Berislam Hingga ke Level Intelektual: Refleksi Atas Buku Minhaj — Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi
Oleh: Juris Arrozy, peneliti Shuffah Institute
Sekitar tahun 2018 silam, saat Mohamed Salah sedang menjadi fenomena di Liga Inggris lantaran performanya, saya melihat sebuah postingan dari seorang tokoh yang cukup terkenal di Indonesia. Kira-kira isinya sebagai berikut: “Saat ini “da’i” paling populer di UK bukan ulama A atau Syekh B, tapi Mohamed Salah.” Ia juga mencantumkan video pendukung Liverpool yang menyanyikan chant untuk Salah: “If he’s good enough for you, he’s good enough for me, if he scores another few then I’ll be a Muslim too.” Tulisan singkat tersebut diberi judul “Berdakwah dengan Prestasi”. “Ubahlah persepsi keliru tentang Islam dengan prestasi”, ujarnya mengambil pesan moral dari kisah Mohamed Salah tersebut.
Kita pasti sering mendengar bagaimana dalam Islam tidak hanya ditekankan dimensi ritual saja, melainkan juga dimensi sosial dan etika. Istilah-istilah seperti “akhlaq mulia”, “kesalehan sosial”, dsb. berikut penjelasannya sudah sering kita dengar. Seorang teman yang juga merupakan aktivis Islam pernah berkata kepada saya, “Mendakwahkan Islam itu gampang. Cukup jadi versi terbaik dirimu saja!”
Wacana yang sama juga kemudian saya dengar ketika audiensnya adalah kalangan akademisi/intelektual/ilmuwan, utamanya yang tinggal di luar negeri demi mengampu penelitiannya. Buktikan bahwa dengan menjadi Muslim anda bisa menjadi ilmuwan yang produktif; etos kerja tinggi, publikasi dan paten melimpah serta berkualitas; tembus jurnal Nature dan bahkan meraih Nobel; menciptakan inovasi di bidang sains dan teknologi yang bermanfaat untuk orang banyak; dan seterusnya.
Tentu menampilkan citra baik seorang Muslim tidaklah salah — bahkan sudah seharusnya seperti itu! Namun satu hal masih menjadi pertanyaan saya. Apakah benar kita cukup menjadi ‘Mohamed Salah’ di bidang masing-masing dan menampilkan citra Islam yang baik? Apakah benar ilmuwan Muslim ‘cukup’ tulisannya tembus Nature, punya paten internasional, meraih Nobel, lalu menampilkan wajah Islam yang “produktif”, “berprestasi”, “sukses”, dll, untuk dapat mencapai level tertinggi keislamannya? Tentu itupun sudah sulit dan sangat baik jika kita mencapainya. Kalau kata orang Sunda, “sakitu ge uyuhan.” Namun saya masih bertanya-tanya, bagaimana hal tersebut bisa menjelaskan terciptanya karya-karya agung di masa lampau seperti Iḥyā′ ‘Ulūm al-Dīn dan Jawāhir Al-Qur’ān-nya Imam Al-Ghazali, Mafatih al-Ghayb-nya Fakhruddin Ar-Razi, atau Kitāb al-Manāẓir-nya Ibn Al-Haytsam? Apakah model dakwah ‘Islam=best version of yourself+citra baik’ sudah lengkap? Ataukah ada ‘variabel’ lain yang perlu ditambahkan ke dalam ‘persamaan’ Islam di kalangan ilmuwan?
Di tengah kegelisahan itu, buku Minhaj: Berislam, dari Ritual hingga Intelektual tulisan Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi hadir di pangkuan tangan saya. Setelah membacanya, saya mendapat dua manfaat sekaligus. Pertama, penjelasan beliau tentang dimensi-dimensi keislaman dari mulai Islam, Iman, dan Ihsan tidak hanya merangkum, tetapi juga mengokohkan dan memperbaharui pemahaman keislaman yang saya terima di bangku sekolah. Bahasanya begitu mudah dicerna dan relate dengan materi keislaman yang sudah sering dipelajari, sehingga seakan-akan kita mendapatkan ‘bingkai’ untuk meletakkan pemahaman Islam kita yang terserak dimana-mana akibat mencari ilmu agama secara serabutan.
Namun yang lebih dahsyat lagi dari buku ini adalah manfaat keduanya, dan inilah yang berkaitan dengan pertanyaan saya di atas.
