru diusulkan oleh al-Attas di sebagian akhir 1900-an. Sejak 1960-an itu hingga 2022 kini, pemikiran itu baru berusia 60 tahunan. Jika pun kita longgarkan pengertian Islamisasi sains itu dengan mencakup pula pendekatan selain paradigma, yaitu Islamisasi sains pendekatan instrumentalistik, yang ‘sekadar’ mengusulkan agar umat Islam menguasai sains agar dapat dimanfaatkan bagi kepentingan (kausa) Islam, terutama untuk memerdekakan diri dari penjajahan, sebagaimana diusulkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Iqbal, dan yang semisalnya; juga dengan gagasan membangun institusi pendidikan yang menggabungkan pembelajaran ilmu Din dan sains modern sebagaimana Moeslim Nationale Onderwijs Tjokroaminoto, sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah, Pesantren Luhur Satiman Wirjosandjojo, perguruan Pendidikan Islam Mohammad Natsir, hingga benih-benih integrasi sains seperti konsepsi Interwoven ilmu pengetahuan Soekiman Wirjosandjojo dan model UII Yogyakarta (dulunya STI Jakarta), yang rata-rata berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hingga 2022 ini, umur gerakan semacam itu baru lebih dari satu abad atau kurang dari dua abad.

Dalam usia yang relatif singkat dibandingkan durasi yang dibutuhkan itu, kita lihat hasilnya patut disyukuri. Sekolah dan perguruan tinggi Islam yang dulu jarang kini semakin banyak dan semakin maju dalam peringkat globalnya. Sekolah-sekolah Islam semakin mampu bersaing dalam berbagai kriteria prestasi, baik akademik maupun non-akademik, termasuk dalam berbagai perlombaan dan olimpiade sains hingga level nasional dan internasional, dengan sekolah-sekolah sekuler dan sekolah-sekolah Kristen, yang notabene bertarif lebih mahal dengan kapasitas ekonomi orang tua murid lebih tinggi. Universitas-universitas Islam pun semakin tidak dapat dipandang sebelah mata dalam sains dan inovasi yang bermanfaat, terutama kampus-kampus Muhammadiyah. Dan ditambah dengan Islamisasi sains yang telah berkembang dalam bidang ekonomi Islam, psikologi Islam, dan arsitektur Islam, pencapaian dalam waktu yang singkat ini memberikan setitik harapan di tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh Dunia Islam. Tentu masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan.

Berkaca dari itu semua, dalam pandangan filsafat sejarah saya, terdapat suatu harapan agar Kepulauan Melayu Indonesia ini dapat menjadi pusat pembangunan peradaban Islam ke depan, paralel dengan Hijaz di masa lalu, demi menyambut penurunan yang dialami oleh AS dan Tiongkok, sebagaimana dulu Romawi dan Persia, yang disebut HAMKA sebagai “dua kuasa dunia” yang sedang “berlomba-lomba bersetinggi tempat jatuh”. Namun mesti diingat, bahwa hal itu hanya dapat dilakukan jika pemantik perubahan sejarah itu, yaitu Islamisasi sains di tengah dominasi sekularisme era kini yang paralel dengan penyebaran Islam di masa Nabi SAW dan para sahabat RA, mesti dijadikan fokus utama dalam pembangunan peradaban itu.

Dengan Islamisasi sains dan pelembagaan pandangan alam Islam dalam institusi-institusi pendidikan sebagai fokus utama gerakan Islam, kita akan dapat mengatasi berbagai persoalan lainnya, termasuk masalah ekonomi, politik, sosial-budaya, hingga perpecahan umat. Hal itu karena dua gerakan itu bertolak pada bidang keilmuan dan pemikiran, yang menjadi landasan bagi gerak manusia di setiap bidang kehidupan. Orang berkegiatan ekonomi, berpolitik, berinteraksi sosial, berbudaya, dan seterusnya bergantung pada pemikiran dan ilmu yang dimilikinya, sehingga dengan ilmu dan pemikiran yang berlandaskan Din Islam, akan membaik pula segala aspek tamadun / peradaban yang lainnya itu. Dan dengan fokus gerakan itu pula, umat mestinya dapat meninggalkan pertikaian antar kelompok dalam dirinya demi menghadapi musuh bersama, paham-paham yang disebarkan oleh peradaban Barat modern dan postmodern.

Dengan demikian, sebagai peserta kuliah dana alumni SPI, tanggung jawab kita adalah berupaya produktif dalam kegiatan-kegiatan intelektual-ilmiah dengan fokus Islamisasi sains dan pandangan hidup Islam itu, terutama sekali mencoba untuk menguasai, mengembangkan, dan menerapkan gagasan al-Attas dalam bidang keilmuan kita masing-masing. Kita mesti kembangkan riset-riset Islamisasi sains dalam ranah filosofis, historis, dan sistemis programatis. Di ranah filosofis, selain mengkaji pemikiran al-Attas, kita juga mesti menggali berbagai pemikiran sains yang diusulkan oleh kalangan Islam yang lain (termasuk yang mengambil pendekatan instumentalistik, pendekatan justifikasi, pendekatan sakralisasi, pendekatan integrasi, dan pendekatan paradigma) lalu kita tinjau dan bandingkan dengan pendekatan pandangan alam Islam dari al-Attas. Filsafat sains Barat dan kebudayaan lainnya pun mesti kita pelajari. Semua filsafat sains itu perlu kita tinjau dengan kacamata penilaian dari wahyu yang dirumuskan ke dalam berbagai konsep pokok pandangan alam Islam.

Sebagai langkah di ranah historis, berbagai warisan pemikiran keilmuan Islam di masa lalu pun mesti kita gali, termasuk yang terkait dengan maqāṣid sh-sharīʿah yang sangat penting dalam pengembangan Islamic Engineering Ethics. Konsep-konsep dalam karya tulis para ulama dan ilmuwan Muslim masa lalu tentang manusia dan masyarakat pun penting untuk dipelajari untuk mengembangkan keilmuan antropologi dan sosiologi Islam. Demikian pula warisan yang terkait dengan sains natural pun penting untuk kita teliti, karena banyak yang masih hilang atau belum diterjemahkan. Tak lupa, dalam tataran sejarah, di samping urgensi pengembangan filsafat sejarah Islam, peran para tokoh Islam yang berjasa bagi negeri pun mesti kita teliti agar tidak hilang diterpa sekularisasi sejarah.

Semua upaya dalam ranah filosofis dan historis itu akhirnya bermuara juga pada pengembangan sains Islam di ranah sistematis programatis, yang tidak akan dibahas dalam kuliah Subuh pagi ini karena memerlukan ruang bahasan tersendiri agar tidak terlalu panjang. Apabila peserta sekalian tertarik untuk mendalami lebih lanjut Islamisasi sains itu, terutama secara sistematis dan programatis di bidang keilmuannya masing-masing, tentu diharapkan untuk dapat melanjutkan SPI ke semester II dan terus berupaya meneliti dan menulis selepas menjadi alumni. Dan yang disebutkan terakhir itu juga menjadi tugas bagi para pengurus yang telah lebih dulu menjadi alumni SPI ini. Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah SWT untuk dapat istikamah di jalan ilmiah ini.

Dan terakhir, selain mengupayakan semua itu dalam diri kita sendiri, kita mesti terus berusaha menyebarkan kesadaran kepada kalangan lain bahwa upaya ilmiah-intelektual, yang masih kurang populer saat ini, adalah upaya paling esensial yang mesti dilakukan dalam pembangunan peradaban, sehingga umat Islam secara lebih luas dapat terlibat dalam upaya Islamisasi sains dan pengembangan sains Islam berdasarkan pandangan alam Islam itu. Agar umat Islam terus menajamkan memori dan pandangan intelektualnya di tengah derasnya serangan pemikiran yang kita alami hari ini, sebab seperti yang dikatakan oleh Ernst Mach dalam Erkenntnis und Irrtum: Skizzen zur Psychologie der Forschung, dalam upaya bertahan hidup, pandangan mental lebih utama dari fisik, sebab ia memungkinkan suatu organisme menjangkau lingkungan spasial dan temporal yang jauh lebih luas daripada yang dapat dijangkau oleh ‘penglihatan’ indra. Pandangan intelektual itu juga memungkinkan pengetahuan untuk ditransmisikan secara horizontal meluas maupun secara vertikal turun-temurun, memungkinkan pembangunan peradaban lintas generasi dalam suatu ikatan keumatan dan meningkatkan kemungkinan sukses menghadapi tantangan dalam gelombang sejarah ke depan.

--

--

Shuffah Institute
Shuffah Institute

No responses yet