Dalam buku ini, Prof. Hamid berargumen bahwa ada tingkatan keislaman yang lain, yaitu tingkat intelektual atau biasa juga disebut sebagai worldview. Beliau menulis “Jadi, pengetahuan (syarī‘ah), keimanan (aqīdah), dan perbuatan (akhlāq) dalam Islam itu berpuncak pad acara pandang yang benar atau dalam pengertian umum disebut worldview.” (hlm. 198) Kombinasi jalan berislam melalui pengetahuan, keimanan, perbuatan, dan pikiran inilah yang disebut minhāj — sebagaimana judul buku ini.
Worldview inilah yang menjadi ciri khas seorang Muslim dan bahkan menjadi landasan bagi segala aktivitasnya, termasuk aktivitas keilmuan dan teknologi (hlm. 206). Berbagai konsep Islam seperti konsep dīn (agama), konsep manusia, konsep ilmu, konsep alam, konsep kehidupan, dsb. tersusun secara koheren dalam diri seorang Muslim dan menjadi satu-kesatuan yang — meminjam istilah Prof. Alparslan Açıkgenç — bersifat architectonic.
Teori worldview inilah yang kemudian mampu menjawab pertanyaan saya terkait karya-karya agung ilmuwan Muslim di masa lampau yang sukses menghubungkan realitas fisik dan metafisik. Bagaimana Ibn Al-Haytsam dalam Kitāb al-Manāẓir meskipun membahas tentang teori penglihatan bisa sampai pada kesimpulan bahwa hal tersebut merupakan cerminan kebijaksanaan (ḥikmah) dari Sang Maha Pembentuk (al-Ṣāni‘) [1]; bagaimana Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb ketika mengamati salah satu aktivitas dasar manusia, yaitu makan, bisa sampai pada kesimpulan bagaimana Allah menundukkan alam (taskhīr) agar bisa dimanfaatkan oleh manusia [2]; bagaimana Imam Al-Ghazali dalam Jawāhir Al-Qur’ān ketika mengamati struktur segi enam sarang lebah madu bisa sampai pada kesimpulan bahwa ini adalah berkat rahmat Allah pada seluruh ciptaannya [3]. Ternyata ada worldview Islam yang memungkinkan mereka melihat realitas dari kacamata fisik dan metafisik sekaligus.
Sekali lagi, tentu tidak ada hal yang salah dengan seorang ilmuwan Muslim yang ‘sekadar’ mempunyai kualitas keilmuan level internasional, berakhlaq mulia, dan menampilkan citra Islam yang baik. Tulisan ini bukan bermaksud untuk memojokkan, dan saya sama sekali tidak berhak memojokkan karena baik akhlaq maupun kualitas keilmuan saya masih sama-sama kurang. Tulisan ini bukan untuk menghakimi, tetapi sekadar untuk berbagi aspirasi tentang adanya goal yang lebih tinggi lagi untuk dicapai para ilmuwan Muslim di masa kini.
Setelah mengetahui hal ini, tersisa dua tantangan bagi kita semua. Pertama, bagaimana caranya mengedukasi umat Islam (khususnya para ilmuwan Muslim) agar mereka mengetahui bahwa ada level keislaman yang sangat tinggi yang bisa mereka raih. Kedua, bagaimana menciptakan intelektual Muslim yang “saintis” sekaligus “ulama”, yang ilmunya membawa kepada ketakutan terhadap Allah (Q.S. 35:28). Tulisan ini adalah sedikit usaha sederhana saya untuk membantu menjawab tantangan pertama, karena tantangan kedua jawabannya ada dalam diri masing-masing ilmuwan Muslim yang mengenal dirinya dan Tuhannya.
Referensi:
[1] Usep Mohamad Ishaq, Filsafat Sains Menurut Ibn Al-Haytham, Jakarta: KENCANA, 2020, hlm. 178.
[2] Adi Setia, Taskhīr, Fine-Tuning, Intelligent Design and the Scientific Appreciation of Nature, Islam & Science, vol. 2, 2004, no. 1, hlm. 12–13.
[3] Abū Ḥāmid Al-Ghazālī, Jawāhir Al-Qur’ān, diterjemahkan oleh Muhammad Abul Quasem menjadi The Jewels of the Qur’an: Al-Ghazali’s Theory, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1977, hlm. 68–69.
Juga tersedia di: https://jurisarrozy.wordpress.com/2021/09/17/berislam-hingga-ke-level-intelektual-refleksi-atas-buku-minhaj-prof-hamid-fahmy-zarkasyi/